(Ilustrasi : @candraniyulis)

Pada koran Jawa Pos 13 Februari 2022 yang lalu, sastrawan Mahfud Ikhwan merespons podcast antara Rhoma Irama dengan tiga pembawa acara kondang Irfan Hakim, Gilang Dirga, dan Ramzi mengenai masa depan dangdut. Podcast yang bertajuk Bisikan Rhoma itu ditayangkan di YouTube milik sang raja dangdut, dibagi dalam dua episode, yakni “Ternyata hal ini yang bikin Pak Haji Marah” pada 7 Januari 2022 dan “Dari Pengalaman Spiritual sampai Regenerasi” pada 14 Januari 2022.Dari kedua episode tersebut, Mahfud mengarahkan keresahannya pada persoalan kelanjutan Soneta hingga masa depan dangdut. Mahfud menutup tulisannya dengan meninggalkan pertanyaan besar: lantas siapakah penerus musik dangdut? Atas dasar itu, Saya tertarik menanggapi tulisan tersebut dengan memberikan secuil informasi mengenai pergerakan dari anak-anak muda yang kiranya akan menjadi penerus musik dangdut.

Pada usia yang tidak lagi muda, Rhoma masih tetap berkarya. Alih-alih dengan cara lama, Ia justru menempuh jalan yang tengah digandrungi anak muda seperti merilis lagu berbentuk single dan ditayangkan di YouTube, konser di beragam bentukdiseminasi seperti layar kaca maupun platform di telepon genggam, serta mengaktivasi YouTube dengan podcast Bisikan Rhoma maupun konser di rumah. Tentu itu sebuah kinerja luar biasa. Sang Raja Dangdut yang kini berusia 75 tahun masih bertaji.

Di sisi lain, generasi dangdut didikan Rhoma Irama atau yang meyakini sang Raja sebagai satu-satunya dangdut, belum juga bersinar laiknya junjungannya. Ada beberapa nama yang sebenarnya cukup gemilang, semisal Abiem Ngesti, Asep Irama, Ridho Irama, Ikke Nurjanah, Cici Paramida, Iis Dahlia, atau para pemenang dan peserta kompetisi televisi, seperti: Fildan Rahayu, Lesti Kejora, Reza Zakarya, Evi Masamba, dan lain sebagainya. Namun mereka belum dapat mengulangi kejayaan dangdut hingga gelombang besar Dangdut Koplo yang masih janggal untuk Rhoma Irama dan PAMMI justru lebih populer.

Jauh dari ingar bingar panggung dan studio kelas internasional di Jakarta atau panggung tratak di Jawa Timur, dangdut justru terus bertumbuh di daerah Yogyakarta, Semarang, Ngawi, dan beberapa kota lainnya. Hal yang menarik, pada pentas dangdut tujuh tahun belakangan, bukan lagi lagu Rhoma yang dinyanyikan atau aransemen koplo yang dikumandangkan, melainkan lagu ciptaan baru dari mereka yang sebelumnya tidak dipertimbangkan kehadirannya. Mereka bukan barisan pecinta Rhoma, mereka juga bukan penghamba kalangan dangdut koplo, mereka adalah anak-anak muda dengan pengetahuan dangdut minim tetapi justru meraba, menafsirkan, dan membuat dangdut memiliki masa depan.

”Soneta adalah Rhoma dan Rhoma adalah Soneta. Jika tak ada lagi Rhoma maka tak ada lagi Soneta,” ungkap Rhoma ketika berbicara dengan Ramzi, Irfan Hakim, dan Gilang Dirga di podcast Bisikan Rhoma yang diunggah 14 Januari 2022 silam. Bagi saya, itu adalah kenyataan pahit yang harus diterima oleh semua pendengar dangdut kelak. Sedangkan Sonet 2 Band sudah kecil harapannya untuk mengikuti jejak Soneta Grup.

Sementara Orkes Melayu Jawa Timur mustahil mendapat restu dari Rhoma Irama, walau para biduan dan punggawa Orkes begitu mencintai sosok sang Raja. Kandidat ratu Dangdut Koplo, Via Vallen pernah berupaya walau menemui jalan buntu. Pada beberapa kolaborasinya, tetap saja Rhoma mengakui Via sebagai penyanyi milenial, bukan dari Dangdut Koplo. Sementara sosok kuat Dangdut Koplo lainnya, Nella Kharisma, justru tidak seambisius Via untuk tampil di televisi nasional, bahkan Rhoma pun tidak mengenalinya. Maka sulit rasanya mendamba masa depan dangdut dengan jalur warisan, arisan, atau mereka para barisan juga yang beririsan dengan Raja Dangdut.

Namun udara segar dapat kita hirup dalam enam-tujuh tahun belakangan, ketika dangdut kembali diramaikan oleh mereka yang justru bukan dari ekosistem terdahulu. Mereka adalah anak muda yang tidak paham visi misi dangdut sebelumnya, tetapi justru menghidupkan nafas dangdut sebegitunya. Mereka adalah Denny Caknan, Ndarboy Genk, Guyon Waton, Aftershine, OM Wawes, Pendhoza, NDX Aka, Hendra Kumbara, Ilux ID, dan penyanyi sejenis.

Mereka hadir pada ekosistem dangdut yang jengah dengan praktik coverlagu a la Dangdut Koplo. Sebagai gantinya, mereka menciptakan lagu baru, menyanyikannya, membagikannya di pelbagai platform media sosial. Lagu-lagunya niscaya bertema cinta dengan cara tutur anak muda Jawa. Sebut saja Denny Caknan dengan “Kartonyono Medot Janji” hingga “Los Dol”, Ndarboy Genk dengan “Balungan Kere” hingga album Cidro Asmoro, Guyon Waton dengan “Korban Janji”, hingga “Kok Iso Yo”, dan masih banyak lagu-lagu lainnya yang menjadi hit diputar di radio, YouTube, ataupun Televisi.

Kini lagu-lagu mereka digemari publik, mulai dari anak muda ataupun orang tua; baik yang fasih berbahasa Jawa maupun mereka yang berbahasa Indonesia; tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Di YouTube, jumlah subscriber mereka juga berlimpah, seperti: Denny Caknan 4.730.000, Ndarboy Genk 895.000, Guyon Waton 2.360.000, Ilux ID 810.000, NDX Aka 533.000, Aftershine 505.000, Pendhoza 373.000, OM Wawes 108.000, dan masih banyak grup lainnya.

Jumlah video ditonton pun juga cukup besar, semisal lagu “Kartonyono Medot Janji” yang sudah ditonton sebanyak 235.000.000 kali sementara jumlah penduduk Indonesia 2021 sebesar 272.229.372 jiwa. Lagu “Mendung Tanpo Udan” ciptaan Kukuh Prasetya Kudamai yang didangdutkan oleh Ndarboy Genk pun ramai di platform TikTok. Salah satu boy band asal Korea NCT Dream saja ikut berjoget dengan lagu tersebut beberapa bulan lalu.

Dari kegemilangan ini, saya jadi teringat bagaimana Rhoma Irama memulai perjalanan dangdutnya di kala muda. Di mana merilis album setiap tahun adalah jalan yang ia tempuh, hingga lebih dari 10 Golden Record ia dapat karena penjualan kaset yang sukses. Sela kurang lebih sepuluh tahun berkarya bersama Soneta Grup, Rhoma juga dicatat oleh Majalah Tempo tahun 1984 memiliki penggemar tidak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk Indonesia di kala itu. Itu baru di masa muda, belum masa kini.

Namun tunggu dulu, jika demikian, bukankah para generasi muda juga telah berupaya dan berprestasi sesuai konteks zaman mereka? Bukankah generasi penerus dangdut sudah ada dan tengah bertumbuh? Apakah kita melihat mereka atau tetap mengelompokkan mereka hanya sebagai musik daerah atau dangdut Jawa? Sementara mereka telah berprestasi dan beberapa dari mereka juga telah berupaya meng-Indonesia dengan menciptakan dan menyanyikan lagu berbahasa Indonesia, hingga mengimbuhkan terjemahan lirik berbahasa Indonesia. Jika hanya karena mereka orang daerah, apakah artinya daerah jika akses internet untuk berselancar di dunia maya dapat ditebus dengan sejumlah pulsa?

Singkat kata, generasi penerus dangdut Indonesia sudah tampak hilalnya. Mereka datang memang tidak menantang Rhoma Irama, tetap dengan cara berkarya mereka tahu takhta itu akan tiba pada saatnya. Namun tidak perlu menunggu siapa yang kelak menjadi raja di antara mereka. Pasalnya mereka adalah representasi anak muda masa kini, yang justru berjejaring, tersebar, dan membangun dangdut bersama-sama.[]