Tulisan oleh: Michael H. B. Raditya
Foto dari: http://idrissardi.perfilman.pnri.go.id

Intro

Pada beberapa kali pertemuan yang dilakuan secara langsung oleh penulis dengan Suka Hardjana (selanjutnya akan ditulis Pak Suka) pada dua tahun belakangan ini, Pak Suka yang akan berumur 79 (pada tahun 2017 ini) tetap gemar bila diajak diskusi. Kerap kami lupa waktu, hingga Ibu Maria (Istri Pak Suka) meminta kami menyelakan sedikit waktu untuk makan. [Bagi saya] Logika Pak Suka bagaikan oase di gurun keilmuan seni yang luas dan penuh dahaga. Pemikirannya bernas, lugas, berani, dan selalu di luar dugaan. Tipe pemikir musik dan budaya yang sudah sangat jarang ditemui di Indonesia kini.

 

Verse: Mengenali Pak Suka Secara Perlahan

Pada zaman yang serba praktis dan menghamba kepada teknologi, cara paling mudah untuk mencari sebuah hal, baik definitif ataupun telaah, oleh generasi kini adalah menggunakan tautan pencari online, semisal google.com. Dari tautan pencari tersebut seseorang dapat mengetahui sebuah hal secara cepat, walau belum dapat dijamin keabsahannya secara utuh. Alih-alih kebiasaan tersebut ditinggalkan karena soal validitas, belakangan ini justru praxis mencari dari tautan tersebut lah yang dianggap lazim untuk dilakukan. Bahkan tautan tersebut kerap dijadikan sumber informasi primer untuk beberapa kalangan pada generasi kini.

Maka untuk mengetahui sejauh mana Pak Suka dikenal oleh generasi kini adalah dengan cara mencari nama beliau di tautan online. Dalam hal ini, tautan online mempunyai fungsi penting terkait desiminasi info, baik kini ataupun lampau. Terlebih pria kelahiran 17 Agustus 1938 sudah jarang mengisi kolom musik dan budaya di media koran. Lantas cara paling jitu mengetahui sejauh mana Pak Suka ada di benak kepala para generasi muda adalah dengan cara tersebut. Pun hasilnya tidak buruk, pelbagai informasi terkait Pak Suka muncul, dari yang sifatnya berisikan biodata personal, hingga tulisan-tulisan yang terbikin atas dirinya. Secara singkat, kita dapat mengetahui Pak Suka dalam 3 kata, yakni: komponis, kolumnis, dan pemikir.

Dari beberapa tautan tersebut lantas saya menilik untuk mengetahui sejauh mana informasi atas Pak Suka dapat kita serap. Selain informasi atas buku karangan beliau, dan aksesibiltas membaca di tautan google books. Beberapa tautan mengarahkan saya pada penjelasan Pak Suka dengan beragam gaya, beberapa di antaranya adalah: Tulisan Erie Setiawan, direktur Art Music Today, yang berjudul 75 Tahun Suka Hardjana diterbitkan koran Tempo Agustus 2013 silam. Di dalam tulisannya, Mas Erie mencermati Pak Suka secara singkat, dari beragam buku yang telah Pak Suka buat, hingga peran Pak Suka membentuk ekosistem musik di Indonesia, tentu dengan kehadiran Pekan Komponis Indonesia[i]. Di akhir tulisan, Mas Erie memberikan sebuah gambaran bahwa Pak Suka masih aktif menulis, sekitar enam buku akan diproduksi, tutup Mas Erie di dalam artikel tersebut.

Sedangkan beberapa tulisan lainnya berisikan tentang informasi personal Pak Suka dengan beragam cara penyampaian. Sebut saja Sutanto Mendut, seniman senior tersebut sempat menuliskan Pak Suka di buku Kosmologi Gendhing Gendheng secara informatif, baik dari latar belakang pendidikan musik, posisi Pak Suka di kancah musik, hingga aktivitas terakhirnya, sebagai berikut:

Tokoh penting (Pak Suka) dari negara dunia ketiga ini mulai belajar di Sekolah [Musik] Indonesia di Yogyakarta, kemudian di Nordwest Deutsche Musik Akademik Detmold, Jerman Barat, dan juga di Bowling Green State University Ohio, USA. Lengkapnya juga belajar bahasa di Goethe Institut Lueneburg, Jerman, juga di George Town University Washington, Amerika… Belajar filsafat di FSUI Jakarta, juga pernah belajar Manajemen Kesenian di New York. Pernah menjadi Wakil Dekan di LPKJ, Dosen di IKJ. Anggota Steering Committee World Gamelan Festival di Kanada, Dirgen Orkes Simponi Jakarta, dan lain-lain.[ii]

Selain bicara latarbelakang dan kiprahnya secara singkat, ada pun analisis yang dilakukan Pak Sutanto yang menarik, yakni:

Sosok Suka Hardjana tentu membuat jaminan bahwa konsultan yang baik adalah pribadi yang mempunyai ketajaman persepsi untuk diajak berdiskusi, mulai dari pokok musik dengan banyak relasi sosiologis yang multiaspek. Ia menjadi sosok penting untuk digauli wartawan, seniman cabang lain, pendidik musik, atau guru pada umumnya.[iii]

Bertolak dari apa yang dituliskan oleh Pak Sutanto, rasanya hal tersebut akan diamini oleh kebanyakan orang yang mengenal Pak Suka. Di mana ketajaman persepsi dan tolak pikir interdisiplin membuat segala persoalan dapat dibicarakan tuntas oleh Pak Suka.

Jika tulisan Pak Sutanto dapat diakses di google books dengan aksesibilitas halaman terbatas, begitupun tulisan Pak Suka atas dirinya di dalam bukunya yang berjudul Jas Wakil Rakyat dan Tiga Kera: Percikan Kebijaksanaan. Di dalam buku tersebut Pak Suka turut menceritakan dirinya, sebagai berikut:

Untuk beberapa tahun lamanya Suka Hardjana pernah bekerja sebagai dosen di Konservatorium Musik der Freien Hansestadt Bremen, Jerman, pendiri dan dirigen Ensembel Jakarta, pendiri dan pimpinan SUKA HARDJANA—Klinik Musik—Pusat Studi dan Orientasi Musik, dosen, dan Pembantuk Rektor II – Institut Kesenian Jakarta, Anggota dan Skretaris Dewan Pimpinan Harian- Dewan Kesenian Jakarta, Anggota Board of Artistic dari International of World Gamelan Festival di World Expo Vancouver, Kanada 1986, Pameran Kebudayaan Indonesia KIAS di Amerika 1991, Art Summit Indonesia (1995-2007), Anggota Dewan Juri Festival Film Indonesia 1986-1991, Dewan Juri Film Festival Asia 1990 dan berbagai festvial Internasional lainnya… Sebagai Klarinetis dan conductor Suka Hardjana telah bermain di berbagai pentas dunia di Eropa, Amerika, dan Asia. Sebagai Kritikus, kolumnis, dan penulis buku, kritik, dan esai-iesanya dimuat di berbagai harian dan majalah berita di Indonesia. Di samping menulis, berceramah, dan mengelola Klinik Musik, Suka Hardjana kini masih aktif sebagai pengajar.[iv]

Catatan reflektif atas pencapaian dirinya ini pun dapat dilihat dari google books. Alhasil sejauh ini, kira-kira sebatas itulah Pak Suka dikenal oleh generasi milenial. Namun bagi mereka yang penasaran, google sebagai tautan pencari merujuk beberapa buku lainnya yang dirasa penting untuk dibaca untuk mengenal Pak Suka, antara lain: Esai dan Kritik Musik serta Musik Antara Kritik Musik dan Apresiasi yang terbit di tahun 2004. Dua buku tersebut berisikan tulisan kritik musik—yang secara lebih lanjut berisikan logika dari Pak Suka dalam mencermati pelbagai perihal yang berkenaan dengan pertunjukan musik dan sebagainya.

Adapun buku biografi yang menarik untuk dibaca, Erie Setiawan di dalam artikelnya 75 Tahun Suka Hardjana—yang telah dibahas di awal tulisan—turut menautkan bahwa sebuah buku sedang dibuat atas diri Pak Suka dan akan terbit di akhir tahun 2013 oleh Tim Maskarja (akronim dari Masyarakat Karawitan Jawa). Buku biografi bertajuk Manusia Anomali Tanpa Kompromi yang bagi saya cukup lengkap mengupas kedirian Pak Suka. Dieditori oleh Pak St. Sunardi dan Pak A. Supratiknya, buku tersebut berisikan tiga bab cara mengenal Pak Suka, yakni: pertama, wawancara personal tim Maskarja dengan Pak Suka. Alhasil di bab pertama kita mengenal Pak Suka dengan wawancara yang membicarakan kehidupan Pak Suka dari awal dirinya bergelut dengan musik hingga pelbagai pengalaman dan catatannya atas jagad musik kini.

Kedua, analisis Pak St. Sunardi menggunakan sudut pandang filsafat. Ya siapa yang dapat menyangkal bahwa Pak Nardi merupakan scholar yang artikulatif dan kritis, ia dapat memberikan cara pandang yang mudah dalam menelisik seorang figur, sebut saja Sigmun Freud ataupun F. Nietzsche pun dapat ia sederhanakan tanpa mengurangi kedalamannya. Di bab kedua tersebut, Pak Nardi mengupas gagasan dan cara berpikir Suka Hardjana dengan memberi tajuk tulisannya “Musik: Bukan Hanya Peraga Emosi melainkan Ilmu Pengetahuan.” Ia mengupas Pak Suka mulai dari tekstual tulisannya hingga kontekstual keberadaan tulisan Pak Suka dalam konstelasi kini.

Ketiga, sedangkan di bab terakhir, berisikan kesan dari orang yang melihat Pak Suka—baik yang baru bertemu layaknya Pak A. Supratiknya, ataupun yang telah lama mengenal layaknya Pak Adrian Prabava. Dari tiga bab cara mengenal Pak Suka, buku ini termasuk buku baik dalam mengupas kedirian seseorang, yakni memperlihatkan kedirian Pak Suka yang subjektif, analisis dari buah pikirnya, hingga kesan orang lain dalam melihat sepak terjangnya. Kendati tidak dapat dipungkiri ada beberapa catatan atas buku tersebut, namun buku biografi tersebut telah memperlihatkan bahwa Pak Suka adalah anomali. Dan sebagaimana anomali yang konotasinya berbeda dengan yang lain—atau sebutan bekennya anti mainstream—, Pak Suka kerasnya bukan kepalang (baca: berpendirian teguh), ia tidak berkompromi untuk sesuatu yang salah. Sesuatu yang salah bakal ia kritik tajam, tetapi ia tidak meninggalkan persoalan begitu saja, melainkan memberi jalan keluar atas apa yang dapat dilakukan kini. Cara Pak Suka yang tanpa kompromi ini adalah cara jitu untuk seorang, sekelompok, atau sesistem tidak hanya mengakui melainkan menerima kekeliruan yang telah dilakukan, sehingga dapat merubahnya dengan sadar, bukan karena keadaan atau paksaan.

Lantas dari pelbagai cara di ataslah yang dapat dilakukan dalam mengenal Pak Suka. Saya memang memulainya dengan ilustrasi tautan online, namun bagi mereka generasi milenial ada baiknya membuka pelbagai buku atas tulisan atau biografi Pak Suka agar kita mengetahui bahwa ada sesosok manusia yang mungkin tidak akan kita temui di tiap generasinya. Sesosok yang mungkin akan punah dan mejadi ‘mitos’ di masa depan.

 

Bridge: Muasal Logika Saya atas Pak Suka

Sejujurnya saya mengetahui sosok Pak Suka diawali dengan membaca tulisannya di pelbagai literatur terkait kritik musik. Dua buku yang mengakomodasi tulisan kritiknya, antara lain: Musik Antara Kritik dan Apresiasi dan Esai dan Kritik Musik memberikan gambaran bahwa Pak Suka adalah seorang kritikus musik yang tidak hanya menelisik perihal tekstual musik, namun turut menautkan pada kontekstual dari musik tersebut ketika dibuat ataupun dihelat. Alhasil hingga tahun 2013, saya mengetahui Pak Suka sebatas relasi antar penulis dan pembaca, tidak lebih.

Sedangkan kesempatan saya menyaksikan langsung orasi Pak Suka ketika Biennale Jogja mengadakan Equator Simposium pada tahun 2014. Tidak jauh dari ekspektasi atas logika yang dibangun di dalam tulisan-tulisanya, ketika itu Pak Suka menganalogikan sapu lidi sebagai masyarakat dalam membangun sebuah komuntasi terbayang, yakni negara. Orasi yang artikulatif dengan pembahasan dan analogi yang mudah dipahami. Selain itu, salah satu kesempatan lainnya menyaksikan Pak Suka berbicara ketika seminar kritik seni pada Jogja International Performing Arts (JIPA) di PPPPTK Kaliurang bersama Pak Sal Murgiyanto dan Pak Lono Simatupang. Pak Suka secara jeli memperlihatkan cara pandang dalam mengkritik pertunjukan dengan alasan yang jelas.

Satu tahun berselang, saya mendapatkan kesempatan untuk menemui Pak Suka secara langsung. Ketika itu saya meminta tolong Pak Suka untuk menuliskan catatan reflektif atas relasinya dengan Pak Sal. Catatan tersebut dimaksudkan sebagai salah satu dari sekian banyak naskah yang saya sunting menjadi sebuah buku biografi berjudul Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari, terbit di akhir tahun 2016. Dengan keadaan tersebut mengharuskan saya kerap menghubungi Pak Suka via suara ataupun secara langsung. Salah satu hal yang menarik dari pertemuan itu adalah Pak Suka seakan memberi prolog akan tulisan yang tengah ia buat. Prolog yang ia ceritakan kepada saya menunjukan sebuah konstruksi berfikir yang tidak biasa, di mana refleksinya justru bersifat konseptual dan tidak eksplisit dalam mengartikulasikan Pak Sal. Selanjutnya saya kembali ke rumah Pak Suka untuk beberapa urusan lain.

Dari frekuensi pertemuan yang mungkin tidak dapat dikatakan rutin, mungkin anda dapat mengatakan bahwa yang saya katakan bahwa “sosok seperti Pak Suka tidak akan kita temui di tiap generasinya. Bahkan saya akan lebih berani lagi mengatakan bahwa sosok seperti Pak Suka mungkin tidak akan ada pada satu dasawarsa hingga seabad ke depan”, hanyalah asumsi. Anda boleh saja mengatakan bagaimana mungkin kuantitas pertemuan yang tidak rutin dapat membuat konklusi yang sebegitunya? Tentu saya akan menjawab dengan sederhana, bahwa pertemuan saya dengan Pak Suka tidak hanya terwujud, melainkan nirwujud, di mana proses membaca buku dan melihat orasi adalah salah satu modal intelektual yang saya miliki dalam membentuk konklusi tersebut. Tidak hanya itu, konklusi tidak didasarkan pada kuantitas pertemuan, tetapi kualitas pembicaraan. Dan untuk mendukung konklusi saya atas Pak Suka, saya akan memberi ilustrasi atas Pak Suka dan mengapa ia terancam punah menjadi ‘mitos’ kelak.

Sedikit tambahan informasi, salah satu alasan saya menautkan dengan terma mitos semata-mata untuk menunjukan signifikansi yang besar antar Pak Suka dan orang kebanyakan. Anda memang akan mendebat saya bahwa mitos tidak dapat digunakan sembarangan karena sifatnya yang sakral, tidak diketahui siapa penciptanya, dan beragam kompleksitas lainnya. Oleh karena itu saya gunakan mitos dengan tanda kutip (‘ ‘) untuk menunjukan keserupaan tetapi berbeda dengan analogi mitos yang anda percaya terkait dengan mistifikasi, sakralitas, dan sebagainya.

 

Chorus: Idealisme Adalah Nafasnya

Saya tidak memulai dengan prestasinya dan mengkonklusikan atas apa yang Pak Suka lakukan, namun saya memulai dengan landasan apa yang Pak Suka miliki, juga terapan pada pelbagai aktivitasnya. Dengan cara ini saya merasa anda akan lebih mudah mengetahui mengapa Pak Suka saya posisikan sebagai sosok langka, hampir punah, dan akan menjadi ‘mitos’ di masa depan. Adalah idealisme yang dipunya Pak Suka dalam mewujudkan segala sesuatunya. Idealisme Pak Suka bagaikan sebuah semangat yang tak pernah padam, sementara orang lain menghamba pada kemauan pasar dan zaman.

Lantas apa yang spesial dengan idealisme jika hal tersebut dimiliki semua orang?  Ya betul idealisme dimiliki semua orang tetapi kadarnya berbeda. Kadar dan bagaimana seorang Pak Suka merawat idealismenya adalah hal yang penting untuk diketahui. Pak Suka di tahun ini akan berumur 79 tahun, dan ia terus merawat idealismenya. Apa anda bisa bayangkan jika anda di umur 79 tahun akan seperti apa? Dan apakah anda masih merawat idealisme untuk terus menjadi asa di dalam hidup anda? Sebagian orang tidak, lebih memilih memasuki sistem yang telah ada dan hidup bahagia berkalut alienasi, hingga lupa siapa dirinya dan untuk apa ia hidup. Oleh karena itu, saya akan coba tautkan kadar dari idealisme Pak Suka secara artikulatif.

Penting untuk diketahui, ternyata sejak dari masa kecilnya, Pak Suka telah memilih akan menjadi apa kelak. Pak Suka memilih belajar musik untuk menjadi seorang seniman sementara sanak saudaranya memilih profesi yang telah lazim dipilih orang kebanyakan. Orang tua Pak Suka sempat dibuat geleng-geleng kepala atas pilihan Pak Suka yang sedari kecil memilih belajar piano. Bahkan ketika di sekolah setaraf SMA, Pak Suka lebih memilih untuk berhenti dari SMA dan melanjutkan bersekolah di Sekolah Musik Indonesia Yogyakarta. Khususnya Bapak dari Pak Suka benar-benar dibuat kalang kabut, terlebih kita tahu bahwa menjadi seniman di kala itu, adalah hal yang tidak menjanjikan. Musik hanya dianggap sebagai hobi bukan sebuah profesi.

Namun Pak Suka tetap bersikukuh dalam memilih jalan kehidupan yang ‘lain’ dengan menempuh musik. Hal itu berbuah, di masa sekolahnya, Pak Suka kerap diudang bermain hingga ke Surabaya. Bahkan di dalam buku Manusia Anomali tanpa Kompromi (2013), Pak Suka menceritakan bahwa dirinya sempat mengajar di Surabaya tetapi hanya sebentar karena tidak betah. Sebagaimana murid yang aktif dan berprestasi, Pak Suka mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi tanpa mendaftar. Sang guru René  Baumgartner yang adalah orang Swiss mendaftarkan Pak Suka untuk melanjutkan studi di Jerman. Begitupun ketika melanjutkan jenjang master, di mana Pak Ali Sadikin, gubernur ketika itu menawari Pak Suka untuk bersekolah ke Amerika. Pak Suka merasa dirinya beruntung, namun di balik keberuntungan ada sebuah perjuangan dan konsistensi sehingga cita-cita tidak lagi menjadi harapan melainkan kenyataan.

Sepulangnya Pak Suka dari Jerman, ia kembali ke Jakarta dan bertemu dengan Pak Ali Sadikin. Di dalam wawancanya kepada tim Maskarja pada buku Manusia Anomali tanpa Komporomi, Pak Ali Sadikin mengatakan bahwa Jakarta [ketika itu] layaknya hutan belantara, sehingga Pak Suka harus ‘babat hutan’. Tentu Pak Suka tidak keberatan, justru dengan ‘babat hutan’ lah sebuah ciptaan baru dapat dilakukan. Informasi atas ‘babat hutan’ ini turut diartikulasikan oleh tulisan Pak Suka sendiri di dalam artikel Pak Suka yang berjudul “Dewan Kesenian Jakarta yang Baru”, Pak Suka menyatakan bahwa Ada sebuah ketakutan dari DKJ karena basis budaya Jakarta yang lebih mengarah ke urban. Ya sontak kita bisa tegas mengatakan Betawi, namun seberapa besar Betawi dapat bertahan, apalagi menjadi pusat budaya di Indonesia. Dalam hal ini, asumsi awal Pak Suka adalah karena Jakarta tidak dilaterbelakangi budaya yang dominan, serta Jakarta hanya bagaikan melting pot alias panci panas yang mengakomodasi semua kebudayaan bagi pendatang yang datang. Terlebih brand politik dan ekonomi lebih menyala ketimbang soal budaya. Selanjutnya:

Di dalam sebuah pidato dari bekas Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menekankan bahwa “…memang seniman ini sukar diatur dan mengatur dirinya. Oleh karenanya, beri mereka kebebasan mengatur dirinya…”. Sebuah aba-aba dari sang gubernur untuk lebih kreatif, dan setelahnya DKJ dituntut memperhatikan aspek horizontal dan vertikal, yang artianya tidak saja menumbuhkan dan menciptakan kehidupan berkesenian, tetapi juga harus mampu lebih banyak menumbuhkan mutu berkesenian.[v]

Sederhananya, DKJ tidak lagi berfokus pada perihal kuantitas, namun kualitas karya menjadi konsentrasi utama.

Dengan program ‘babat hutan’ di DKJ, akhirnya tari dan musik membuat sebuah program yang menarik. Jika di tari Pak Sal Murgiyanto membuat Pekan Penata Tari Muda, di musik Pak Suka Hardjana membuat Pekan Komponis Muda. Dua acara tersebut menurut saya menjadi barometer kesenian musik dan tari pada saat itu. Dua sosok dan tim mereka masing-masing berkonsentasi tidak hanya presentasi, melainkan pembelajaran dan pembenahan kualitas dari seniman muda, yang kelak memimpin seni Indonesia ke depan. Sebuah ideologi yang tidak bicarakan Indonesia masa itu, tetapi Indonesia masa ke depan. Visioner!

Pak Suka sadar dengan menyelenggarakan Pekan Komponis Muda, ia tidak dapat membatasi musisi muda yang terlibat hanya berasal dari mereka yang mempunyai habitus musik Barat, melainkan turut mengakomodasi mereka dengan habitus musik daerah. Di satu sisi pemikiran tersebut mungkin bersifat kondisional, namun di sisi lain pemikiran tersebut sangat matang terlebih tidak seperti scholar Barat ketika Etnomusikologi di awal pembentukan di mana musik lokal ‘dipaksa dianalisis’ dengan logika musik Barat. Akhirnya cara tersebutlah yang dapat membuat Pak Suka dengan Pekan Komponis Muda-nya justru berlangsung cukup lama, yakni dari tahun 1979 hingga 1988, dan berlanjut sepuluh tahun setelahnya hingga tahun 2012.

Sebagaimana kita percaya bahwa yang ditanam akan tumbuh, maka dari Pekan Komponis Muda tersebut, setidaknya telah menghasilkan beberapa nama komposer yang malang melintang menaungi konstelasi musik Indonesia kini:

Rahayu Supanggah, A.L. Suwardi, Wayan Sadra, Made Sukerta, B. Subono, Sukamso. Rustopo, Nano Suratno, Gede Suarsana, Komang Astita, Ni Ketut Suryatini, Wayan Rai, Gede Asnawa, Wayan Sweca, Nyoman Windha, Suwarmin, Adjizar, Djaduk Ferrianto, Otok Bima Sidarta, Waluyo, Elizar, Jalu G. Pratidina, Dedy Satya Hadinata, Dody Ekagustdiman, Suhendi Afryanto, Yoyo Rw hanyalah sedikit dari begitu banyak nama yang dapat disebut sebagai contoh dari para komponis musik masa kini Indonesia yang bersumber dari kedalaman seni tardisi. Sementara Harry Roesli, Otto Sidharta, Franki Raden, Yazeed D Djamin, Tony Prabowo, Marusya Nainggolan, Saoti Rahardjo, Hayo “Yose” Suyoto, Krityanto Christianus, Ben Pasaribu, Trisutji Kamal, Yoesbar Djaelani, Fatadji, Didi AGP, Belinda Lestiono adalah beberapa nama yang dapat disebut dari sekian banyak nama para kompoinis musik masa kini Indonesia yang bertolak dari berbagai macam disiplin musik modern (serta pahami klasik). Juga Slamet Abdul Syukur yang mengawali dan menyebarluaskan musik kontemporer di Indonesia pada tahun 1974.[vi]

Nah dari nama-nama di atas, anda dapat menautkan apakah seniman, komposer, atau musisi tersebut mewarnai musik di daerah anda masing-masing. Pelbagai nama komposer yang bersinar kini merupakan hasil pembelajaran dari Pekan Komponis Muda. Dalam hal ini kita tidak dapat seenaknya mengatakan bahwa Pekan Komponis Muda adalah tempat pembelajaran tunggal yang membentuk para komposer, karena pada dasarnya para komposer telah mempunyai basis musik yang tengah atau sudah matang. Namun dalam hal ini kita perlu akui bahwa Pekan Komponis Muda mempunyai posisi penting dalam membentuk kultur pertemuan yang berisikan diskusi, presentasi yang dipertontonkan pada masyarakat dengan basis kultural beragam, serta pembelajaran kritis atas musik dan lintas budaya. Maka itu saya menyebutnya bahwa Pekan Komponis Muda tidak berperan tunggal, tetapi mempunyai peran penting dalam membentuk musik Indonesia kini.

Selain hanya tentang membuat terobosan yang visioner tadi, Pak Suka adalah seorang scholar musik, atau lebih akrab dengan sebutan sarjana musik. Ia tidak hanya berbalut kemampuan musik yang baik, melainkan kemampuan akademis musik yang tidak kalah apik. Dalam buku Manusia Anomali tanpa Kompromi, pembaca disuguhkan cerita akan dua karya Pak Suka, salah satunya adalah karya Wulan yang ia buat atas permintaan sutradara, Garin Nugroho untuk film Bulan Tertusuk Ilalang. Proses telah dibuat, namun yang mengherankan adalah ketika diskusi mereka tidak mendekati kata sepakat, Pak Suka justru mengakui bahwa karya musiknya kurang cocok dengan cerita yang dibuat oleh Pak Garin. Alhasil Pak Suka menyatakan bahwa karyanya tidak cocok dan lebih baik tidak digunakan. Dari catatan di atas ada beberapa poin yang menarik, di mana komposer tidak hanya ‘ngepasi’ sebuah proses kolaborasi, melainkan turut membuat dan memperkuat makna. Dalam hal ini, Pak Suka tidak bersikukuh memaksakan komposisinya atau membiarkan digunakan, melainkan memberi pandangan yang jernih, bahkan atas karyanya sendiri.

Sepulangnya dari Jerman pun, Pak Suka merawat idealisme musiknya dengan membuat sebuah orkes di Jakarta. Orkes ini juga lah yang membuat Pak Suka mengambil studi conductor di Amerika. Salah satu alasan lainnya mengapa Pak Suka mengambil studi tersebut karena Pak Suka ingin mengetahui apakah metode yang ia gunakan selama membangun orkes tersebut telah tepat atau sebaliknya. Jika dua contoh di atas merujuk pada produksi karya dan produksi kelompok, dan dua hal tersebut hanya bisa saya baca di literatur sehingga tidak mendapatkan pengalaman langsung dari karya Pak Suka. Maka saya akan menautkan sebuah karya yang mungkin bisa anda akses di youtube.com. atas karya Pak Suka, yakni komposisi dalam film Tragedi Bintaro.

Tragedi Bintaro bagi masyarakat Jakarta—khususnya tahun 1987, tahun di mana kecelakaan berlangsung; hingga paska periswtiwa mengenaskan tersebut terjadi—, merupakan momok bagi moda transportasi di Indonesia. Kecelakaan tragis yang melibatkan dua buah kereta api di Bintaro [khususnya di Pondok Betung] termasuk dalam kategori musibah terburuk pada sejarah panjang perkereta-apian tanah air. Duka dan nestapa yang terjadi Oktober 1987 silam lantas difilmkan pada tahun 1989.

Dengan genre drama, film yang menyimpan ‘kesedihan’ tersebut menjadi film tahunan yang selalu ditayangkan oleh televisi hingga medio 1990an. Entah apakah anda merasakan “ketakutan” atau “kengerian” dari film tersebut atau sebaliknya, namun yang jelas film tersebut lekat di ingatan saya. Di mana film tersebut cukup menakutkan di zamannya, namun bukan layaknya film horor, melainkan suasana ‘menakutkan’ atas cerita dengan komposisi bunyi di dalam film seakan menambah nuansa mencekam yang menyayat nadi. Usut punya usut, film tersebut mendapat penghargaan dari Festival Film Indonesia ketika itu, khususnya pada kategori Penata Musik Terbaik yang jatuh pada Pak Suka. Secara jujur, musik di film tersebut telah memberikan impresi yang kuat atas cerita, atas bagaimana sebuah ketakutan terbangun di dalam tragedi tersebut. Jika anda ingin mengetahui lebih lanjut, silahkan berselancar dengan tautan video online youtube.com, namun jangan anda bandingkan dengan bagaimana musik film kini dengan beragam teknologinya, melainkan disesuaikan dengan zeitgeist-nya. Namun bagi saya, film tersebut setidaknya masih teringat ke’ngerian’nya di benak bahkan hingga kini.

Sebagaimana yang coba saya tautkan bahwa Pak Suka tidak hanya berasal dari kultur akademis, melainkan ia memulainya dari kultur seni, setidaknya beberapa contoh barusan dapat memberikan sebuah gambaran bahwa Pak Suka tetap berpegang teguh pada musik sebagai sense—baik estetika, bentuk, hingga makna—dalam menalar dan mengkritisi sebuah praktik kebudayaan dan berkesenian. Dengan basis musik tadi, alhasil Pak Suka dapat aktif menulis, menganalisis, dan mengkritisi pelbagai pertunjukan musik yang dihelat di zamannya. Tanpa ragu dan tanpa batasan, segala bentuk pertunjukan musik, mulai dari orkestra hingga pertunjukan dangdut, tetap ia tuliskan di media koran. Alhasil dari dua buku yang berisikan uraian kritiknya, antara lain: buku Esai dan Kritik Musik anda bisa membaca sejumlah 69 artikel, sedangkan buku Musik Antara Kritik dan Apresiasi anda bisa membaca sejumlah 82 artikel dari Pak Suka yang berbeda. Saya pun cukup yakin bahwa masih ada beberapa tulisan kritiknya yang belum ia publikasikan. Selain itu, ia turut membuat beberapa buku, di antaranya adalah buku yang berisikan analisis akan estetika musik, seperti Estetika Musik (1983); selain itu buku yang berisikan perkembangan tentu dengan analisis musik dan historis yang kuat dalam buku Corat Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini (2003), dan beberapa tulisan tersebar lainnya.

Tidak hanya bermusik dan menulis, Pak Suka turut mengajar di beberapa institusi pendidikan. Alih-alih ia menetap, Pak Suka lebih memilih tidak terikat dan berpindah, sehingga ia dapat memberikan pandangan dengan jernih atas sistem yang telah dibentuk sebelumnya, serta memberikan solusi yang diperlukan untuk membenahinya. Terus terang, saya belum pernah merasakan menjadi murid Pak Suka secara langsung, di ISI Surakarta Pak Suka mengajar pada program Pascasarjana sejak angkatan pertama atas permintaan Pak Rahayu Supanggah. Namun sebagaimana yang ia berikan kepada mahasiswanya, ia tidak berlaku layaknya juru selamat yang membawa sebuah cara menyelesaikan sebuah persoalan dengan mudah, melainkan dengan menganalisisnya secara bersama-sama. Dapat dilihat di dalam buku Manusia Anomali tanpa Kompromi, kita diberikan sebuah ilustrasi bahwa mengajar perdana Pak Suka tidak membawa bahan apa-apa, dan hal tersebut ia lakukan hingga beberapa semester. Hal ini tentu bukan untuk ditiru oleh pengajar amatiran, terlebih pembacaan, pembelajaran, dan pengalaman Pak Suka sudah tidak diragukan lagi.

Atas cara bagaimana ia mendidik, di sebuah pembicaraan yang dilakukan dua tahun lalu antara saya dengannya, Pak Suka mengajarkan untuk mengatakan secara tegas atas apa yang dipelajari. Tidak sedikitpun bernegosiasi dengan ‘kengawuran’ analisis yang seenaknya atas teori, dan perlu dibaca betul atas apa yang ingin disampaikan. Sebuah kelangkaan tersendiri khususnya bagi mereka musisi yang sudah merasa senang hanya dengan bermusik tanpa harus membaca dan memahami sebuah literatur dengan cermat. Cara ajar yang dua arah dengan fokus diskusi ia kerap ceritakan. Untuk persoalan penyampaian, Pak Suka tidak enggan untuk berkata jujur kepada mahasiswa jika dirinya tidak tahu atas sebuah hal. Namun tidak hanya mengatakan tidak tahu dan setelahnya dilupakan sepihak, Pak Suka akan mendatangi mahasiswanya dan memberikan jawaban ketika ia sudah mengetahuinya. Dan sepanjang bercerita atas bagaimana ia mengajar, kebenaran keilmuan dan logika yang rasional selalu ia kedepankan, tanpa kompromi.

Bertolak dari itu semua aktivitas Pak Suka, ada sebuah hal yang ia pegang teguh, yakni idealismenya. Dengan idealismenya ia memang tidak bergelimang harta, namun ia tetap menjadi manusia merdeka, yang justru membuatnya jernih, bahkan terlampau kritis untuk banyak orang. Alhasil di sinilah keistimewaan Pak Suka, di mana kita sudah jarang menemukan orang semacam dirinya yang kritis tapi logis, bukan hanya mencacat seenaknya, melainkan beralasan dan dapat diterima akal sehat. Maka untuk menutup bab ini, jika Tan Malaka[vii] mengatakan bahwa Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda, maka dalam hal ini, idealisme adalah kemewahan kekal yang dipunya Suka Hardjana.

 

Interlude: Sosok Ibu Maria Tidak Kalah Penting

Di kali pertama pertemuan kami, gerbang tertutup rapat, mengintip ke dalam rumah hanya bisa melalui sela pembuka gembok. Lazimnya pintu terbuka, dengan sebuah triplek diletakkan di depannya, maklum banyak tikus dan curut yang suka masuk ke dalam rumah. Ketika itu berulang saya mengucap “kula nuwun” dengan nada lantang. Tidak satupun ada orang yang keluar dari pintu tersebut. Hingga setengah jam saya menunggu terdiam duduk di depan rumahnya. Beberapa menit setelahnya, sebuah bajaj—kendaraan berroda tiga di Jakarta—berhenti di depan rumahnya. Seorang laki-laki paruh baya, bercelana pendek berpakaian kemeja yang didominasi warna biru dan cokelat, membawa segenggam plastik belanjaan berisikan sayuran turun dari kendaraan tersebut. Setelah ia membayar ongkos akan perjalanannya, ia berpaling dan menanyakan siapa saya.

Setelah menjelaskan bahwa sebelumnya telah melakukan percakapan suara via telepon genggam dan menyebutkan nama saya, maka Pak Suka mempersilahkan saya masuk ke dalam rumahnya. Akhirnya kami berbicara panjang lebar atas musik dan tari dari matahari masih menyinari hingga tenggelam sempurna. Di tengah pembicaraan yang masih hangat, keadaan semakin malam, Ibu Maria, meminta kami menyelakan waktu untuk makan. Akhirnya kami melanjutkan obrolan di meja makan. Ibu Maria sangat baik, informasi atas Ibu Maria sebenarnya sudah saya dapatkan dari Pak Sal, di mana Ibu Maria pernah menjadi murid Pak Sal ketika studi. Dengan latar itu kami pun akhirnya turut berbicara banyak hal, karena Ibu Maria juga tidak kalah banyak mengetahui perihal seni.

Tidak hanya itu, yang cukup membuat saya salut, Ibu Maria tetap setia mendampingi Pak Suka atas pelbagai suka dan dukanya. Ibu Maria menerima sosok Pak Suka yang terlampau idealis dengan berpendirian teguh. Alih-alih hanya menuruti segala kemauan Pak Suka, Ibu Maria mempunyai peran yang cukup penting di dalam kehidupan Pak Suka, di mana tidak hanya menerima dan mendukung atas semua kehendak Pak Suka, melainkan memberikan pandangan yang lebih ‘humanis’ atas segala pilihan Pak Suka. Dan dengan keberadaan Ibu Maria sebagai istri dari Pak Suka, Pak Suka lebih bersifat realistis namun tetap berkalut idealis.

 

Ending: Memetik Makna dari Pak Suka

Lantas apa yang dapat kita petik dari trayektori[viii] kehidupan Pak Suka? Tentu anda akan menjawab banyak hal, antara lain: mulai dari fase dan prestasi pendidikan Pak Suka; torehan program, di antaranya Pekan Komponis Muda yang menyejarah; karya musik baik yang diperuntukan untuk karya personal hingga kolaborasi, serta orkesnya; pelbagai buku baik yang berisikan ulasan dan kritik, analisis musik, hingga catatan musik secara diakronik; dan yang terpenting adalah idealisme yang tetap menjadi cara pandang dalam menempuh pelbagai kompleksitas kehidupannya. Hal tersebut tentu dapat bermakna dan hal yang dapat diacu dari Pak Suka, namun lupakan beratnya pelbagai pencapaian tersebut.

Anda tidak perlu menandingi pencapaian Pak Suka untuk menjadi seorang Suka Hardjana. Pak Suka tidak perlu digantikan, ia terbentuk secara organik. Sedangkan jika anda membaca atau mengetahui Pak Suka dan ingin menjadi dirinya, itu sudah seolah-olah dibuat dan renta dengan artifisial dan superfisial. Maka yang perlu dilakukan adalah memperbanyak, menggalakkan pelbagai aktivitas yang ia telah buat. Entah dengan menerapkan ataupun mengembangkan aktivitas yang telah Pak Suka lakukan, sesuai dengan konstelasi yang dibutuhkan kini. Itu yang sekiranya lebih ideal dilakukan. Namun setidaknya ada beberapa poin dari pelbagai aktivitasnya yang dapat dipikirkan dan dikembangkan, pertama, dalam hal kritik musik, di mana kita perlu sadari bahwa kritik Pak Suka tidak hanya menjadi tulisan semata, karena dengan karya kritiknya, kini kita dapat melihat sejauh maka karya musik beberapa tahun lalu berkembang di Indonesia.

Kedua, dalam hal buku, baik kritik ataupun artikelnya. Dari tulisan tersebut kita dapat mengatahui sudah sejauh mana pemikiran kritis yang terbangun di beberapa waktu silam. Hal ini bisa menjadi refleksi kita atas sejauh mana daya kritis generasi sekarang. Apakah lebih baik, atau sebaliknya, tertinggal? Ketiga, dari Pekan Komponis Muda, kita mendapatkan generasi gemilang musik yang dapat kita nikmati kini. Pekan Komponis Muda adalah program visioner yang menciptakan komponis yang tidak hanya bermain kini tetapi untuk mada mendatang. Untuk saat ini, memang sudah ada Pekan Komponis Indonesia, itu sudah baik, namun tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan ataupun sebaliknya, tentu sesuai kebutuhan yang diperlukan zaman.

Keempat, dari kritik dan tulisan budaya yang ia bubuhkan, Pak Suka memperlihatkan bahwa seorang komponis atau musisi harus selalu tertaut dengan pelbagai kontekstual atas realitas yang terjadi. Pak Suka memperlihatkan proses lintas bidang seni dan lintas budaya yang ia lakukan membuat Pak Suka mempunyai pikiran terbuka. Selain ditunjuk beberapa kali untuk membawa rombongan tari dalam acara pertukaran budaya, Pak Suka menjalin relasi dengan seniman lintas bidang. Kelima, idealisme yang kuat. Pak Suka menjadi seorang yang tahan banting, dengan prinsip dan idealisme yang teguh. Namun idealisme tersebut tetap berkorelasi dengan nalar yang masuk akal. Memang kerap kali idealisme jauh dari kata realistis, namun idealisme Pak Suka tetap terwujud bersamaan dengan realitas yang berjalan.

Dari lima rumusan saya di atas, saya tidak meminta anda untuk bersikap sesempurna kelima poin di atas, seperti yang saya kemukakan di awal bab tulisan ini, anda bisa saja mengembangkan, menggunakan, ataupun meninggalkannya. Kompleksitas zaman memang berbeda, namun kokohnya seorang Pak Suka dapat menjadi model atas sosok yang pantang kompromi dalam melakukan hal terbaik yang ia punya di zamannya. Lantas bagaimana dengan anda?

 

Outro

Saya mengharapkan anda tidak lelah membaca artikel ini, memang cukup panjang, namun cukup disayangkan jika anda telah menutupnya di tengah bacaan. Pada dasarnya tulisan di atas dibagi khayalnya sturktur dalam musik. Layaknya anda mendengar musik, anda bisa saja menyenangi di bagian verse, bridge, chorus, ataupun tidak semuanya. Itu pun hak anda menyenangi musik per bagian—yang di dalam tulisan ini berarti anda menyenangi di salah satu bab saja. Namun alangkah indahnya jika anda menggunakan cara sebaliknya, yakni dengan tidak mendengar musik per bagian lantas anda menyukainya, melainkan anda mendengar keseluruhan lagu dan setelahnya anda memutuskan ingin menyukai di bagian mana. Alhasil anda dapat secara utuh menyenangi sebuah lagu, dan menjadi alasan kuat mengapa anda menyukai di salah satu bagian di dalam lagu. Dan hal tersebut serupa dengan tulisan ini, anda tinggal mengkonversinya pada bacaan ini.

Lainnya, salah satu alasan mengapa tulisan ini diterbitkan di tautan online adalah agar pembaca yang lazim membuka instagram atau facebook di ponsel pintarnya, dapat turut membuka tautan online yang mengakomodasi tulisan ini. Bagi saya ini adalah cara mengenalkan Pak Suka ke generasi milenial, sehingga Pak Suka tidak hanya diketahui oleh satu hingga tiga generasi saja, melainkan terus menjadi cerita yang tidak kunjung berhenti. Selain itu, saya juga berharap agar tulisan ini bukan menjadi satu-satunya tulisan yang anda percaya dalam menggambarkan kedirian Pak Suka, saya mengajak anda untuk membuka buku-buku karangan Pak Suka, agar dapat mengetahui kedirian Pak Suka sesuai dengan interpretasi yang anda inginkan dan butuhkan. Sebagaimana ini adalah cerita ‘suka-suka’ yang dibuat sesuka saya, semoga anda mulai merasa suka dengan Pak Suka. :)[]

[i] Lihat http://www.artmusictoday.com/75-tahun-suka-hardjana/

[ii] Mendut, Sutanto. 2002. Kosmologi Gendhing Gendheng (Intercosmolimagination). Magelang: IndonesiaTera.

[iii] Ibid.

[iv] Hardjana, Suka. 2008. Jas Wakil Rakyat dan Tiga Kera: Percikan Kebijaksanaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

[v] Hardjana, Suka. 2004. Musik antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

[vi] Hardjana, Suka. 2004b. Esai dan Kritik Musik. Yogyakarta: Galangpress.

[vii] Ya mungkin anda akan mengira saya muluk-muluk. Apalah arti Pak Suka dihadapan Pak Tan Malaka—seorang figur penting di era kemerdekaan, yang bahkan Soekarno mengatakan kelak ia akan menggantikan posisinya. Pun pernyataan Pak Tan tersebut ditautkan sebagai satu-satunya semangat yang dimiliki pemuda ketika kemerdekaan dan revolusi diwujudkan. Pak Tan dan Pak Suka memang berbeda era, saya pun juga tidak sedang mengkomparasi keduanya, terlebih bingkai konstelasi dan bidang mereka berbeda.

[viii] Meminjam terma Pierre Bourdieu yang berkonotasi lintasan. Trayektori digunakan dalam teori habitusnya.