(Ilustrasi: @candraniyulis)

I

Apa yang kita bayangkan jika kita menyandingkan jenis musik pop dan dangdut secara bersamaan? Apakah kemudian kita terbayang nada-nada yang pernah dikumandangkan oleh grup Wali, ST12, atau bahkan lantunan Via Vallen?

Kelompok musik dangdut OM Wawes dari Yogyakarta baru saja meluncurkan album terbarunya. Di tengah pandemi dan di situasi yang serba tak pasti; di dalam tradisi di mana kelompok musik dangdut banyak menggunakan siasat single dan bukan album penuh, OM Wawes menerabas itu semua dengan meluncurkan album yang berjudul “Restu”.

II

Dalam album perdananya ini, OM Wawes berhasil menghasilkan racikan yang terlepas dari dugaan awal ketika kita menyandingkan jenis musik pop dan dangdut. OM Wawes memang memadukan unsur musik pop dengan musik dangdut, tetapi bukan pop yang diisi oleh liukan nyanyian melayu seperti apa yang telah dilakukan oleh Wali, Kangen, ST12, dan sebagainya.

OM Wawes menghadirkan nuansa musik pop yang membangkitkan ingatan saya kepada penyanyi macam Judika, kelompok musik Seventeen, dan kelompok musik pop lain yang tidak dilabeli oleh embel-embel melayu sama sekali.

Elemen brass section dihadirkan oleh OM Wawes bukan sebagai tempelan melainkan sebagai suatu bagian yang utuh dalam kerangka musiknya. Groove khas dangdut juga bukan muncul dari formulasi yang sama yang dilakukan oleh Wali, meskipun dalam lagu Wali instrumen kendang dihilangkan tapi tetap terasa dangdutnya. Dalam Album Restu, instrumen kendang dangdut dan drum menyusun ritme yang bersamaan, tidak saling menutupi melainkan saling mengisi. Padu padan.

Dalam hal ini, kita patut pula mencurigai apa maksud “OM” dari OM Wawes? Tentu kita tidak perlu lagi memperpanjang pembahasan soal irama melayu dalam musik dangdut, tetapi diskursus musik melayu pun terus berkembang, dan kelompok terakhir yang menggunakan kata-kata melayu dalam unsur musiknya adalah rombongan ST12 yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Sedangkan unsur melayu dalam OM Wawes ini berbeda.

Dalam peluncuran albumnya yang dihelat di Jogja pada 19 Agustus yang lalu, juga sempat terlontar bahwa cara OM Wawes memaknai “OM” memang berbeda. Jika dalam pikiran kita lekat pengertian bahwa OM adalah Orkes Melayu, maka ketika kita mendengarkan album ini pengertian tersebut bisa jadi akan luntur.

Tawaran penyajian musik dangdut dalam album Restu ini begitu halus menyusup ke telinga kita. Vokalnya mengalun seolah sedang menyanyikan nada-nada musik pop patah hati, liriknya berbahasa Jawa, dan kendangnya dengan sabar mengalun bersama ratapan sang vokalis.

III

Ada 11 nomor yang hadir dalam album “Restu” milik OM Wawes. Semuanya berkisah tentang cinta yang kandas. Meski demikian, cerita-cerita yang dihadirkan dalam lirik di album ini memiliki spektrum yang luas. Artinya, tidak semuanya berkisah tentang penutur yang ditinggal pergi namun ada juga yang meninggalkan pergi. Nomor berjudul “Restu” bercerita tentang restu dari orang tua yang tidak didapat. Nomor “Tresno Semu” bercerita tentang skeptisisme terhadap cinta akibat terlalu sering gagal. Sedangkan “Bedo Agomo” tidak perlu dijelaskan lagi lagu ini bercerita tentang apa.

Di beberapa lagu, suara trumpet, trombone, dan saxophone muncul tidak terduga. Mereka menghadirkan suasana yang berbeda dalam lagu-lagu milik OM Wawaes, sampai akhirnya, potensi terbesar dari paduan brass section tersebut hadir dalam alunan musik Ska dan menggoyang kalbu kita pada nomor berjudul “Sabaro Sedelo” yang berkolaborasi dengan Pendhoza.

Keragaman unsur yang dihadirkan oleh OM Wawes dalam album ini tidak mengesankan album yang gado-gado, campur-aduk, dan teler. Masing-masing unsur ini diracik dengan dosis yang pas. Sehingga kadar kaget, segar, dan goyangnya masih bisa seimbang. Keragaman unsur ini juga barangkali bisa dijadikan suatu penanda bagaimana trajektori OM Wawes dalam bermusik memang terpapar beragam unsur. Misalnya, terpapar musik Ska yang memang sempat subur di Yogyakarta, terpapar unsur campursari karena memang Yogyakarta merupakan salah satu tempat lahir maestro campursari, terpapar Didi Kempot yang bisa kita lihat jejaknya pada kesetiannya menggunakan bahasa Jawa, sekaligus mewakili generasi mereka saat ini di mana pria memiliki kebebasan untuk menunjukkan kerapuhannya dalam bercinta dan tidak melulu maskulin.

IV

Wacana tentang musik dangdut selalu berkembang, dari Rhoma ke Alam, ke Meggy Z, Ke Inul, ke Ayu Tingting, ke Via Vallen, dan kini harusnya dapat pula menjangkau OM Wawes, Pendhoza, NDX, dan kelompok musik dangdut yang tidak serupa Orkes Melayu pada umumnya. Mereka yang bergerak dalam kerangka grup band, yang nekat merilis album di mana mayoritas pemusik sedang bertepuk jidat ketika situasi sedang dilanda pandemi.

Album ini menawarkan kebiasaan baru dalam meracik musik dangdut. Memberikan tawaran yang tidak bisa kita tolak; untuk tetap bersedih dan bergoyang pada saat bersamaan. Album ini tidak cocok didengarkan saat anda sedang banyak pekerjaan atau dalam aktivitas yang menuntut konsentrasi tinggi karena album ini memiliki potensi untuk melemparkan pikiran anda melayang ke dalam lamunan tentang sing uwis yo wis…[]