(Ilustrasi: @iqbalmstrmnd, Desain: @candraniyulis)
Sekira awal bulan ini, Rara Sekar melalui proyek musik barunya Hara, merilis satu lagu berjudul “Ati Bolong” di platform musik digital. Awal tahu rilisnya, saya pesimis. Judulnya yang berbahasa Jawa serta merta terdengar cringe. Akankah ia menjadi lagu berbahasa Jawa yang terkesan memaksa? Apakah ia menjadi komposisi yang terpisah antara gagasan dan estetika linguistiknya? Ternyata salah. Pagi tadi, saya termangu menyimak “Ati Bolong” gubahan Hara.
“Ati Bolong” dibuka dengan tuts rendah empat ketukan. Lalu ditingkahi dengan tuts bernada tinggi dan repetitif. Gaungnya membawa kesan gelap namun terbuka akan imajinasi dalam pikiran pendengar. Renungan delapan belas detik pertama sekelebat tergugah oleh lembut suara Rara (atau Hara?) yang tiba tiba mengambil alih. Ia mulai bernyanyi hingga hampir dua menit pertama dalam narasi transenden dunia anak. Tentunya dengan repetisi tuts yang sederhana namun menggigil.
Jika anda mendengarkan lagu ini, saya sarankan menonton pula video musiknya di YouTube. Hara menggandeng Iqbal. Alumni DKV ITS yang dulu turut membuat komik visual untuk lagu Efek Rumah Kaca, “Putih”. Dari rilis informasi Hara, saya langsung menerka gambaran tentang bagaimana visual Iqbal tercandra. Slide demi slide adegan bergaya komik diberi pewarnaan tebal dan tegas, khas Iqbal. Betul saja. Sepanjang lagu, ia memperjelas gagasan lagu dengan ciamik. Pembabakannya futuristik, lompatan lompatannya bersitegang dari segmen pertama hingga penutup. Anda akan menemukan babak babak reflektif dari adegan wayang suket (rumput), dinosaurus, manusia purba, hingga lompatan menuju semesta.
“Ati Bolong” Slamet Gundono
“Ati Bolong” dicipta dan dikomposisi Slamet Gundono, seorang seniman lintas disiplin kelahiran Tegal. Ia adalah penggerak teater di Sanggar Suket Solo. Namun, ia banyak dikenal sebagai dalang yang menggebrak pakeliran dengan ide-ide nyelenehnya. Ialah dalang pertama yang dengan sengaja membunuh pandawa dalam satu pentas tahun 1995 di Solo. Slamet Gundono melakonkan wayang-wayangnya dalam banyak medium; wayang suket, wayang air hingga api. Selain mementaskan wayang dan teater, ia turut mencipta lagu. Kebanyakan lagu-lagu dengan gagasan-gagasan kritis dalam balutan lagu dolanan.
“Ati Bolong” adalah lagu yang menjadi bukti ketajaman Slamet Gundono menangkap misteri dunia anak. Ia mewartakan kepada kita misteri pikiran anak bahkan dari menit pertama. Ambil contoh di babak pertama, ia menulis :
Atine bolong Hatinya bolong
Atine kosong Hatinya kosong
Atine mlompong Hatinya melompong
Nang ndhuwur ana lintang Di atas ada bintang
Lintang lintang luku Bintang bintang “luku”
Ana bocah, Ada bocah,
Bocah cilik nggambar jagat Bocah kecil menggambar semesta
Dari bait ini saja, kita bisa menangkap kesan gelap dari kondisi batin dalam diri anak anak. Bukannya menarasikan sisi ceria dan lincah badani anak anak, Slamet Gundono justru mengajak kita, “pendengar dewasa”, menyimak adegan merenung dan reflektif atas kondisi psikologis seorang bocah kecil yang mungkin belum menginjak usia belasan, bocah polos yang termangu dalam kosong yang melolong dalam hatinya. Dalam adegan berikutnya, kita akan dikejutkan penutup magis yang tak tertebak. Dari awalan “atine bolong/ atine kosong” dst, sekonyong bertemu lirik “ana bocah/ ana bocah/ bocah cilik/ nggambar jagat”. Apa konjugasinya? Kebebasan mutlak dikembalikan pada tafsiran pendengar.
Kita dapat menemukan kembali kemampuan naratif Slamet Gundono dalam simbol-simbol yang bisa diindra. Simbol-simbol ini dipakai bukan dalam kepentingan untuk memvisualkan babak pertama. Ia justru terlepas dari babak pertama dan menghasilkan pertanyaan yang seakan lebih menuntut kita untuk menyimak lebih dalam. Sampai disini, pertanyaan pertanyaan terhadap estetika bahasa harus menarik rem tangan. Berhenti melogika, kembali merenung. Sebagaimana tertulis;
Dicanthelna lintang Digantung pada bintang
Disampirna wulan Diselempangkan pada bulan
Dipepe nang srengenge Dijemur di matahari
Ana bocah, Ada bocah,
Bocah cilik nggambar jagat Bocah kecil menggambar semesta
Semesta Terbuka Anak Anak
“Ati Bolong” yang dinyanyikan Hara berhasil memaksa saya kembali berpikir tentang betapa ajaib jiwa anak-anak bekerja. Mereka otonom, terlepas dari dunia orang dewasa yang selalu bergerak dan serba rumit. Anak-anak adalah sutradara; adalah aktor; adalah dalang atas lakon lakon dari isi kepalanya sendiri. Mereka mempurwa rupa segala imajinasi yang merdeka atas tafsir dan logika. Menggambar adalah satu dari sekian banyak kemampuan anak anak dalam melakonkan isi pikiran. Gambar-gambar mereka tak peduli logika. Coretan mereka tak peduli tafsir dan tak peduli proporsi. Dibalik coreng-moreng garis warnanya tersimpan misteri yang paling liar.
Anak-anak membahasakan pikiran mereka dengan bahasa yang sukar dipahami orang dewasa. Logika yang lama kita anut serasa bentrok dengan logika mereka. Bagaimana mungkin gunung berwarna merah? Bagaimana mungkin laut berlabur hitam? Segala logika kita, tak bisa tidak, harus dipreteli sedemikian rupa seturut logika mereka. Di titik ini, kebanyakan dari kita selalu gagal.
Menjadi orang dewasa memang berat dan rumit, penuh tuntutan dan proses hitung menghitung. Logika dewasa adalah logika aritmatika. Melulu tentang perhitungan untung rugi dan nilai guna. Saya tak menyalahkan kondisi ini. Saya pun demikian (dan memang harus demikian). Kita terbiasa menjalani kehidupan yang menuntut strategi matematis. Namun, saya rasa letak kesalahan kita adalah memakai logika matematis yang sama saat berhadapan dengan anak anak. Kita lebih suka melihat gunung berwarna biru dibanding merah. Laut adalah biru dan pohon pohon haruslah hijau. Bentrok logika macam ini, mau tak mau harus ditengahi dalam kondisi yang cair dan terbuka akan temuan temuan baru pikiran anak. Kesabaran menjadi skill terpenting.
Untuk memahami bagaimana mestinya orang dewasa merespon logika anak, saya menyarankan anda untuk mengenal sosok fiksi di film Life is Beautiful, Guido Orefice. Ia adalah seorang Yahudi pemilik toko buku. Seorang ayah yang komedik. Ia adalah Chaplin dalam tubuh Itali dan aktor ulung atas ide-ide konyolnya. Guido mati matian mengajak anaknya bermain sandiwara dalam kamp pembantaian Nazi di Florence Tenggara. Alih-alih bersikap muram dan putus asa, ia menciptakan permainan khayalan yang ia mainkan berhari-hari bersama anaknya, Giosué. Permainan ini ia ciptakan agar Giosué bertahan hidup dalam situasi yang paling nadir. Ia mengenalkan tentara-tentara Nazi sebagai aktor antagonis pengatur permainan. Dan Giosué adalah satu dari ratusan pemain yang memperebutkan Tank Jerman sebagai trofi kemenangan. Misi hariannya adalah bertahan tetap diam, menahan lapar seharian, dan petak umpet dari patroli sipir. Alih alih putus asa terhadap ancaman mati di depan mata, Guido dan Giosué menjalani hari hari dengan imajinasi tak pernah putus. Kekonyolan demi kekonyolan Guido berujung indah. Kemerdekaan bagi Giosué dan ibunya, mereka lolos dari pembantaian massal agresi Nazi.
Guido mengajarkan saya bagaimana semestinya orang dewasa bersikap terhadap logika anak. Anak-anak yang berjiwa otonom harus ditumbuh kembangkan dalam lingkungan yang terbuka terhadap imajinasi. Kita tidak boleh bersikap seolah olah anak anak adalah entitas kosong tak bisa berpikir. Mereka berjiwa, hanya saja dengan logika yang cair dan terbuka. Memahami mereka artinya memahami cara semesta bekerja. Jiwa mereka adalah hamparan luas bagi kemungkinan-kemungkinan. Di dalam kepala mereka, planet-planet, asteroid, hujan meteor, dan gugus bintang saling berpagut. Ia berisi keteraturan sekaligus ledakan-ledakan tak terprediksi di sana-sini. Mengembang dan mengkerut. Bekerja dalam bentang adegan serba tak runtut. Maka, memahami mereka artinya memahami jiwa-jiwa yang agung.
Banyak terjadi, runtuhnya kepercayaan diri anak anak disebabkan oleh tumbukan logika antara orang dewasa dan mereka. Ambil contoh, anak anak yang bertanya perihal yang sukar dijawab orang dewasa, kerap berakhir dengan jawaban ketus tanpa solusi. Kebiasaan ini, jika menumpuk menyisakan pemahaman di diri mereka bahwa banyak bertanya berarti menyebalkan; mempertanyakan hal hal adalah tingkah yang merepotkan. Maka, bertanya adalah sesuatu yang memalukan. Tanpa disadari, kesadaran alamiah ini memerangkap keingintahuan dalam jeruji berpikir yang sempit dan macet. Sama halnya dengan tingkah merepotkan mereka yang sebetulnya mengandung makna berbeda jika kita, orang dewasa, mau memakai menggunakan pemaknaan berbeda. Anak anak yang suka memanjat bukanlah anak anak tak bisa diatur, merekalah si atlet lincah pemegang rekor. Anak anak pemalu mungkin pula penulis puisi dan drama mumpuni. Anak anak pengorek lumpur bisa jadi seorang ilmuwan, atau petani hebat di logika yang lain, di semesta yang lain.
Tegar Yudha adalah pengagum sejarah, buku dan musik bagus. Bekerja sebagai illustrator dan staf pengajar di Surabaya. Melukis di instagram @tgypratama dan menulis di tegaryudhap.wordpress.com.