(Ilustrasi: @candraniyulis)

Gegara pandemi virus korona, hampir semua konser musik yang harusnya digelar pada bulan-bulan ini dibatalkan. Beberapa musisi memilih untuk tetap menyelenggarakan konsernya dengan tanpa penonton dan disiarkan langsung melalui internet alias livestreaming.

Salah satunya yang cukup jadi perbincangan tempo hari adalah konser peluncuran album band hardcore asal Pittsburgh, Amerika Serikat, Code Orange. Mereka seharusnya merayakan perilisan album keempat mereka, Underneath, pada 13 Maret 2020. Namun karena wabah mulai menyebar di AS, pengelola tempat menunda semua acara sepanjang Maret, termasuk perilisian album Code Orange. Alih-alih menunda rilis, Code Orange memilih untuk tetap menggelar konser tersebut dengan tanpa penonton. Sebenarnya tidak benar-benar tanpa penonton juga, sebab mereka kemudian menyiarkannya secara langsung melalui salah satu platform livestreaming, Twitch. Konon, konser mereka yang kemudian diberi tajuk Last Ones Left: In Fear of the End meraup 13.000 penonton. Saya sendiri kurang tahu metode pengukurannya; apakah 13,000 itu diambil dari jumlah view atau jumlah akun yang logged in; bagaimana jika satu akun ditonton oleh lebih dari satu orang? Entahlah, saya tidak berniat membahas itu di sini.

Beberapa artikel yang mengulas fenomena ini menganggap bahwa livestreaming berhasil menjadi jembatan antara musisi dan penggemarnya di tengah wabah. Dari segi finansial, alih-alih pemasukan dari manggung macet, musisi tetap mendapatkan pemasukan dari siaran langsung konser mereka. Code Orange, misalnya, tetap mendapatkan royalti dari Twitch. Merchandise mereka diborong oleh penggemar. Dan terakhir kabarnya rekaman konser mereka di empty venue, dijual terbatas dalam bentuk DVD. Ini menjadi sumber pemasukan yang mungkin tidak akan ada jika konser peluncuran album mereka berjalan sesuai rencana, tanpa livestreaming.

Dari segi bisnis, livestreaming memang bisa menjadi salah satu solusi. Namun saya merasa tetap ada yang tak bisa dijembatani oleh livestreaming—saya kira akan banyak yang bersepakat dengan ini. Mungkin awamnya: ada rasa yang hilang ketika menonton konser melalui layar komputer.

Berry Kempton merangkum beberapa alasan mengapa orang hadir ke konser musik. Pertama, refleksi spiritual. Menurutnya, bagi orang-orang sibuk yang setiap harinya dikejar deadline pekerjaan, menonton konser musik selama dua jam tanpa interupsi bisa menjadi oase. Pengalaman itu menjadi ‘me time’ yang bisa memulihkan pikiran dari kepenatan. Kedua, discovery, atau saya menyebutnya, menemukan sesuatu yang baru. Datang ke konser dan melihat musisi kesukaannya manggung bisa memenuhi hasrat kita akan sesuatu yang berbeda. Saya punya pengalaman sendiri soal ini. Beberapa tahun lalu, untuk pertama kalinya—dan terakhir kalinya—saya menonton Ghaust manggung di salah satu venue di Jogja. Bertahun-tahun sebelumnya saya sudah mendengarkan Ghaust melalui berbagai media, namun itu tidak bisa menggantikan kepuasan ketika menonton mereka secara langsung, hingga saat ini. Banyak dari kita juga mungkin tidak akan pernah bisa puas mendengarkan Senyawa melalui CD atau menontonnya di YouTube. Keajaiban Rully Shabara dan Wukir Suryadi akan lebih konkret jika dilihat dengan mata-kepala sendiri secara langsung.

Ketiga, untuk mengenang musik yang mereka sukai (much-loved music revisited). Salah satu alasan kita menonton konser adalah untuk mendengarkan dan melihat musik yang kita sukai dimainkan secara langsung oleh si musisi. Mungkin pengalaman saya dengan Ghaust di atas bisa menjadi ilustrasi poin ini juga. Keempat, merasakan peristiwa (sense of occasion). Jelas setiap konser menghadirkan pengalaman yang berbeda. Ketika berangkat menonton konser, kita membawa ekspektasi tertentu. Ketika ekspektasi itu terpenuhi, kita akan pulang dengan sumringah dan akan mengenang konser itu sebagai “the best concert ever”. Pun sebaliknya, ketika tak sesuai ekspektasi, kita akan merespons dengan keluhan ini-itu dan berharap di masa depan bisa mendapatkan konser terbaik dari musisi yang kita idolakan.

Kelima, merasakan kebersamaan (sense of belonging). Mungkin ini satu-satunya alasan yang sifatnya kolektif, dibanding empat lainnya. Alasan kita menghadiri suatu konser adalah untuk bersama-sama penggemar lain menikmati lagu atau musisi yang kita sukai. Di skena metal, misalnya, ritual circle pit atau wall of death adalah kesenangan tersendiri yang tidak bisa kita nikmati ketika menontonnya di kamar sendirian. Mungkin beberapa orang tetap bisa menikmatinya. Saat menulis artikel ini, misalnya, saya melihat Instagram Death Vomit me-repost ig story penggemarnya yang secara bersama-sama (melalui video-conference!) berpogo ria di rumahnya masing-masing dengan latar salah satu lagu Death Vomit. Hal semacam itu juga sering saya lakukan sendiri di rumah; ketika tak ada konser namun rasa hati ingin berjoget, maka yang saya lakukan adalah memutar musik dengan volume tinggi, menutup pintu kamar dan berjoget sesuka hati. Sedikit banyak itu bisa melepas penat atau suntuk saat itu, namun tetap saja, itu tidak bisa menggantikan rasa ketika menghadiri konser secara langsung.

Cherie Hu, yang menjadi satu di antara 13,000 orang yang menonton konser Code Orange di Twitch menulis, “Saya tidak bisa benar-benar melihat satu pun penggemar yang juga hadir, tapi saya berterima kasih pada emoji yang terus mengalir memenuhi kolom chat, saya jadi bisa merasakan kehadiran mereka.” Entah apa maksud sebenarnya pernyataan Cherie. Tapi saya menangkap ada ironi ketika dapat merasakan kehadiran penonton lain hanya melalui emoji yang muncul di layar ponsel atau laptop.

Selain itu, ada juga alasan saintifik mengapa menonton konser musik baik bagi tubuh; karena menonton konser memiliki efek psikologis. Tapi saya tidak akan mengulasnya di sini, jadi silakan baca di tautan ini.

Yang dibahas tadi baru dari sisi penonton. Bagaimana dengan penampil atau musisinya?

Beberapa tahun lalu, saya pernah bercakap dengan salah satu musisi asal Jogja seusai gelaran festival metal besar di Bandung. Sehabis tampil di sana, ia agak mengeluhkan penonton yang diam terpaku ketika menyaksikan ia dan teman-temannya tampil. Tak ada pogo, tak ada crowdsurfing, tak ada moshing. Betul-betul diam terpaku. Seingat saya, ada beberapa yang tetap berjoget. Tapi mungkin tak lebih dari hitungan jari. Sebagai orang yang ikut menyaksikan, saya bisa memahami kenapa penonton tidak berjoget saat itu. Cranial Incisored, tentu sebagian dari kalian pernah mendengar band fenomenal ini. Kalian bisa bayangkan betapa rumitnya memadukan gerak tubuh dengan tempo lagu-lagu mereka yang begitu chaotic—tak ada yang salah, justru bagi saya itu keunggulan mereka.

Di sisi lain, saya juga bisa memahami keinginan penampil untuk diapresiasi, salah satunya dengan melihat penonton atau penggemar mereka meliar di mosh pit. Menurutnya ketika itu, setiap musik, entah itu jazz, pop, metal, dangdut, atau apapun, memiliki pola tersendiri dalam menikmatinya. Tentu saja, I couldn’t agree more. Biduan dangdut akan senang bila penontonnya bergoyang, bahkan hingga mencapai transendensi. Musisi metal akan semakin bersemangat bila melihat penontonnya meliar tak terkendali. Dan seterusnya.

Kembali lagi ke topik utama kita. Apakah livestreaming betul-betul bisa menjembatani musisi dengan penggemarnya? Pada derajat tertentu, ya. Livestreaming juga bisa menjaga pemasukan finansial band dan krunya, meski mungkin dengan porsi yang berbeda. Pun boleh jadi Code Orange pada awalnya terpaksa memilih jalur livestreaming, ketimbang membatalkan sama sekali pesta yang sudah mereka rancang sejak jauh hari sebelumnya. Tapi siapa sangka mereka mendapat momentum tepat, yang kemudian membuat mereka menjadi perbincangan publik dan berdampak cukup signifikan terhadap diseminasi kabar album baru mereka. Apakah cara ini akan efektif untuk kedua, ketiga, keempat kalinya dan seterusnya? Siapa yang tahu. Terlepas dari itu, menurut saya, livestreaming tidak akan bisa menggantikan pengalaman menonton langsung.

Saya sendiri agak kecewa ketika gagal menyaksikan Slipknot secara langsung 27 Maret lalu. Karena bagaimana pun, menonton rekaman konser Slipknot yang jumlahnya bejibun di YouTube (favorit saya Slipknot Live at Download Festival 2009, btw), tidak akan bisa menggantikan pengalaman menyaksikannya langsung bersama ribuan penggemar lain. Tapi apa mau dikata. Keselamatan dan kesehatan kita yang utama. Semoga saja wabah ini segera berlalu dan kita para penggemar (siaran langsung) musik bisa kembali ke mosh pit dan bersuka ria bersama.[]