(Ilustrasi: @aberiot)
Kolom komentar di media sosial adalah ruang yang sangat “berisik”. Para netizen tidak akan segan-segan mengeluarkan apapun isi kepala mereka di ruang itu, seakan-akan tidak ada orang yang melihat di sana. Seolah, apa yang tidak bisa diungkapkan di dunia nyata akan mereka sampaikan di dunia maya.
Kolom komentar di media sosial menjadi ruang yang sangat menarik buat banyak orang, termasuk saya. Misalnya di YouTube, ketika menonton sebuah video, hal yang paling sering saya lakukan adalah mendengar video sambil scrolling di kolom komentar. Di situ, saya akan menjumpai komentar-komentar yang biasa, luar biasa, yang copy paste, yang sedang tren, hingga yang diketik (seolah) tanpa mengaktivasi otak dan nurani. Di ruang itu, saya bisa menemukan hal-hal yang memikat untuk dibicarakan.
Dalam tulisan ini, saya ingin melakukan amatan kecil-kecilan di kolom komentar YouTube penyanyi perempuan muda, Nadin Amizah, khususnya untuk video klip terbaru Seperti Tulang. Video tersebut diunggah pada 30 Oktober 2019 dan sudah ditonton lebih dari 1 juta kali. Tercatat hingga 26 Januari 2020, ada 2300-an komentar.
Temuan awal yang saya temukan dan saya anggap menarik adalah puluhan orang berpuisi dan menyampaikan suara hati mereka masing-masing lewat untaian kata-kata yang menggugah hati di kolom komentar video Seperti Tulang. Tren baru komentar puisi ini juga terjadi di beberapa video klip sejumlah musisi muda lainnya di YouTube seperti Kunto Aji dan Pamungkas. Kesamaan dari karya tiga musisi ini adalah pilihan kata yang menggambarkan perasaan melankolis, musik yang mellow, dan karya yang membuat banyak orang bisa merasa relate.
Keputusan saya memilih untuk mengulas video klip Nadin bukanlah tanpa alasan. Beberapa tahun terakhir, saya agak terganggu dengan komentar-komentar para audiens terhadap penyanyi perempuan. Misalnya di kolom komentar penyanyi berbakat Danilla Riyadi di video Renjana.
Pada video tersebut, Danilla melakukan live recording di sebuah pantai dengan dress putih dan gitar di pangkuan, video dan musik yang aestetik kalau kata anak-anak sekarang. Jika melongok ke kolom komentar, atmosfer yang tertangkap dari ruang tersebut adalah komentar partriarkis menjurus pelecehan seksual. Misalnya komentar seperti “Harta, Tahta, Danilla”, dipelintir dari Harta, Tahta, Wanita–tiga godaan utama laki-laki. Hingga komentar tanpa filter seperti “Becek” atau “Dasternya bikin gue, ah sudahlah”. Dari hasil amatan yang singkat tersebut, saya kemudian membuat kesimpulan yang tergesa-gesa bahwa penyanyi perempuan, seberapa baik dan indah hasil karyanya, masih kerap dinilai dari segi fisik, terutama oleh penonton laki-laki.
Hingga suatu hari, saya menonton The Voice Indonesia di YouTube. Ferlita seorang peserta di Blind Audition membawakan lagu berjudul Sorai. Penampilannya membuat saya mengelus dada karena ikut merasakan rasa perih yang ia tebar. Setelah dikulik, ternyata lagu tersebut milik Nadin Amizah. Beberapa kali kolaborasi Sal Priadi dan Nadin Amizah berjudul Amin yang Paling Serius memang pernah muncul di beranda YouTube, namun saya abaikan karena berprasangka bahwa lagu itu hanya satu dari banyak pengisi gerbong indie “Kopi & Senja”.
Tren berpuisi di video klip musik Nadin, saya baca sebagai ekspresi untuk menyalurkan kegundahan hati di kolom komentar. Di ruang ini, orang-orang menulis tentang apa yang mereka rasakan saat atau setelah mendengar dan menonton karya Nadin, termasuk curahan hati tentang luka jiwa.
Musik dan Emosi
Musik punya fungsi yang sangat signfikan dalam kehidupan orang, salah satunya yang terkait dengan emosi. Studi oleh Patrik N Juliska dan Petri Laukka dari Universitas Uppsala Swedia (2004) menunjukkan bahwa musik bisa memicu segala bentuk emosi manusia mulai dari sedih, nostalgia, marah hingga perasaan tenang dan senang. Selain itu, emosi pun dinilai sebagai salah satu alasan utama manusia mendengarkan musik. Juliska dan Laukka juga mengidentikasi fitur dalam musik yang berkorelasi dengan jenis emosi tertentu. Misalnya, pada emosi sedih maka fitur musikal yang banyak digunakan adalah tempo yang lambat, mode minor, suara level rendah, suara level menengah, pitch rendah, intonasi yang datar atau menurun, vibrasi lambat dan lain sebagainya. Juliska dan Laukka pun dalam tulisannya menyusun beberapa mekanisme teoritis dari penelitian-penelitian sebelumnya tentang bagaimana sebenarnya musik bisa memengaruhi emosi seseorang. Beberapa diantaranya musical expectancy, arousal potential, mood contagion, association dan mental imagery.
Pada bagian ini, saya akan menguraikan salah satu mekanisme teoritis yang menjelaskan keterikatan musik dan emosi yakni association atau asosiasi berdasarkan tulisan Juliska dan Laukka. Asosiasi terkait dengan tautan dalam ingatan pada orang atau barang lain. Respon asosiasi terhadap musik biasanya melibatkan apa yang di dalam dunia psikologi di sebut sebagai learning mechanism atau mekanisme pembelajaran. Salah satu mekanisme pembelajaran yang cukup klasik adalah pengkondisian atau conditioning. Nicky Hayes dalam Foundation of Psychology (2000) menjelaskan pengkondisian klasik biasanya dipelajari dengan cara asosiasi atau association. Jika dua hal terjadi dalam satu waktu, kita biasanya mengasosiasikan atau menautkan keduanya, dan kita mengira, saat kita menemui satu hal, maka satu hal lain akan terjadi. Misalnya, menurut Hayes, seseorang akan merasa cemas bila masuk ke ruangan yang disusun untuk siswa yang akan melaksanakan ujian, padahal seseorang itu sendiri tidak akan ikut dalam ujian tersebut. Hal ini disebabkan oleh pada pengalaman sebelumnya, di mana perasaan cemas itu terasosiasi dengan layout ruangan tertentu. Ketika mereka memasuki ruangan seperti itu, perasaan cemas muncul murni karena pembelajaran sebelumnya lewat asosiasi.
Respon asosiasi biasanya membangkitkan memori yang terpendam terkait tempat, kejadian, dan orang tertentu. Riset mengindikasi bahwa pendengar biasanya menggunakan musik sebagai pengingat atas kejadian masa lalu dan bagian-bagian tertentu dari musik secara kuat terasosiasi dengan periode tertentu dalam hidup seseorang. Nostalgia dinilai sebagai salah satu emosi paling umum yang dirasakan pendengar.
Dalam melihat komentar-komentar di video Nadin Amizah, saya ingin meminjam mekanisme asosiasi yang diungkap dalam tulisan Juliska dan Laukka. Terutama bagaimana karya Nadin baik musik maupun lirik menguak luka-luka terpendam dalam hati para pendengar dan mereka kemudian mengekspresikan kesedihan tersebut lewat kolom komentar di YouTube.
Nadin, Gen Z Populer Produk Dunia Maya
Sebelum mencuri banyak telinga lewat karya dan suaranya lewat jalur pop, Nadin lebih dikenal sebagai selebgram atau orang yang terkenal di Instagram dengan akunnya @cakecaine. Berdasarkan banyak kriteria, Nadin bisa dibilang cukup unik terutama di umurnya yang sangat muda (19 tahun). Pertama dari segi suara, Nadin memiliki vokal mezzo sopran dengan vibrato yang tebal. Kedua, sebagai singer-songwriter, Nadin memilih lirik-lirik puitis, diksi-diksi yang mencerminkan emosi dan kata-kata yang harus dicari maknanya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Memang, beberapa tahun terakhir, lirik-lirik lagu Indonesia terutama oleh musisi folk kerap seperti itu (Banda Neira, misalnya).
Dari tema, Nadin masih bercerita tentang romansa cinta, misalnya Sorai, tentang cinta yang tak jadi satu. Namun pada single ketiganya, Seperti Tulang, ia bercerita tentang kesehatan mental, spesifiknya tentang seseorang yang mempunyai luka emosi terpendam, namun pintar menutup-nutupinya.
Tema kesehatan mental memang menjadi topik yang mendapat perhatian akhir-akhir ini dan kesadaran akan hal ini juga makin tinggi. Hal ini terlihat dari kampanye maupun perbincangan sehari-hari di media sosial dan di kehidupan nyata tentang kesehatan mental yang semakin masif. Dan semakin banyak pula orang-orang yang sadar bahwa mereka punya luka hati yang terpendam. Hanya saja, terkadang mau cerita ke orang lain antara segan, tidak percaya (trust issue) atau takut dianggap lemah.
Generasi Z atau Gen Z (lahir pada pertengahan 1990an hingga pertengahan 2000-an) dinilai sebagai generasi yang lebih rentan pada kesehatan mental. Penelitian oleh American Physiological Association (APA) pada tahun 2018 yang dilaporkan oleh Kompas menunjukkan bahwa Gen Z di Amerika Serikat (usia 15-21 tahun saat dilakukan penelitaan) memiliki kondisi psikologis yang lebih buruk dibandingkan generasi-generasi sebelumnya (Silent Generation, Baby Boomers, Generasi X dan Milenial). Sebanyak 91 persen Gen Z di Amerika Serikat mempunyai gejala-gejala emosional maupun fisik yang berkaitan dengan stres seperti depresi dan gangguan kecemasan. Penyebab stres Gen Z di antara lain, peningkatan angka bunuh diri, peningkatan laporan terhadap kasus kekerasan dan pelecehan seksual, pemanasan global dan perubahan iklim. Hal tersebut dipicu oleh aksesibiltas informasi yang tinggi.
Nadin Amizah merupakan Gen Z (lahir di tahun 2000). Asumsi saya, kesadaran atas kerentanan terhadap kesehatan mental saat ini membuat Nadin menggunakan platform yang dia punya untuk membicarakan masalah-masalah yang berkembang di generasinya. Dan lewat musiknya pula yang diunggah ke YouTube, para pendengarnya, yang kemungkinan besar juga adalah Gen Z, bisa berkeluhkesah atas perasaan tidak enak yang mereka pendam.
Merilis Emosi di Kolom Komentar
Saya melakukan analisis teks atas komentar-komentar di video klip Seperti Tulang. Total komentar sebanyak 2300-an sejak Oktober 2019 hingga 26 Januari 2020 pukul 11.00 WIB. Namun, saya hanya akan melakukan analisis pada 236 komentar (sekitar 10%) yang ada di bagian teratas.
Analisis ini sederhana, yakni dengan mengklasifikasi komentar para audiens berdasarkan jenis komentar. Adapun jenis komentar yang tercatat diantaranya; A) komentar tentang Sosok Nadin, B) komentar tentang lagu dan video klip, C) komentar berisi curahan hati (Curhat), dan D) lainnya. Selain itu akan ada breakdown atau perincian untuk jenis komentar B dan C. Hasil dari tabulasi analisis data akan disajikan dalam grafik di bawah:
Diagram 1. Jenis Komentar Audiens Video Klip Seperti Tulang di Youtube
Komentar Tentang Nadin (Komentar A)
Dari pengalaman sebelumnya, kebanyakan penyanyi perempuan akan mendapatkan komentar tentang sosok mereka (Komentar A). Misalnya, “wah cantik” atau “I love you” tanpa secara langsung berkomentar dengan karyanya. Di video Seperti Tulang, komentar sejenis berkisar 12,50% dari total komentar yang dianalisis. Komentar yang paling banyak muncul bernada kebanggaan, apresiasi pada fisik dan pujian pada orang tua Nadin yang sudah membersarkannya dengan baik.
“Kak Nadin, I’m Proud of You”
“Cantiikkkk”
Komentar tentang Lagu dan Video Klip (Komentar B)
Komentar tentang lagu dan video klip menjadi yang paling tinggi berkisar 49,58%. Komentar ini terbagi dua yakni komentar tentang dampak lagu dan video terhadap emosi audiens (Komentar B.1) dan komentar teknis seperti penilaian atas lirik, musik dan video (Komentar B.2).
Diagram 2. Breakdown Komentar tentang Lagu dan Video
Dari total 109 komentar, sebanyak 63,30% mengungkapkan dampak lagu dan video terhadap emosi mereka (Komentar B.1). Pada umumnya, audiens menyampaikan bagaimana lagu tersebut mewakili apa yang mereka rasakan dan mengucapkan terima kasih pada Nadin atas karya yang dinilai menyentuh jiwa.
“Listening to this song just makes me feel like i’m just sitting in a pink void with stars. Not happy stars, just sad, mad, melancholic stars surrounding me. i feel like i’m floating in space, trying to forget shit that are happening right now. Thank you very much ya nadinnnn, from now on this song is my void headspace. Love u Nadinnnn”
“Mencoba untuk nggak nangis. Tapi kalah, di ending nangis juga :” Love Kak Nadin pokonya”
“Sementara raga semakin tumbuh lalu menua apa hati masih tetap sama?” Nadin..terimakasih karyamu merasuk hingga ke tulang belulangku,”
Selanjutnya, ada sekitar 36,7% dari Komentar B yang berbicara lebih berkaitan dengan karya Nadin secara murni seperti tentang lirik, proses kreatif, musik hingga cerita dalam video (Komentar B.2).
“So beautiful…i dont know how your brain works sampai bisa se-amazing itu to create this masterpiece ♥️♥️♥️”
“Yang aku dapat dari video ini sih adalah tentang seseorang yang tumbuh dewasa dan merindukan semua yang ada saat ia kecil. Karena semakin kita tumbuh dewasa kita lost a lot of things in our life dan pasti di suatu titik kita bakal merasa rindu dengan semua keindahan yang pernah terjadi saat kita belum tumbuh dewasa. Ending nya nadin menangis karena saat kita tumbuh dewasa, kita tidak pernah sepenuhnya sembuh dari luka luka yang membuat kita dewasa. Lalu juga ditambah dengan beban serta tanggung jawab ketika kita sudah dewasa. Dan scene akhir saat nadin bnerjalan menuju ombak menurut aku menggambarkan keadaan semua orang yang sudah sangat letih dan tidak bisa lagi menahan rasa sakit, sehingga sering berfikir untuk “menyelesaikan” semuanya with suicide,”
Komentar B lebih didominasi dengan komentar B.1. Seperti kita tahu, kaitan antara musik dan emosi memang ada. Orang yang mendengar musik bisa menangis, dan begitu pula sebaliknya orang yang mendengar lagu pun bisa berjoget dan merasa bersemangat.
Komentar Berisi Curahan Hati (Komentar C)
Curahan hati (curhat) tercatat 38,56% dari seluruh komentar yang dianalisis. Saya mendapati tiga jenis curhatan yang disampaikan oleh audiens yakni, percintaan, krisis diri dan keluarga. Adapun porsinya tersaji dalam diagram di bawah:
Diagram 3. Breakdown Komentar Curhat
Curhat Percintaan (Komentar C.1)
Komentar C.1 adalah yang paling banyak diungkapkan sebanyak 45,49%. Kebanyakan temanya adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak bertahan, perjuangan seseorang untuk menata hati kembali, upaya untuk move on dan lain sebagainya. Curhatan ini umumnya disampaikan dalam bentuk puisi maupun prosa.
“Ada luka yang sudah susah payah untuk ku tutupi, susah payah untuk ku relakan, susah payah untuk ku ikhlaskan. Tapi, entah darimana kau temukan celah kecil untuk kembali merobek luka yang sudah susah payah ku sembunyikan. Menerobos masuk tak tau diri. Tuan, bukan kah kisah kita sudah usai? Kalau penyesalan yang kau jadikan alasan hadirmu kembali, maaf, ego mu kali ini tidak lagi dapat ku maklumi,”
Curhat Krisis Diri (Komentar C.2)
Selanjutnya, curhatan yang paling banyak disampaikan oleh audiens adalah soal krisis diri (C.2). Biasanya berkisah tentang ketidakmampuan untuk memperjuangkan diri sendiri, luka hati yang sudah dibawa dari lama, percobaan menyakiti diri (self-harm) dan lain sebagainya. Sama dengan curhatan yang lain, Komentar C.2 pun dituliskan mayoritas dalam bentuk puisi dan prosa.
“Nadin, kembali kau buat aku menangis di pagi hari. Orang mengenalku tangguh, mereka menaruh harap bahwa aku sanggup, lara gamungkin ada dalam hidupku. Tapi mereka lupa bahwa aku manusia, tidak. Diriku sendiri juga lupa bahwa aku makhluk yang punya hati, sangking terbiasanya menghibur huru hara orang lain sampai lupa mengajak diri untuk beranjak berdiri,”
Curhat Keluarga (Komentar C.3)
Persoalan keluarga pun tidak luput dari curhatan para audiens. Sebagian bercerita dengan lugas, namun ada pula dengan berpuisi dan berprosa. Umumnya tentang kondisi keluarga brokenhome, anggota keluarga yang dingin satu sama lain, pengalaman masa kecil yang berdampak pada audiens saat mereka tumbuh menjadi dewasa dan lainnya.
“Aku anak brokenhome yang orgtuanya tidak bercerai, tapi setiap hari harus mendengar permasalah keuangan ibuku yang terus kerja keras, ayahku yang santai2, hingga selalu ada perdebatan, rasanya itu selalu menyakitkan dan memusingkan bahkan aku berfikir lebih baik mereka berpisah drpd aku harus mendengarkan perdebatan;(“
Fenomena curhat di kolom komentar Youtube menjadi tren baru, terutama di kolom Youtube karya musisi-musisi yang menekankan pada tema-tema kesehatan emosi. Kolom komentar muncul sebagai media untuk para audiens mengungkapkan masalah pribadi mereka. Hal ini juga terjadi di media sosial lain, dimana platform online tersebut menjadi ruang untuk orang-orang berekspresi tentang apa saja, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga isu-isu terkini.
Lain-lain (Komentar D)
Komentar lain-lain (Komentar D) yang terekam sebesar 2,54% muncul sebagai penilai dari komentar-komentar lain, khususnya Komentar C. Komentar terdiri dari mereka yang merasa juga punya masalah dan ingin curhat namun tidak pintar merangkai kata-kata puitis. Ada juga yang merasa bahwa kolom komentar di Youtube Nadin adalah hal yang juga sama menggungahnya dengan lagu Nadin sendiri. Hal ini juga tidak lepas dari anggapan selama ini bahwa kolom komentar di media sosial maupun di portal berita adalah tempat yang berisik, dimana orang-orang kerap terlibat dalam perdebatan dan saling tuding menuding.
“Cuma di video2nya nadin, aku menenmukan komentar2 yang sangat indah 🥺😍”
“bacain comment section di tiap video nadin (dan pemusik indonesia lain yang ga kalah puitis) kini menjadi hobi baru. karena isinya banyak cerita dari lubuk hati beragam orang yang sarat makna. ga ada yang berantem. karena semua sama berusaha menikmati tiap bait musiknya nadin dan saling menguatkan satu sama lain meski belum pernah sekalipun bertatap atau bahkan mengenal 🤗 indahnya sederhana 🌹”
Tak Sepenuhnya Pernah Sembuh Dari Luka
Seperti disinggung pada bagian sebelumnya, salah satu mekanisme yang bisa menjelaskan kelindan antara musik dan emosi adalah asosiasi. Artinya, sebuah keadaan membuat seseorang terkondisi untuk teringat pada sebuah event, orang, ataupun kejadian.
Dari analisis teks yang saya lakukan, ada sebaris lirik yang membuat orang-orang tergugah jiwanya, terkopek lukanya, dan akhirnya bercerita. Respons asosiasi ditemukan pada bait akhir lagu tersebut yakni “Tak sepenuhnya pernah sembuh dari luka”. Lirik ini paling banyak ditulis kembali oleh pendengar di kolom komentar untuk menyatakan bahwa mereka menanggung luka yang terus basah. Lirik tersebut membuat mereka terasosiasi atas kondisi perasaan mereka saat ini, yang disebabkan oleh kejadian-kejadian di waktu lampau. Beberapa diantaranya tertangkap dalam komentar di bawah ini
“Nadineee , lagumu bikin aku flashback ke hal2 yg menyakitkan , Sampai hatimu lupa terbiasa perih .. Sepenggal lyrick yang bikin aku ngerasa ga sadar netesin air Mata .. Tidak sepenuhnya pernah sembuh dari lukaa .. tapi sekarang aku mencoba mengampuni org2 yg pernah menyakiti hati , Dan mengampuni diri sndiri Dan berdamai dengan aku, Alam Dan semua .. Jalan Tuhan memang luar biasa dengan pengalaman yg telah d jalanin sepanjang hidup rencana Tuhan pasti yg terbaik , beryukur karena ternyata aku kuat Dan Tuhan selalu bersamaku Thanks nadine buat lagunya indah sekali buat remainder harus bersyukur selalu,”
“”Tak sepenuhnya pernah sembuh dari luka.” Menyadarkan kita bahwa kadangkala kita hanya berpura-pura telah sembuh, padahal nyatanya kita pun tak pernah benar-benar sembuh. Kita hanya pandai menutupinya, pandai membuatnya agar kita terlihat seolah baik-baik saja. Luka itu masih ada, kadang terasa tapi hanya saja kita memilih untuk tidak menyadarinya. Untuk kalian yang perna terluka. Karena alasan apapun itu. Tetaplah tumbuh walau tak sempurna, setidaknya kita bisa bahagia :’)))”
Lagu Seperti Tulang telah membuat orang-orang merasa terkait atau relate. Para audiens merasa bahwa apa yang mereka rasakan terwakili oleh karya Nadin Amiza yakni bahwa ada luka yang belum kering dan tidak pernah sembuh. Banyak sekali artikel psikologi yang menyarankan orang untuk tidak memendam masalah dan berbagi tentang beban psikologis yang dia panggul ke orang lain. Dan apabila gangguan tersebut sudah terlalu berat, disarankan untuk berkonsultasi dengan orang yang punya kapabilitas dalam menangani kesehatan jiwa. Namun jika bercerita ke orang lain masih dirasa susah, kolom komentar pun bisa jadi salah satu tempat untuk merilis emosi dan membasuh luka.[]
🙂