(Ilustrasi: @candraniyulis)

Naskah ini adalah tanggapan untuk artikel Ferdhi F. Putra yang bertajuk “Bisakah Livestreaming menggantikan Live Performance?” Di dalam artikel tersebut ia meyakini bahwa livestreaming tidak akan bisa menggantikan pengalaman menonton langsung. Baginya, tetap ada yang tak bisa dijembatani oleh livestreaming. Ia pun menautkan lima alasan Berry Kempton mengapa orang hadir ke konser musik. Sebenarnya saya bisa saja bersepakat dengannya, tetapi di sini saya ingin menunjukkan kompleksitas yang tidak tersingkap di artikelnya, di mana ada realitas pertunjukan yang belum tersentuh. Maka alih-alih menyepakati, saya ingin mengajak teman-teman pembaca untuk melihat kenyataan-kenyataan yang berbeda dalam menyaksikan pertunjukan musik.

Saya akan mengawalinya dengan konsep kunci, yakni live performance sebagai immediate atau langsung, dan livestreaming sebagai mediated atau termediasi. Pembedaan ini perlu saya tegaskan untuk menunjukkan perbedaan yang dipersoalkan Ferdhi, di mana live performance dianggap mempunyai beberapa kelebihan dibanding livestreaming. Di sini saya ingin mengajak teman-teman mempertanyakan live performance: apakah kita benar-benar menyaksikan live performance tanpa mediasi apa pun? Apakah anda benar-benar “khusyuk” jika menonton live performance? Apakah akses menyaksikan secara langsung itu utuh ketika berada di tempat konser? Atau jangan-jangan sebaliknya? Untuk mengartikulasikannya, saya akan menautkan beberapa pengalaman sebagai refleksi kita bersama dalam menyaksikan konser atau pertunjukan musik.

Pengalaman Pertama

Tahun 2017, saya berangkat ke Jombang untuk meneliti musik dangdut di sana. Ketika itu saya menyaksikan langsung pertunjukan O.M. Lagista bersama biduanita kesukaan saya, Nella Kharisma. Kendati Jombang identik dengan pesantren dan menjauhi dangdut karena soal goyangan, hal itu tampaknya tidak memengaruhi jumlah penonton dangdut di sana. Bahkan penonton ketika itu membludak. Karena penuh dengan manusia, maka saya pun akhirnya memarkir motor di pinggir jalan. Cukup jauh dari lokasi konser, sekitar 500 meter. Dari situ saya harus berjalan kaki ke stadion sepak bola yang dijadikan tempat konser. Saya cukup menyesal karena salah memperkirakan waktu keberangkatan. Ditambah sempat keblasuk karena salah memilih jalan.

Setelah membeli tiket, saya memasuki stadion. Karena telat, saya hanya dapat menyaksikan pertunjukan jauh dari panggung, di belakang tim FOH dan tim perekam video. Sebagai ilustrasi, jika panggung berada di area gawang, maka saya berdiri di area pertahanan lawan, tidak jauh dari gawang lawan. Singkat kata saya dan panggung berjarak ¾ lapangan sepak bola. Tentu saya kecewa karena jauh dari panggung. Padahal, saya datang hanya untuk melihat Nella Kharisma dari dekat.

Alhasil, saya tidak dapat melihat jelas wajah Nella Kharisma. Bahkan fitur zoom kamera di gawai saya tidak membantu. Saya pun tidak ingin pixel rendah di kamera saya merusak wajah Nella. Akhirnya yang bisa saya lakukan hanya mendengar biduanita asal Nganjuk itu bernyanyi. Tidak lebih.

Karena keadaan tidak mendukung, saya memutuskan untuk duduk di rumput sembari mendengarkan suara Nella Kharisma. Saya mengambil gawai di saku celana dan membuka instagram. Bahagia bukan kepalang ketika saya melihat Nella Kharisma tengah live di instagram. Di situ mendapatkan yang saya inginkan; melihat Nella bernyanyi dari dekat—walau melalui gawai—dan mendengar suaranya secara langsung.

Pengalaman Kedua

Saya mengikuti perkembangan dangdut televisi melalui kompetisi dangdut di Indosiar. Liga Dangdut, Dangdut Academy, dan D’Academy Asia menjadi kompetisi dangdut yang prestisius di milenium ini. Lazimnya, pasca kompetisi usai, pihak Indosiar akan membuat pertunjukan live di beberapa kota. Setahun silam, Indosiar menghelatnya di Alun-Alun Utara Yogyakarta. Setelah melihat publikasi di media sosial, saya memutuskan untuk menyaksikan konser bertajuk “Semarak Indosiar” tersebut. Saya hadir karena Via Vallen ikut tampil di konser tersebut. Selain itu saya ingin mendengar langsung kemampuan dari juara LIDA 2019 asal Aceh, Faul.

Setibanya di Alun-Alun Utara, arena sudah dipadati penonton. Saya tahu, datang terlambat akan membuat saya berjarak dengan panggung. Namun apa daya, ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Akhirnya yang bisa saya lakukan hanyalah menyaksikan pertunjukan dari bagian belakang arena penonton. Jarak pandang jelas akan memengaruhi obyek visual, sehingga aktivitas di panggung tidak jelas terlihat. Akhirnya saya hanya menikmati lagu demi lagu melalui suara.

Alih-alih menyaksikan pertunjukan melalui aural dan melihat kerumunan, saya justru dapat melihat aktivitas panggung dengan jelas melalui layar besar yang disediakan pihak penyelenggara. Jujur saja, layar yang memperlihatkan aktivitas panggung membuat panggung terasa lebih dekat. Penonton yang berdiri di bagian belakang tidak lagi fokus pada panggung, tetapi lebih fokus pada layar tersebut. Saya mendengarkan suara Faul tetapi melihat wajahnya melalui layar yang termediasi.

Pengalaman Ketiga

Awal tahun ini saya menyaksikan konser dangdut bertajuk “Merangkai Kisah”. Konser tersebut merupakan inisiatif dari band-band dangdut milenial Yogyakarta yang berkonsep biduan lanang atau laki-laki, di antaranya, OM Wawes, Guyon Waton, Klenik Genk, dan lain sebagainya. Konser tersebut dihelat di PKKH UGM, Yogyakarta. Ketika itu saya hadir 30 menit sebelum konser dimulai. Saya memasuki arena konser dan mendapatkan tempat yang ideal. Saya menyaksikan langsung pertunjukan tersebut, tanpa perantara apapun. Saya juga dapat melihat semua personel dengan jelas.

Namun karena lapar, saya harus keluar dari kerumunan untuk membeli jajanan. Sekembalinya ke kerumunan, saya tidak lagi mendapatkan tempat yang ideal. Saya hanya berdiri di bagian belakang, dekat dengan FOH. Kendati jarak tidak terlalu jauh, tetap saja jarak pandang membuat pandangan tidak sejelas yang diharapkan. Tinggi tubuh saya pun tidak mendukung untuk melihat dengan jelas karena terhalang penonton lainnya. Ini tentu membuat saya kesulitan menyaksikan secara utuh pertunjukan tersebut.

Hal yang cukup mengejutkan, alih-alih tersiksa karena melihat kepala penonton lain, saya tetap dapat menyaksikan pertunjukan tersebut dengan tenang karena banyak orang di depan saya merekam pertunjukan tersebut dengan gawai. Saya justru dapat menyaksikan pertunjukan secara lebih dekat melalui gawai-gawai tersebut. Kendati demikian, saya tidak terus menerus menyaksikan tersebut melalui gawai penonton lain. Sesekali saya tetap melihat ke arah panggung, namun melihat gawai penonton lebih saya utamakan.

Dari cerita di atas, lantas saya masih ingin bertanya, apakah anda pernah mengalami hal serupa dengan yang saya alami? Apakah anda benar-benar menyaksikan pertunjukan secara langsung tanpa mediasi tertentu? Bertolok dari hal ini, saya ingin menekankan bahwa jangan-jangan isu immediate atau langsung dan mediated atau termediasi dalam pertunjukan sudah pernah kita alami. Lebih lanjut, mungkin yang perlu kita sadari adalah bahwa jangan-jangan isu immediate dan mediated memang telah berkelindan di dalam musik atau pertunjukan kita. Dari situlah saya mulai mencurigai pertunjukan live performance sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan pengalaman pertunjukan. Pasalnya, bukankah kini live performance juga termediasi dan live streaming juga mengakomodasi azas live?

Menyandingkan Live Performance dan Livestreaming

Beberapa pengalaman di atas merupakan sebagian kecil dari realitas konser atau pertunjukan musik yang kita alami di era ini. Ada banyak contoh kasus lain yang mempunyai akar persoalan serupa, yakni mengenai immediate dan mediated. Misalnya penampilan Via Vallen yang me-lipsync lagu “Meraih Bintang” pada gelaran Asian Games 2018. Di situ, immediate dan mediated berlaku dalam wujud berbeda, di mana suara termediasi sedangkan raga dari biduanita tanpa mediasi. Dari sini saya semakin percaya bahwa yang termediasi dan yang tidak semakin kabur dalam pertunjukan dewasa ini.

Merujuk scholar performance studies yang memiliki konsentrasi pada musik populer, Philip Auslander, sekarang ini live performance kerap menggabungkan mediatisasi hingga pada tingkat bahwa acara langsung adalah produk dari teknologi media. Hal ini telah terjadi untuk waktu yang lama dengan beragam dimensi. Misalnya, di dalam konser, yang kita dengar adalah suara yang teramplifikasi, acara konser yang direkam, ataupun pertunjukan langsung melalui monitor gawai (2008a: 25)—saya menitikberatkan pada unsur terakhir. Saya bersepakat dengannya bahwa pertunjukan langsung kerap mengakomodasi teknologi dalam mewujudkan liveness. Jika ditautkan dengan pengalaman yang pernah saya alami, maka ini terlihat dari pengalaman kedua dan contoh lipsync Via Vallen.

Hal serupa juga terjadi pada orkestra New York Philharmonic ketika menyelenggarakan konser pada tahun 2004. Mereka merangkul audiens muda dengan menggunakan video live-feed dalam pertunjukannya. Video tersebut membuat penonton dapat melihat dari dekat musisi dan konduktor. Tidak hanya mereka, Orkestra lain juga menggunakan teknologi serupa termasuk Vancouver dan Atlanta (ibid: 26). Para orkestra menggunakan media live-feed untuk memberikan pengalaman pandangan jarak dekat pada penonton.

Hal yang menarik penggunaan media dalam mengejawantahkan konsep live tidak hanya dilakukan oleh pihak penyelenggara. Ada juga upaya-upaya dari pihak lain untuk menciptakan live itu sendiri, misalnya, yang saya ceritakan pada pengalaman pertama; ataupun yang terjadi secara tidak disengaja, seperti pada pengalaman ketiga. Dengan begitu, saya menganggap bahwa isu immediate dan mediated bukan sepenuhnya milik satu kalangan, seperti pihak penyelenggara saja, tetapi juga dimiliki oleh pihak-pihak lain, seperti pelaku musik melalui account media sosial personal mereka ataupun dari penonton yang ikut menyaksikan pertunjukan.

Tujuan hal tersebut dilakukan adalah untuk mendapatkan kedekatan dan keintiman saat menyaksikan pertunjukan atau konser musik, sesederhana saya ingin melihat Nella Kharisma dari dekat. Hal yang patut kita sadari adalah kedekatan dan keintiman tidak selalu berhasil saat menyaksikan pertunjukan secara langsung. Hal ini dialami oleh penulis naskah dan aktor, Wallace Shawn, ketika menyaksikan pertunjukan teater. “Sungguh, sangat sulit bagi saya untuk duduk di barisan HH [bangku belakang], saya tidak dapat melihat wajah para aktor dan harus berusaha keras untuk mendengarkan suara mereka dengan jelas,” (Weber 2006: 9).

Tentu hal tersebut dapat terjadi pada siapa saja, dan itu juga terjadi di tiga pengalaman saya di atas. Shawn bahkan mengungkapkan bahwa rasa kedekatan sebenarnya bisa lebih kuat ketika menonton film atau televisi daripada teater (ibid). Namun saya belum sepenuhnya sepakat dengan Shawn. Saya justru lebih bersepakat dengan Auslander yang mengidentifikasi kedekatan dan keintiman pada pertunjukan melalui karakteristik tempat dan ruang pertunjukan. Lebih lanjut, live performance dan livestreaming sama-sama memiliki karakteristik ruangnya masing-masing. Untuk membantu mengartikulasikan hal tersebut, saya meminjam tabel dari Steve Wurtzler (dikutip Auslander, 2008b: 110), sebagai berikut:

Pola I (live performance) adalah jenis pertunjukan di mana para pemain dan penonton secara fisik hadir.Auslander menyebut pola itu sebagai “liveness klasik”. Lantas dengan munculnya teknologi siaran, muncul Pola II (livestreaming) di mana pertunjukan dialami secara langsung oleh penonton, tetapi mereka tidak hadir secara fisik. Penonton tidak bersama para pemain di lokasi pertunjukan tetapi mengalami pertunjukan (inilah yang oleh Wurtzler disebut “anterioritas temporal“). Menurut Auslander, livestreaming mendorong penonton merasa seolah-olah berpartisipasi dalam pertunjukan dan mengalami keadaan yang sama dengan penonton di dalam liveperformance (ibid).

Dari dua pola di atas, saya akan tetap menautkan telaah lama dari Malloy, di mana ia menganggap bahwa esensi pertunjukan live adalah kontak langsung antara pemain dan penonton, yang menuntut kehadiran keduanya secara fisik. Namun Couldry mengemukakan bahwa proses mediasi pertunjukan dan teknologi livestreaming memunculkan dimensi afektif antarmanusia (ibid: 111). Hal ini terwujud terutama dalam dimensi temporal daripada yang spasial; pengaruh utamanya adalah perasaan bahwa seseorang dapat berhubungan dengan orang lain pada saat tertentu tanpa halangan bernama jarak. Tidak hanya itu, pengalaman live tidak terbatas pada interaksi pemain-penonton; tetapi perasaan terhubung dengan orang lain, berkelanjutan, dan termediasi melalui teknologi baik dengan orang yang dikenal ataupun tidak dikenal. Maka dari itulah baik live performance atau livestreaming mempunyai unsur liveness di dalamnya.

Selain itu, tidak dapat disangkal bahwa baik live performance dan livestreaming terjadi pada satu waktu dan ruang—baik terwujud ataupun nirwujud—yang sama. Sementara penonton sama-sama menyiapkan dirinya untuk “hadir” dan mencari keintiman dan liveness di dalam peristiwa musik tersebut. Sedangkan untuk respons tubuh dalam menanggapi musik, bagi saya cara menikmati musik bisa sangat beragam. Tidak semua penonton di pertunjukan dangdut ikut berjoget. Saya pernah menulis (2013) bahwa terdapat tiga tipe penonton dangdut, salah satunya adalah mereka yang diam terpaku, tidak berjoget dan berada di tengah penonton. Pun saya percaya bahwa genre musik lainnya mempunyai respons audiens yang niscaya beragam.

Lantas di masa wabah yang menjengkelkan ini, ketika kita tidak dapat menyaksikan live performance, maka bukan saatnya kita membandingkannya. Saya lebih menyarankan kita menyandingkannya. Itulah yang juga dilakukan Auslander, di mana ia tidak dalam rangka membandingkan atau mengkontestasikan satu sama lain. Artikulasi Auslander pada live performance dan livestreaming dalam konser musik adalah upaya untuk menolak mengoposisikan keduanya. Bagi Auslander, ketimbang kita membeda-bedakan immediate dan mediated, ia menyarankan kita untuk memahami kedua konsep tersebut. Yakni dengan memahami liveness sebagai konsep yang terus berkembang dan melihat makna dan penggunaan live dalam konteks kultural yang spesifik (ibid: 185).

Maka, jika lazimnya gawai menjadi perangkat pembantu dalam menyaksikan live performance, mungkin saatnya kita mencoba membaliknya di masa #dirumahaja ini. Di mana live performance dan ingatan atas pertunjukan fisik yang membantu kita saat menyaksikan livestreaming, serta mencari liveness yang ditawarkan oleh para penampil melalui konser daring.[]

Referensi

  • Auslander, Philip. 2008a. Liveness: Performance in Mediatized Culture. London: Routledge.
  • Auslander, Philip. 2008b. “Live and Technlogically Mediated Performance”, dalam The Cambridge Companion to Performance Studies, Tracy C. Davis (ed). Cambridge: Cambridge University Press, 107-119.
  • Raditya, Michael HB. 2013. Esensi Senggakan pada Dangdut Koplo sebagai Identitas Musikal. Sebagai Tesis Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
  • Weber, Anne Nicholson. 2006. Upstaged: Making Theatre in the Media Age. New York: Routledge.