(Desain: @candraniyulis)

Sekitar dua tahun terakhir ini telinga saya kembali diasyikkan dengan musik-musik cadas bergenre metal. Mungkin hal ini disebabkan karena saya sering mencari referensi teknik bermain drum di Youtube. Secara otomatis algoritma Youtube membacanya dan memberikan pratinjau channel Youtube dari beberapa drumer band metal seperti Oki Fadhlan drumer dari band Jasad, Puput Putceh drumer dari band Burgerkill, dan beberapa drumer lain yang tak perlu dipertanyakan lagi skill permainannya. Permainan dobel pedal tetap menjadi sesuatu yang asyik di telinga saya layaknya tembakan berondong yang membabi buta mencari mangsa.

Sebagian orang menganggap metal (terutama metalcore ataupun death metal) sebagai musiknya para orang mabuk, musiknya orang-orang yang kurang berakhlak, maupun musiknya orang-orang urakan. Jika dilihat dari penampilan panggung serta euforia penonton di saat konser, hal itu mungkin ada benarnya. Selain itu, dari segi aransemen lagu juga menggunakan nada-nada drop di bawah nada normal serta penampilan personel yang berambut gondrong dan tak jarang menambahkan make up seram menambah kesan angker dan sangar. Tapi tunggu dulu, apakah selamanya musik metal selalu urakan? Bagaimana dari segi lirik?

Down for Life adalah salah satu band metal yang menurut saya sangat berani mengumandangkan sebuah ayat sakral dari kitab suci umat Islam dan dijadikan sebagai intro lagu. Penggalan ayat tersebut dikenal dengan nama Ayat Kursi. Bagi sebagian Umat Islam, Ayat Kursi dipercaya dapat mengusir jin, setan, dan sejenisnya, atau untuk menyembuhkan orang yang kesurupan. Terkesan ngeri sih, apalagi berhubungan dengan hal-hal di luar nalar semacam itu. Down for Life merupakan grup band metalcore dari Solo, Jawa Tengah yang diisi oleh Stephanus Adjie (vokal), Ahmad “Jojo” Ashar (bas), Rio Baskara (gitar), Isa Mahendrajati (gitar), dan M. Abdoel Latief (drum). Selain menjadi besar di negeri sendiri, hal yang membanggakan adalah Down for Life pernah menjadi perwakilan Indonesia di ajang festival musik metal dunia yaitu Wacken Open Air 2018 yang diselenggarakan di Jerman.

Kali pertama mendengarkan band ini, saya mengira Youtube di handphone saya secara tidak sengaja memutar Ayat Kursi, di mana kala itu saya mengaktifkan pemutaran secara otomatis. Akhirnya saya melihat handphone untuk memastikan karena dari tadi genrenya metal kok malah tiba-tiba jadi Ayat Kursi? Ternyata memang yang saya dengarkan tetap lagu metal dan yang terputar berjudul “Liturgi Penyesatan”, salah satu lagu dari Down for Life. “Liturgi Penyesatan” terdapat di album kedua mereka “Himne Perang Akhir Pekan” (2013). Di luar ekspektasi saya, ternyata ada sebuah lagu cadas yang terlampau cadas karena berani memasukkan intro Ayat Kursi. Uniknya lagi, walaupun di awal lagu ini terkesan membawakan unsur-unsur Islami, namun di bagian outro lagu ia menyelipkan ayat-ayat dari Alkitab seperti salah satu yang saya tahu adalah Mat 6:12 “..dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami..”. Mungkin teman-teman dapat mendengarkannya sendiri dari platform pemutar musik daring dan mendengarkan ayat apa yang dibacakan oleh anak kecil di outro lagu.

Aransemen musik dengan menambahkan lirik Ayat Kursi pernah dilakukan oleh Kantata Takwa, band kolaborasi dari beberapa musisi kondang meliputi Iwan Fals, Setiawan Djodie, Jockie Surjoprajogo, Eet Sjahranie, hingga penyair terkenal W.S. Rendra. Lagu yang saya maksud adalah lagu mereka yang berjudul sama dengan nama band-nya yaitu Kantata Takwa. Anda dapat mendengarkannya di sini. Namun hal ini berbeda menurut saya, karena masing-masing grup band condong pada genre yang berbeda. Kantata Takwa dengan genre pop rock, sementara Down for Life bergenre metalcore.

Komposisi lagu “Liturgi Penyesatan” dimulai dari intro Ayat Kursi tanpa ada instrumen musik yang mengiringi. Secara perlahan volume Ayat Kursi menjadi semakin pelan dan instrumen gitar distorsi mulai dimainkan. Dari sini suasana mencekam mulai dibangun melalui rhytm gitar khas musik-musik metalcore dengan penggunaan nada drop yang diulang-ulang. Suasana semakin mencekam ketika drum set mulai dimainkan. Awalnya hanya permainan simbal, namun kemudian permainan dobel pedal dari sang drumer yang menjadi ciri khas musik metal membuat kepala mulai mengangguk-angguk. Intronya cukup lama bagi sebuah lagu, yaitu sekitar 1 menit 30 detik. Setelah intro selesai dimainkan, tempo permainan mulai dinaikkan dan suara vokalis mulai muncul. Inilah saat-saat di mana para pendengar mulai asyik “berzikir” mengangguk-anggukkan kepala secara konstan.

Jika dibandingkan dengan genre lain, musik metalcore yang merupakan turunan dari musik metal mempunyai satu ciri khas yang cukup unik, yaitu penggunaan teknik growl (menyanyi dengan berteriak seperti erangan atau menggeram). Kesan saya mendengar lagu-lagu seperti ini adalah seperti mendengarkan tangisan, rintihan, atau jeritan seseorang yang sangat menyayat. Ini mengisyaratkan bahwa orang tersebut butuh diperhatikan dan butuh diobati. Memang semua genre musik mempunyai soul-nya masing-masing, namun bagi telinga saya yang paling jelas diterjemahkan salah satunya adalah musik bergenre metal.

Pun tak dapat dipungkiri bahwa dalam mendengarkan lagu, tiap orang punya cara pandangnya masing-masing. Maksud saya di sini, ada yang medengarkan lagu karena liriknya yang indah, atau instrumen musiknya yang bagus, atau bahkan keduanya. Menurut saya jika dilihat dari segi penggarapan instrumen, musik metal terutama metalcore ataupun death metal cukup susah dimainkan, perlu tenaga ekstra dan latihan tekun, terutama dari segi permainan drum. Jadi andaikan musik metal tak diiringi vokal, ia tetap bisa dinikmati. Namun tetap saja, musik metal tanpa suara vokal bagaikan sayur tanpa garam, terasa hambar. Teknik vokal juga dapat menjadi pembeda musik genre metal dengan genre lainnya.

Lirik lagu “Liturgi Penyesatan” ini syarat akan pesan-pesan mendalam yang ingin disampaikan kepada para pendengarnya. Menurut telinga saya serta bantuan dari musixmatch.com, liriknya kurang lebih seperti berikut:

Kelam sesat ayat hitammu

Mewujud suci jiwa tersesat

Binasakan tubuh-tubuh murni

Kau anggap berlumur dosa

Pendustaan atas nama Tuhan

Keagunan nabi-nabi baru

Pembenaran akan kesalahan

Pembodohan akan kebebasan

Waaa….. (scream)

Liturgi Penyesatan…

Waaa…. (scream)

Liturgi Kesakitan

Waaa….. (scream)

Liturgi Penyesatan…

Waaa…. (scream)

Liturgi Kesakitan

Kini tiba saat penantian

Perjuanganmu hilang sirna.

Jasadmu takkan diterima

Dosamu takkan disucikan

Waaa….. (scream)

Liturgi Penyesatan…

Waaa…. (scream)

Liturgi Kesakitan

Dari lirik tersebut saya mencoba memaknai bahwa penulis lirik ingin menyampaikan fenomena yang terjadi di masa sekarang di mana bermunculan tokoh-tokoh baru yang mengatasnamakan orang suci atau orang alim dengan membawa dalil-dalil yang dipotong dari kitab suci. Kemudian mereka menerjemahkannya semaunya sendiri tanpa mengikuti kaidah-kaidah yang sudah menjadi aturannya. Mereka memasarkan dalil-dalil tersebut kepada orang awam yang sebenarnya mempunyai niat baik untuk ingin belajar, namun malah menjadi tersesat.

Kemudian penulis lirik mengutuk orang yang berbuat demikian dengan lirik “perjuanganmu hilang sirna, jasadmu takkan diterima, dosamu takkan disucikan”. Sebenarnya konteks lirik tak hanya pada permasalahan keagamaan saja, namun juga bisa mengarah kepada konteks sosial politik. Orang-orang yang digambarkan dalam lagu tersebut memanfaatkan dalil-dalil untuk mencari massa atau pengikut demi keberhasilan tujuan pribadi yang ingin ia capai.

“Liturgi Penyesatan” menjadi lagu pamungkas untuk memberikan kesadaran sekaligus cambuk pedih akan fenomena yang sedang terjadi di masa sekarang. Keadaan di mana susah mendefinisikan mana yang berkata benar dan mana yang berdusta. Orang dengan mudah membuat pernyataan provokatif yang mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini para provokator penebar ayat-ayat tersebut saya ibaratkan sebagai setan yang menyesatkan. Dengan melihat kenyataan di atas, menurut saya musisi metalcore telah menjadi kritikus yang bijak dengan menyelipkan unsur sakral yang melekat dengan identitas pihak yang dikritik sebagai sarkasme. Namun di sisi lain juga terselip harapan agar orang lebih kritis lagi dalam menyikapi hal-hal sensitif terutama ketika digunakan sebagai senjata politis.[]


M. Ismail Hamsyah adalah mahasiswa S1 Antropologi Budaya UGM dan pegiat grup seni Campur Koe.