(Ilustrasi: @aberiot)

Pada 2018 silam, setelah sekira empat dekade dunia hening dari huru-hara City Pop, kehadirannya kembali lewat rekomendasi lagu “Plastic Love” dari algoritma YouTube cukup menggemparkan dunia. Semenjak itulah, lagu-lagu di era dekade 1970 hingga akhir 80-an City Pop Jepang kembali menyeruak. Bahkan, Warner Music Japan menciptakan klip singkat untuk lagu “Plastic Love” yang dinyanyikan oleh Mariya Takeuchi, tiga puluh lima tahun berselang semenjak lagu tersebut dilansir. Barangkali anda masih asing dengan nama Mariya Takeuchi. Mariya Takeuchi adalah musisi pop asal Jepang yang namanya besar pada saat City Pop—genre yang naik daun pada masa Jepang mengalami kejayaan ekonomi pada kisaran dekade 1970 hingga 1980-an.

Namun, Mariya Takeuchi sebetulnya hanyalah satu dari sekian banyak musisi di Jepang yang kehadirannya mewakili sebuah dekade masa keemasan di Jepang sekitar tahun 1970 hingga akhir 1980-an. Dalam artikel Tirto.id (28/11/2019), ada dua musisi yang saat itu dianggap mempelopori City Pop, yaitu mantan personel band Happy End, Haruomi Hosono dan Tatsuro Yamashita. Pada pertengahan tahun 1970an, mereka berkreasi menggabungkan unsur R&B, soul, dan jazz a la Amerika Serikat yang lantas menghasilkan “bibit” nuansa musik City Pop. Tatsuro lantas mengokohkan pondasi nuansa musiknya dengan menambahkan unsur soft rock, funk, boogie, pop tekno, dan disko. City Pop akhirnya semakin digandrungi semenjak akhir tahun 1970an— terutama pada awal 1980an, ditandai oleh kemunculan sederet penyanyi seperti Anri dan Akira Terao.

Kehadiran City Pop sejatinya tidak dapat dilepaskan dari histeria masyarakat terhadap keberadaan teknologi modern yang disokong pesatnya perkembangan industri elektronik di Jepang pada dekade 1970 hingga 1980an. Musisi seperti Takako Mamiya, Miki Matsubara, dan Taeko Ōnuki mulai mencipta lagu pop dengan hentakan musik yang up-beat dengan menyisipkan nuansa elektronis, merepresentasi Jepang yang saat itu perkembangan industri elektroniknya sedang maju pesat. Sebagian besar hasil industri elektronik seperti Sony, Panasonic, dan industri mobil seperti Toyota, Nissan, dan Honda merajai pasaran dunia. Gelombang keberhasilan ekonomi ini kemudian pula menciptakan kelas sosial baru di tengah masyarakat Jepang: kelas menengah. Bahkan, lelagu City Pop ditengarai mampu mewakili masyarakat urban Jepang yang kosmpolit di masanya. Seorang jurnalis musik, Yutaka Kimura, bahkan mendefinisikan City Pop sebagai musik pop urban untuk masyarakat bergaya hidup urban. Sementara itu, seorang penulis artikel daring, James Crocket menengarai City Pop sebagai nuansa musik Jepang tahun 1980an yang serba hedonis. Perpaduan musik disko, funk, dan jazz yang lahir di Jepang, tetapi terlupakan dengan cepat itu, saat ini kembali booming dengan bantuan Internet.

City Pop juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh musik “barat” (baca: Amerika Serikat). Seturut dengan pernyataan Safiyah (2017) yang membahasakan City Pop sebagai kompilasi lelagu yang muncul dari berbagai genre barat (western), melalui nuansa musik swing, ketukan disko nan rancak, melodi jazz, dan funk yang berpadu. Sementara Aoki (2015) menunjuk City Pop sebagai terma yang mulai digunakan semenjak Sugar Babe (1973)— sebuah band yang diproduseri oleh Eiichi Ohtaki— mulai memasukkan unsur jazz dan R&B untuk memberikan nuansa “urban” (urban feel) dalam musik mereka.

Perekonomian Jepang Pasca Perang Dunia II

Jika membincang geliat City Pop secara lebih jauh, kita tidak bisa melepas wacana musik-urban tersebut dari perkembangan industri yang erat pertaliannya dengan konteks sosial ekonomi dan politik Jepang pasca Perang Dunia II. Di masa itu, Jepang mengalami kebangkrutan karena seluruh daya ekonomi di masa perang telah digunakan seluruhnya untuk menggalang kekuatan militer Jepang. Perjalanannya cukup panjang hingga akhirnya Jepang berhasil merevitalisasi kondisi ekonominya dalam kisaran kurang dari 40 tahun.

Apabila ditilik lebih lanjut, kebangkitan perekonomian Jepang pun tidak dapat dilepaskan dari peranan Amerika Serikat yang memberi bantuan ekonomi kepada Jepang melalui “Dodge Plan” yang dijalankan semenjak tahun 1948. Pasca kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, Jepang mengalami resesi ekonomi besar-besaran. Penduduk Jepang yang meninggal pada masa itu kira-kira 1,8 Juta atau sekitar 4% dari seluruh populasi penduduk Jepang. Sementara, 680 ribu sisanya mengalami luka parah, bahkan banyak pula penduduk yang dilaporkan hilang. Kerugian material bahkan mencapai perkiraan 25% dari seluruh kekayaan nasional (Economic Stabilization Board report 1949). Selain itu, produksi industri Jepang pada masa itu juga mengalami kejatuhan, bahkan produksinya merosot tajam hingga hanya mampu memproduksi sepersepuluh atau 24% dari jumlah yang bisa diproduksi pada masa pra-perang. Ditambah lagi, resesi ekonomi yang parah karena Jepang—sebagai pihak kalah—harus membayar pesangon untuk para veteran dan kompensasi ganti rugi atas dampak perang. Pada masa itu, Jepang mengalami hiper-inflasi.

Revitalisasi ekonomi Jepang pada tahun-tahun setelahnya pun tidak dapat dilepaskan dari campur tangan Amerika Serikat melalui pelbagai program bantuan ekonomi yang disalurkan oleh Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Program bantuan tersebut menjelma retorika politik dalam mempertahankan posisi—bahkan menaikkan kedudukan Amerika Serikat dalam kancah perpolitikan dan perekonomian dunia. Strategi tersebut mengingatkan pada Naomi Klein (2007) dalam buku “The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism”, di mana ia menyebut terma “Blank is Beautiful” dalam pengantar bukunya. Menurut Klein, acap kali dalam masa krisis (Klein menyebutnya dengan masa kosong/ blank), bantuan ekonomi bernuansa filantropis nan kapitalis melesak masuk dan bergulat dengan krisis. Pada gilirannya, bantuan pemulihan ekonomi yang ditanamkan memiliki efek jangka panjang melingkup perubahan sistem sosial di bawah kendali sang investor, dalam hal ini adalah Amerika Serikat. Pada kisaran tahun 1960-an, dimulailah pembenahan perekonomian Jepang. Semenjak tahun 1948, dengan bantuan Amerika Serikat melalui kaki tangan “Dodge Plan”, Jepang memulai revitalisasi ekonomi secara bertahap. “Dodge Plan” atau lebih dikenal sebagai “Dodge Line” merupakan rencana pembangunan di bawah Joseph Dodge, seorang Direktur Bank Detroit, seorang ekonom liberal Amerika Serikat. Pertama-tama, ia memerintahkan diberlakukannya penghematan keuangan negara demi mengakhiri inflasi dengan mengurangi pinjaman, menghapuskan subsidi dan meningkatkan pajak, mengurangi pengeluaran negara, dan menyeimbangkan neraca pembiayaan.

Kebijakan “terapi kejut” Dodge ini pada akhirnya sukses menyetop inflasi, meskipun resesi ekonomi belum jua berakhir. Seiring berjalan waktu, nampaknya ada faktor eksternal yang akhirnya berdampak positif bagi perekonomian Jepang, yaitu Perang Korea (1950-1953). Perang tersebut rupanya berimplikasi pada peningkatan permintaan ekspor kebutuhan militer dan sipil ke Korea. Di masa inilah, resesi ekonomi Jepang mulai benar-benar berakhir. Jepang di masa selanjutnya kemudian mulai menjajaki perkembangan industri dan perekonomian yang masif. Di masa dekade 1970 hingga 1980an, Jepang menjelma fenomena ekonomi global yang dielu-elukan.

Jika mundur sekian abad yang lalu, kita bisa melacak perkembangan industri Jepang dimulai dari Restorasi Meiji. Dalam artikel yang ditulis oleh Eman Suherman (2004), Restorasi Meiji (Meiji Ishin) pada kisaran 1868-1912 merupakan revolusi yang dilakukan oleh kaum ningrat dalam pemerintahan militer Jepang untuk mengambil alih kekuasaan kekaisaran pada tahun 1868. Restorasi Meiji pada akhirnya mengubah Jepang sebagai negeri agraris menjadi negeri yang mendekati ekonomi industri. Shigeru T. Otsubo (2007) dalam presentasinya di Nagoya University menjelaskan tahapan perkembangan ekonomi Jepang dalam beberapa fase. Pertama adalah fase rekonstruksi pasca-perang di kisaran tahun 1945-1960, yaitu ketika Jepang berusaha membangun kembali perekonomiannya. Fase kedua, yaitu masa transisi Jepang menuju gelembung ekonomi aset, pada kisaran awal 1970an hingga akhir 1980-an. Pada masa ini, perekonomian dan industri Jepang meningkat tajam. Terutama setelah tahun 1985, Jepang telah mendominasi perekonomian global. Di masa tersebut, masyarakat Jepang jadi konsumtif, standar hidup pun semakin tinggi.

Pada akhir tahun 1970an, setelah berhasil merevitalisasi perekonomiannya, Jepang akhirnya memasuki masa keemasan ekonomi— acap kali disebut sebagai Japanese Miracle Boom. Pada masa tersebut, inovasi teknologi terjadi besar-besaran: Sony Walkman produksi Jepang digandrungi di seluruh dunia, yang pada akhirnya membuat perekonomian dan industri Jepang semakin kuat. Di masa inilah, orang-orang Jepang mulai membeli barang-barang impor. Bahkan banyak dari mereka yang membeli mobil dan mulai memasang set radio stereo di mobil. Beat lagu City Pop yang menggebu dan elektronik nampaknya lantas cocok didengarkan lewat radio stereo mobil sembari menatap kilauan lampu kota.

City Pop: Musik Gaya Hidup Kosmopolitan Jepang

Sekira tahun 1950an, masyarakat Jepang dengan gigih berusaha memenuhi kebutuhan atas 3S: senpki, sentaku, suihanki (kipas angin elektrik, mesin cuci, dan penanak nasi). Kemudian, pada pertengahan 1960an, kebutuhan bergeser menjadi menjadi 3K, yakni ka, kura, kara terebi (mobil, AC, dan televisi berwarna), sedangkan pada tahun 1970an, akhirnya menjadi 3J, jeru, jetto, jtaku (perhiasan, liburan, dan rumah). Ketiga tahapan tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat Jepang semakin berkembang, dari pemenuhan kebutuhan dasar hingga akhirnya berusaha memuaskan kebutuhan gaya hidup.

Pada masa tersebut, masyarakat Jepang yang tadinya sebagian besar tinggal di wilayah rural, mengalami urbanisasi ke wilayah perkotaan. Semenjak tahun 1975, penduduk di perkotaan Jepang mencapai 75%, padahal sekira tahun 1950an, hanya sepertiga penduduk yang tinggal di wilayah kota. Situasi tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat urban kosmpolitan Jepang lahir. Semenjak urbanisasi masif tersebut, masyarakat Jepang pun mulai mendefinisikan diri mereka sebagai “kelas menengah”. Kehidupan masyarakat yang menjanjikan demikian kemudian mendorong munculnya skena City Pop yang menggebu-gebu dengan nada yang terdengar optimis. City Pop yang lahir dalam situasi ekonomi serba industrial seolah turut menandai metropolitanisme dan kosmopolitnya Jepang pada masa tersebut.

Buat saya sendiri, City Pop bukanlah sekadar genre, ia lebih merupakan memento musikalitas pop yang lekat dengan kota urban Jepang pada dekade 1970 hingga 1980an. Di masa itu, gedung-gedung pencakar langit dibangun, mobil-mobil, dan proyek pembangunan transportasi dibangun secara masif di Jepang. Mendengarkan City Pop memang membikin saya jadi membayangkan sebuah kota urban yang gemerlap. James Crocket (2019) menganalogikan City Pop sebagai musik yang cocok didengarkan sembari menyetir mobil di Tokyo malam hari, sembari melihat lelampu jalan yang menyoroti papan iklan dan rumah makan. Saya sendiri langsung membayangkan sedang berada di pojok ruangan berasap dalam sebuah diskotik yang ramai. Duduk gelisah sembari menyesap wine dan sampanye, bersiap melempar diri ke lantai dansa diiringi hentak disko dan sepatu yang berkeretak; menari hingga malam melarut sambil ditemani warna-warni lampu, sedikit demi sedikit menyesap alkohol nan menghangati tubuh. Atau, di kesempatan lainnya ketika menyetel musik City Pop, saya akan mengimajinasikan diri sedang terlempar di tengah kota yang sibuk dan penuh deru kendaraan. Mendadak terbayang orang-orang berjalan cepat dengan sepatu pantofel dan hak tinggi, mereka menyesap kopi atau cokelat hangat yang baru saja dibeli di kedai take-away terdekat.

Barangkali demikian kiranya yang ditawarkan oleh lelagu City Pop: dentum yang membawa perasaan berada dalam situasi urban nan gemerlap; mendengarkan lagu dari balik jendela mobil dan ruangan di atas apartemen tinggi, sembari mengamati ingar kota yang bising. Dinding-dinding modernitas semakin menegas melalui tembok-tembok beton, ritme hidup cepat dan individualis a la kota industrial yang menciptakan benteng yang membatasi interaksi sosial. Lagu-lagu di era City Pop seolah sedang menunjukkan kecenderungan kota metropolis yang demikian. Misalnya saja dalam lirik lagu Mariya Takeuchi, berkisah tentang seorang yang merasa kesepian setelah patah hati (..ever since the day love hurt me), malam-malam gemerlap nan getir di diskotik, ia menari sepanjang malam (..At the flashy discotheque, dancing the night away)— yang tak pelak menghadirkan visualisasi tentang sebuah kota yang gemerlap dan riuh rendah namun mencipta rasa sepi yang hinggap pada ruang kota metropolis tetapi individualistis. Ryan Bassil (2018) dalam artikelnya yang dimuat di rubrik musik Vice.com (13/07/2018), pula mendefinisikan “Plastic Love” sebagai ode kesepian yang menghinggapi pada malam di sebuah kota. Lirik lagu City Pop yang menunjukkan “nuansa urban” lainnya misal dalam “Do You Wanna Dance” yang dinyanyikan oleh Toshiki Kadomatsu, meletakkan nuansa riuh rendah kota di antara lampu kota yang menyinar (meeting in the usual place, the city lights decorate us too). Sementara di lagu-lagu musisi lain, semisal Anri, Miki Matsubara, Tatsuro Yamashita, Takako Mamiya, Miki Matsubara, atau Taeko Ōnuki, tercipta nuansa kota kosmopolitan melalui penggunaan unsur musik elektronik dan ketukan nada yang “sumringah”, meskipun kerap kali liriknya emosional.

Namun, City Pop juga kerap dibilang sebagai musik sampah (trash music), bahkan diplesetkan menjadi “shitty pop” di era setelahnya (pasca 1990an), sebab kemunculan dan semangatnya yang hanya bertahan selama satu dekade saja. Ryan Bassil (2018), bahkan menyebutkan bahwa orang-orang Jepang yang tumbuh bersama dengan musik ini, menganggap lagu-lagu City Pop sebagai “cheesy, mainstream, disposable music, going so far as calling it ‘shitty pop,’ (murahan, konvensional, mudah dilupakan, musik dengan selera yang buruk)”.

1990: Good Bye (For A While), City Pop!

Pada akhirnya, City Pop yang lekat dengan masa keemasan Jepang ini memang runtuh bersamaan dengan resesi ekonomi (lost decade/Japanese bubble burst) yang terjadi pada tahun 1990-an. Bursa Efek Tokyo pada masa itu mengalami penurunan tajam. Harga rumah menanjak, investor dan pemilik tanah mengalami kerugian aset hingga 2,5 Triliun Dollar. Kebangkrutan ekonomi merugikan pengusaha makro dan mikro, akibatnya banyak pekerja di PHK. Perceraian meningkat tajam, kriminalitas merajalela, demikian pula halnya dengan prostitusi. Selain itu, angka bunuh diri juga meroket semenjak tahun 1990.

Masyarakat Jepang menjadi lebih sinis dalam memandang kehidupan mereka. Optimisme yang digaungkan dalam masa keemasan Jepang pada dekade sebelumnya, hilang. City Pop semenjak saat itu pun mulai memudar geloranya, bahkan kemudian hilang seiring dengan runtuhnya perekonomian Jepang yang menciptakan nuansa kota yang tidak lagi gemerlap, tetapi suram dan frustrasi. lelagu City Pop yang rancak, metropolit, dengan nuansa musik serba optimis, mendadak saja terasa tidak lagi relevan mewakili murungnya kondisi masyarakat Jepang semenjak kejatuhan ekonomi melanda. City Pop menjadi memoar sejarah dalam dunia musik yang selamanya akan lekat dengan kebangkitan Jepang pasca perang pada era 1970an, sekaligus menjelma saksi atas runtuhnya gelora ekonomi tersebut dua dekade setelahnya.

City Pop Generasi Baru?

Perpisahan dengan City Pop tidak berlangsung lama-lama amat. Sejatinya, jauh sebelum City Pop naik daun di tahun 2018 lalu, tren City Pop sudah mulai menjangkit industri musik di Indonesia kembali sepanjang tahun 2010, melalui subgenre Vaporwave, yang banyak menukil lelagu City Pop di jagat dunia maya. Van Paugam, seorang DJ berbasis di Chicago bahkan menciptakan apa yang dikatakan oleh Luke Winkie sebagai City Pop generasi baru (City Pop for a new generation). Secara tidak sengaja, Van Paugam menemukan lelagu City Pop ketika ia sedang mencari lagu-lagu untuk sampel musik-musik Vaporwave yang ia ciptakan. Menurut Paugam, City Pop mampu membawakan imajinasi (re-imagined), membawanya ke dalam nuansa Amerika di era ’80an. Hubungan yang bisa dikatakan cukup menarik, mengingat Amerika merupakan sponsor utama dari pembangunan perekonomian Jepang di masa itu.

Sementara, di era yang sama (sekira tahun 1980an), di Indonesia sendiri, sesungguhnya berkembang pula musik dengan nuansa funk dan boogie yang serupa. Beberapa musisi yang terkenal di masa itu misalnya Chrisye, Fariz RM, Jockie Suryaprayogo, Candra Darusman, dan Guruh Soekarno Putra. Anto Arief (2019) dalam Pophariini.com, menyebut genre ini dengan istilah Pop Urban—yang maknanya dapat disamakan sebagai “musik pop perkotaan dengan pengaruh gaya hidup kosmopolitan”. Bahkan, genre pop urban ini juga pernah dipakai menjadi kategori nominasi pada AMI Awards tahun 2015.

Pada akhirnya, musik Pop Urban saat ini seringkali dilabeli sebagai City Pop-nya Indonesia. Padahal, genre City Pop sendiri jelas menunjuk spasial dan waktu yang sudah sangat spesifik, yakni: kebangkitan ekonomi di Jepang di era 1980an. Bahkan, setelah sedikit berselancar singkat di dunia maya, beberapa playlist yang memberi tajuk diri sebagai “City Pop Indonesia” muncul di kanal daring seperti YouTube dan Spotify. Sebut saja playlist yang diunggah oleh Robert Buckingham, yang membuat playlist berjudul Indonesian’s City Pop Vol. 5 80’s Tunes. Selain itu, kita bisa juga menilik beberapa musisi (cum DJ) yang kembali memperkenalkan lelagu disko “nostalgik” a la 80an, misal dalam lelagu yang dibawakan oleh duo DJ Diskoria Selekta— Merdi Simanjuntak dan Fadli Aat, atau Midnight Runners, electro-funk asal Bandung yang kental akan musik nuansa lawas ’80an.

Kembalinya City Pop dalam jagat blantika musik dunia, barangkali bisa dimaknai sebagai sebentuk nostalgia. Namun, barangkali, ia tidak hanya menguar sebagai sebuah kenangan akan masa lalu—yakni romantisasi terhadap musik era ’80an saja. Bisa jadi, musik City Pop (atau Pop Urban) bernuansa funk, elektronik, dan boogie yang secara sensori lekat dengan nuansa kehidupan kota tahun ’80an—adalah sebentuk konteks yang secara empirik, saat ini memang sedang kita alami. Kegandrungan terhadap musik a la City Pop jangan-jangan bukan sekadar bentuk nostalgik nan banal saja, tetapi, pengalaman kita bertumbuh di tengah kota metropolitan yang ingar, kosmopolit, optimis, sekaligus individualis inilah yang akhirnya membuat kita kembali lekat pada musik-musik bernuansa City Pop. []

Referensi Pustaka

  • Johnson, Chalmers. 1982. “The Japanese Miracle.” In MITI and the Japanese Miracle: The Growth of Industrial Policy, 1925-75, by Chalmers Johnson, 3-34. Stanford: Stanford University Press.
  • Ohno, Kenichi. 1998. “Postwar Recovery, 1945-49.” In The History of Japanese Economic Development, by Kenichi Ohno, 144-181. Vietnam: National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS) .
  • Suherman, Eman. 2004. “Dinamika Masyarakat Jepang dari Masa Edo hingga Pasca Perang Dunia II.” Humaniora Vol. 16, No. 2 201-210.
  • Takada, Masahiro. 1999. “Japan’s Economic Miracle: Underlying Factors and Strategies for the Growth.” IR 163 1-18.
  • Tsutsui, William M. 2008. “Late Twentieth-Century Japan: An Introductory Essay.” Imaging Japanese History: Program for Teaching East Asia University of Colorado 1-10.
  • Tyabji, Nasir. 1984. “Japanese Miracle: Review Article of Chalmers Johnson MITI and the Japanese Miracle: The Growth of Industrial Policy, 1925-75.” Social Scientist, Vol. 12, No. 4 73-90.

Artikel Daring

  • Aoki, Ryotaro. 2015. www.japantimes.co.jp. July 5. Accessed June 8, 2019. https://www.japantimes.co.jp/culture/2015/07/05/music/city-pop-revival-literally-trend-name/.
  • Arcand, Rob, and Sam Goldner. 2019. www.vice.com. January 25. Accessed June 10, 2019. https://www.vice.com/en_au/article/mbzabv/city-pop-guide-history-interview.
  • Arief, Anto. 2019. Pophariini. January 23. Accessed August 20, 2019. https://pophariini.com/bukan-city-pop-indo-tapi-indo-pop-urban/2/.
  • Bassil, Ryan. 2018. noisey music by Vice. June 12. Accessed June 10, 2019. https://www.vice.com/en_us/article/435bgd/mariya-takeuchi-plastic-love-song-review.
  • Celera, Lex. 2019. www.vice.com. Mei 17. Accessed June 10, 2019. https://www.vice.com/en_asia/article/qv734b/worlds-greatest-pop-song-music-video-plastic-love.
  • Crocket, James. 2019. City Pop: The Forgotten Soundtrack To Japan’s Economic Miracle. Februari 12. Accessed June 10, 2019. https://medium.com/datadriveninvestor/city-pop-the-forgotten-soundtrack-to-japans-economic-miracle-15afbd8012ef.
  • Hasan, Akhmad Muawal. 2018. tirto.id. November 28 . Accessed June 9, 2019 . https://tirto.id/pesona-plastic-love-kebangkitan-city-pop-jepang-era-80-an-dawK.
  • Safiyah. 2017. beardedgentlemenmusic.com. August 23. Accessed June 10, 2019. https://beardedgentlemenmusic.com/2017/08/23/japanese-city-pop-1980s/.
  • Winkie, Luke. 2019. www.chicagoreader.com. January 11. Accessed August 31, 2019. https://www.chicagoreader.com/Bleader/archives/2019/01/11/city-pop-the-optimistic-disco-of-1980s-japan-finds-a-new-young-crowd-in-the-west.