(Design: @candraniyulis)
Tulisan ini merupakan notulensi dari program diskusi rutin yang pernah diadakan oleh LARAS, Preliminary Notes. Program ini bertujuan untuk menginvestigasi tema-tema yang penting sekaligus dekat kehidupan masyarakat. Kami sengaja mengunggah ulang diskusi yang pernah diadakan pada 2014 silam dengan judul “It Sounds Like a Whisper: Musik dan Gerakan Demokrasi Era ‘90an” sebagai dokumentasi atas diskursus yang yang pernah hadir dalam LARAS dan senantiasa hadir dalam diskusi perkembangan musik Indonesia. Dalam diskusi ini tersimpan pengetahuan-pengetahuan dari pengalaman yang dapat kita pelajari terus, baik sebagai sejarah maupun penelitian lanjutan.
Diskusi dimoderatori Rizky Sasono; dengan pembicara: Indra Menus, seorang praktisi musik di ranah punk sejak ‘90an; dan Antariksa, salah seorang pendiri Kunci Cultural Studies (sekarang Kunci Study Forum & Collective).
Rizky Sasono
Forum ini diadakan untuk memetakan musik tidak melulu sebagai produk tapi juga sebagai fenomena budaya, alat politik, dsb. Mungkin performitivitas musik juga akan dibahas, tapi bukan itu isu yang utama untuk diangkat. Untuk kali ini, Laras mengambil topik-topik terkait musik dan civil society, masyarakat madani. Oleh karena itu, seakan semena-mena, ketika kita berangkat dengan masa demokratisasi ini. Di sini, kita melihat gejolak sosial politik yang cukup besar, Reformasi.
Terima kasih atas kedatangan dan partisipasi teman-teman. Diharapkan agar ada interaksi dua arah. Di sini sudah ada Indra Menus, beliau merupakan praktisi musik, dari skena underground, sejak era ‘90an. Yang kedua ada Antariksa, terkenalnya di Kunci Cultural Studies, padahal terlibat di iCan, Ndlingo, dll. Beliau selain merupakan peneliti di Kunci, dulunya juga merupakan aktivis pergerakan jaman ‘90an. Dengan kapasitas inilah, Laras memilih untuk mengundang beliau di sini.
Indra Menus
Selamat siang. Saya nggak bakal curhat di sini. Jadi, kita mau bicara tentang musik dan gerakan demokrasi di era ‘90an. Kalau kita mau bicara soal musik yang ada irisannya dengan demokrasi, di era ‘90an, kita bisa bagi dua, menjadi “sebelum Reformasi 1998” dan “setelah Reformasi 1998”. Untuk musik dengan ranah politis, akan membicarakan musik punk, sebagai musik yang dekat dengan politik dan pembahasan berkaitan dengan itu. Untuk musik pop sendiri biasanya juga berasal dari scene punk, yang lantas bergerak menuju indiepop setelah itu. Seperti komunitas Young Offender, Pistol Air, … mereka awalnya dari punk, political juga.
Kenapa pada era itu musiknya cenderung keras? Karena era itu termasuk era yang represif. Anak muda waktu itu merasa terkungkung dengan aturan, dan akhirnya menemukan punk sebagai outlet untuk kemarahan mereka. Nah, masuknya punk dari literatur dan kaset yang dibawa orang Indonesia dari luar negeri. Di situ banyak foto fashion, dengan lambang anarki, rambut seperti itu… Kemudian banyak literatur yang politis. Memang, waktu sekitar ‘80an-‘90an, pemuda punk itu masih ‘di permukaan aja ya’. Mereka masih pakai lambang anarki tapi mereka nggak ngerti anarki itu apa. Malah mungkin melakukan hal-hal yang bahkan bertentangan dengan ideologi. Misal, seperti mereka memakai lambang straigth edge, mereka memasang lambang “X”, yang artinya tidak merokok dan tidak minum, tapi sebenarnya masih tetap minum.
Nantinya mulai muncul orang-orang yang concern dengan isu-isu political. Marjinal di Jakarta; Black boots, Teknoshit, dan Taring Padi di Yogya. Mereka mengeluarkan zine. Zine itu sebuah media alternatif yang dibikin dan distribusikan sendiri oleh teman-teman. Di zine ini, mereka memasukkan bebagai protes-protes sosial, digabungkan dengan kesenian. Kebanyakan anak Taring Padi berasal dari ISI. Dari situ kemudian muncul rilisan-rilisan sendiri. Era itu, pandangan umum dalam masyarakat mengharuskan merilis musik lewat major label. Nah, dari situ dalam punk muncul istilah DIY: do it yourself. Mereka merilis album sendiri, bikin merchandise sendiri, mempromosikan bandnya sendiri, tur dengan jaringan sendiri.
Di Yogya sendiri mulai muncul outlet Radio G-Indie, yang dimotori musisi-musisi non-punk juga. G-Indie nantinya berubah jadi Geronimo. Banyak musisi kemudian membuat demo, diputar di radio ini. Tapi bedanya, indie di tahun itu lebih mengarah sebagai stepping stone (batu loncatan). Kiblat musisi indie pada masa itu tetap agar diambil oleh major label. Hal ini berbeda dengan masa kini di mana musisi indie yang sekarang, yang berpikir, “Mau diambil major label ya nggak masalah, mau indie pun nggak masalah.”
Sementara itu, di lingkungan kampus, musik pun menggeliat. Namun, tidak semua musisi di kampus mengejar isu-isu politik. Ada memang yang tertarik untuk dirilis major label, namun ada juga yang concern pada isu-isu politik, dekat dengan politik. Ada irisan antara punk dan skena musik kampus. Kita bisa melihat di era ‘90an itu, banyak kampus yang dijadikan tempat untuk mengadakan gigs-gigs punk, hardcore punk. UPN (Babarsari Youth Crew – Fossil dari Strawberry Pop). Mereka adalah mahasiswa yang concern di musik, punk, dengan isu politik. Mereka biasanya membuat acara kampus, bikin proposal sebagai acara kampus, tapi bandnya band punk. Di UGM sendiri ada juga yang membuat aktivitas seperti itu, diantaranya di Filsafat (Sunday Morning), dan FMF (Forum Musik Fisipol) yang berani keluar dari lingkungan kampus. Bicara UGM, kita nggak bisa lepas dari FMF. Itu termasuk bagus, karena mereka bikin acara di luar kampus juga.
Rizky Sasono
Dekade ‘90an identik dengan musik punk, di mana pelakunya aktif menyuarakan pesan-pesan politik secara verbal. Dikatakan tadi, ada Teknoshit dan Black Boots dari Jogja. Ada juga Homicide di Bandung kalau nggak salah ya. Tapi kebanyakan masih pada level permukaan. Punk sebagai medium ekspresi itu hanya menyerap info-info dari luar negeri. Punk yang rebelious, diserap dengan serta merta seperti itu. Walaupun ada beberapa band yang saya sebut tadi, keberpihakan yang mereka lakukan adalah dengan sadar, mereka berpolitik lewat lagu-lagunya.
Yang kedua, peran zine dalam distribusi pesan-pesan mereka, sehingga kalangan lebih luas jadi mengetahui isu-isu politik yang berkembang di sekitar mereka.
Di saat yang bersamaan, scene musik pun mulai berkembang. Dikatakan tadi ada G-Indie. Saya juga punya pengalaman dengan G-Indie. Saya ketahui kalau waktu itu, band-band kampus mengirimkan demonya, karena memang itu sebuah ajang yang cukup terstruktur, cukup valid, untuk diikuti oleh musisi kampus, karena kemudian dengan promosi lagu, musik pun dapat direquest dalam acara-acara radio. Mungkin inilah yang saat itu bisa dikaitkan dengan kesadaran pelaku atas ‘do-it-yourself’, melawan major label, dan semacamnya.
Antariksa
Mencoba melihat konteks yang lebih besar sebagai peneliti, bukan musisi. Argumen yang ingin disampaikannya: tentang bagaimana produksi dan konsumsi musik pada tahun 90an di Indonesia mengubah atau mempengaruhi atau ikut membentuk cara kita menjadi anak muda di Indonesia. Saya ingin melihat mendudukkan musik dalam konteks perubahan-perubahan sosial budaya sebelum dan sesudah Reformasi, dan bagaimana ini mengubah perilaku, membentuk jati diri anak muda di Indonesia.
Nah, saya ingin mulai dengan satu situasi yang umum terjadi di Indonesia pada awal 1990an. Pada pertengahan 1980an, muncul kebijakan resmi dari Pemerintah, Menteri Penerangan, menyensor lagu-lagu cengeng: lagu-lagu cinta, romantis. Beberapa nama yang bisa disebut, aransemennya: Rinto Harahap, Ariyanto, Obie Mesakh, dll. Musisi-musisi yang paling hip, paling top pada masa itu. Mereka bisa menjual 2 juta keping kaset. Harmoko menyebut lagu-lagu ini merupakan “lagu kelas krupuk” – meskipun itu penghinaan bagi penyuka kerupuk – “ratapan patah semangat yang berselera rendah”. Nah, ini menurut Harmoko, harus dihapus dari khasanah musik di Indonesia, karena tidak sesuai dengan semangat pembangunan Indonesia, yang seharusnya tidak meratap-ratap begitu. Suasana ini yang kemudian melatari bagaimana industri musik dan bagaimana konsumen musik, dalam konteks ini anak-anak muda, hidup pada awal masa ‘90an. Kita hidup di bawah bayang-bayang sensor dari Pemerintah. Tentu bukan hal yang asing, misalnya Iwan Fals, yang paling sering kena sensor di mana-mana. Di bidang pertunjukan ada Rendra, dll.
Tahun 1990an itu penting sekali karena sampai pada 1980an, akses yang kita peroleh untuk musik, kita peroleh dari sumber yang sangat terbatas. Pertama-tama: radio. Pada masa itu, peran radio penting sekali, entah sekarang. Mendengarkan tangga lagu rock, misalnya, atau lagu Indonesia terbaik setiap akhir pekan itu mengupdate fasilitas kita tentang musik. Saya tinggal di Malang dulu, kalau dulu itu, kami mendengar Kalimaya Baskara FM (seperti Geronimo-nya Jogja). Kami mendengar setiap Sabtu, tangga lagu favorit, itu paling penting.
Kedua: majalah-majalah remaja. Majalah Hai salah satunya yang penting. Majalah Hai merupakan majalah yang paling intensif membuat laporan tentang musik. Setiap satu kali dalam sebulan atau dua bulan, mereka mengeluarkan edisi-edisi khusus kelompok musik tertentu, baik dari jalur mainstream maupun non-mainstream. Mereka membuat edisi-edisi khusus yang pada saat itu sangat diburu. Kurang lebih seperti edisi khususnya Tempo. Waktu itu, anak muda memburu edisi khusus Majalh Hai yang memuat liputan-liputan mengenai kelompok musik, internasional maupun lokal.
Akhir 1980an pun penting karena itu era munculnya televisi swasta. Sebelumnya kita hanya menonton TVRI. Setiap minggu ada Aneka Ria Safari dan Selekta Pop. Ini merupakan barometer penting untuk melihat perkembangan musik sebelum munculnya RCTI. Nah, ketika RCTI muncul, (1992 di Malang) mereka masuk dengan mengimpor sejumlah acara musik dari MTV Asia. Hal inilah yang kemudian mengubah peta, karena sebelumnya saluran informasi tentang musik didominasi oleh radio dan beberapa majalah, dan kini ada tambahan. Acara musik yang paling ngetop di waktu itu adalah Delta Musik. Tapi yang paling hot adalah MTV Ampuh, menampilkan sepuluh lagu paling hot di dunia. Di situ, sebenarnya gagasan dan cara kita mengkonsumsi musik itu sedikit berubah, karena kalau teman-teman cari di Youtube siaran televisi ini. Menarik sekali untuk melihat bedanya klip video yang dihadirkan di Aneka Ria Safari atau Selekta Pop via TVRI dengan yang dihadirkan oleh MTV via RCTI. Klip video yang memang didesain sebagai wahana baru untuk mentransmisikan atau menyampaikan musik pada khalayak lebih luas (muncul sejak 1990an).
Begitulah situasinya di Indonesia pada saat itu. Saya juga ingin menghadirkan konteks dunia pada saat itu dengan konteks politik. Sekitar tahun itu, kita sangat dirundung sensor. Satu tonggak penting masa itu ada pada tahun 1994: pembredelan Tempo, Detik, dan Editor. Saya kira tonggak sensor di era 1990an adalah pada waktu itu. Saya kira itu mempengaruhi banyak macam bidang, karena pada waktu ketiga media ini dibredel, benih-benih kesadaran demokrasi mulai disadari oleh khalayak lebih luas. Sebelumnya, benih-benih kesadaran ini hanya berada di kalangan aktivis, mahasiswa, dll. Namun lebih luas lagi, saat itulah mulai muncul gerakan-gerakan dari khalayak lain, termasuk diantaranya seniman musik juga.
1997 internet mulai masuk, warnet mulai dibuka, dengan harga Rp 7000-8000 (hitungannya mahal sekali). Patungan untuk mengakses internet di warnet. Waktu itu, mahasiswa mengakses satu mailing list, “Apa Kabar”, diprint, difotokopi, dan disebarkan ke teman-teman mahasiswa lainnya. Begitulah cara informasi disebar pada masa itu. Bahkan terkadang dijual sebagai bendel, yang dijual oleh penjual koran. Pada waktu itu berita-berita yang diambil biasanya berkonteks politik.
1997-1998, kita mulai mengenal MP3, WinAmp, dan Windows Media Player. Hal ini mengubah semuanya, karena tadinya kita mendengarkan musik dari Walkman. Sejumlah mahasiswa yang punya uang mulai membeli komputer, membeli CD, membakar dan menyebarkan musik.
Internet masuk, dibiarkan oleh pemerintah yang tidak mengetahui bahaya yang bisa dibawanya. Salah satu produk budaya yang dikenalkan internet ya musik juga. Salah satunya adalah lagu-lagu John Tobing. Pada waktu itu mereka masih belum menggunakan kaset, rekaman digital, tapi dipraktikkan dari mulut ke mulut kepada mahasiswa. Ada bendelan “Lagu-lagu untuk Gerakan”. 1997 dia pertama kali mendengar lagu “Genjer-genjer”, yang dibawa oleh Hendro Tuhan, diperdengarkan lewat kaset, kepada mahasiswa-mahasiswa. Setelah itu, ada oknum yang mulai mengkompilasikan Genjer-genjer dan lagu-lagu gerakan mahasiswa lainnya, mempublikasikannya kepada masyarakat lebih luas, baik lewat CD maupun dimainkan dalam forum-forum khusus.
Mulai 1997, anak-anak di Filsafat mulai menggagas melakukan “Sunday Morning”. Karena pada waktu itu mulai banyak mahasiswa-mahasiswa yang diculik. Karenanya, salah satu alasannya untuk keamanan, kemudahan (untuk menyelenggarakan acara di kampus, ketimbang di luar kampus, yang biasanya cukup sulit). Waktu itu, awal-awalnya diadakan oleh anak-anak Fisipol, Filsafat. Pada pertunjukan-pertunjukan ini pun sangat disertakan isu-isu politis, lewat orasi, selebaran-selebaran politis.
Pertunjukan musik juga mulai banyak diadakan oleh kampus-kampus. UGM, IAIN, UPN, dll. Jaringan-jaringan yang menarik di dalam kampus berjalan seiring dengan jaringan politis di luar kampus. Walaupun banyak musisi-musisi yang menolak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan politis karena rezim di masa itu sudah sangat ketat.
Setelah Reformasi, Soeharto turun, konsumsi musik pun meledak. Oleh karena itulah, cara kita mengalami musik di akhir 90an dengan awal 90an, tentu berubah. Masalahnya untuk era akhir 90an, bukannya tidak ada sumber pengetahuan, tapi justru setelahnya jadi terlalu banyak sumber pengetahuan yang disebarkan (berhubungan dengan konteks kualitas)
Misalnya saja, pada tahun 1970an, ada festival-festival atau kompetisi-kompetisi. 1980an, sumber informasi diseleksi, sehingga setelah itu, cara kita memahami dan mengkonsumsi produk musik pun berubah. “Fokusnya bergeser dari “kedalaman”, menjadi “menyebar” atau “meluas””. Terjadi dalam hampir semua produk kebudayaan (musik, dll) maupun pengetahuan (buku, cara kuliah).
“Perubahan demokratisasi menawarkan ketersediaan sumber dan wahana informasi yang tak terbatas. Tapi juga, negatifnya, kita kehilangan satu praktik kuno untuk mengkonsumsi dan mendalami produk kebudayaan ini.”
Tantangannya mencari cara produksi, distribusi, dan konsumsi yang tepat untuk generasi sekarang. Apakah masih memakai cara-cara itu saja, atau ada cara lain yang lebih cocok. “Saya menyatakan kegelisahan saya karena generasi sekarang adalah generasi ‘seneng aja’ dan generasi ‘lucuuu’.”
Rizky Sasono
Akses yang terbatas di era ’80-‘90an mempengaruhi konsumsi musik anak muda. Pengadaan acara di kampus dengan alasan kemudahan dan keamanan. Analogi lain untuk “kedalaman” vs “menyebar”, itu untuk “buku” vs “layar komputer”. Kita kehilangan kebiasaan untuk mendalami substansi dari materi itu sendiri.
TANGGAPAN
Nanda
Bagaimana arus masuknya influens musik punk dari luar itu?
Indra Menus
Orang kaya jalan-jalan di luar negeri, melihat musik keren, literatur keren, menunjukkan kepada teman-temannya di sini. Beberapa musisi yang disebut: Sex Pistols, dll. Mereka lantas melihat bagian “thanks to” untuk mencari musisi lain yang sama influensnya. Hidden stamp untuk mengirim surat atau barter (CD musik, demo, zine, dll) dengan band di luar negeri. Hubungannya memang menjadi sangat personal. Dalam zine tersebut ada banyak liputan dan interview band: informasi-informasi seperti alamat kantor/base band tersebut, sehingga kontak antar musisi lokal dan luar bisa terjalin. Kemudian muncul skena baru melalui aktivitas barter tersebut. “Beda kan dengan jaman sekarang, tinggal tanya “download di mana?”.
Yennu Ariendra
Sekitar awal tahun 1997-1998, ada penjual kaset kopian dari musisi-musisi dari luar. Beberapa band indie pun memproduksi kaset mereka sendiri dan dijual lewat toko tersebut.
Indra Menus
Nama tokonya “Ngejaman”. Mixtape (tape deck?) pun mulai muncul, memperbanyak kaset-kaset. Mas Menus sampai datang ke Malang, khusus untuk memperbanyak lagu lewat kaset di sana. Makanya, kalau punya tape double deck, jadi banyak temannya. Dulu, di pertengahan 90an, di Bandung mulai banyak rekaman bootleg, yang sebenarnya bajakan. Yang di Kotamas, ada sesi di belakang, khususnya musik-musik underground, hardcore, itu pun bajakan.
Nanda
Apakah yang masuk kala itu hanya musik punk? Atau ada genre lainnya?
Indra Menus
Karena pada masa itu, punk memanglah genre paling cocok untuk dijejaki anak muda. Mereka bisa tetap “keren”, tidak seperti sekarang. Seringnya itu menjadi titik awal penyuka musik. 90an adalah era di mana evolusi musik sudah selesai.
Nanda
Sepakat dengan mas Menus dari situ, lewat pengalamannya menonton film dokumenter heavy metal. Musisi Indonesia kebanyakan kurang bisa menikmati musik/ kurang bisa mengikuti ranah atau skena di luar.
Rizky Sasono
Awal musisi biasanya plek-plekan musik, mencoba menyamakan pembawaan lagu. Tapi sekarang, sudah mulai membawa lagu-lagu sendiri.
Irfan Darajat
“Saya pikir itu dari sejarah mas Antariksa dan mas Menus yang agak jauh dari pengalaman saya sendiri.” Jika ditarik hingga masa kini, tentu menjadi berbeda dengan masa kini, di mana pola produksi, distribusi pun menjadi berbeda. Sekarang pun ada siasat-siasat lain yang bisa kita lihat gimana proses demokratisasinya, lewat media-media seperti SoundCloud, Radio Qwerty, dll. Seberapa jauh berkaitan dengan movement?
Aditya
Musik dibawa karena movement. Peristiwa 90an, pengalaman-pengalaman politis lain bersinggungan dengan pergerakan-pergerakan politis. Pada akhirnya, perbincangan terakhir dari persoalan-persoalan ini adalah arah ke mana gerakan ini dibawa.
Michael Raditya
Di jaman Soekarno, banyak menutup atau menyensor masuknya musik barat. Soeharto juga menyensor beberapa arus produk budaya. Apakah bisa dicontohkan
Radio sebagai ranah homogenisasi selera.
Antariksa
Musik dan gerakan. Awal 90an hanya sedikit anak muda yang bercita-cita menjadi musisi, sutradara, dll. Berkat perubahan sosial politik dan budaya, muncul banyak cita-cita baru; salah satunya dalam seni, ekspresi. Seni bukan hanya ekspresi, tapi juga satu divisi kerja yang disadari. Musik, kesenian, disadari sebagai divisi kerja yang spesifik. Sebagai divisi kerja yang spesifik, pasti ada infrastruktur kerja. Ada alat-alat produksi, produsen, nilai-nilai yang spesifik juga. Kenapa ini ada? Karena saluran berekspresi menjadi lebih luas. Setelah politik mulai goyah, mulai banyak ekspresi-ekspresi seni yang mendeklarasikan dirinya sebagai seniman.
Ketika hal ini terjadi, pengalaman-pengalaman produksi, distribusi, dan konsumsi pun berubah. Seperti yang disampaikan mas Menus tadi mengenai pengalamannya mengkopi musik ke Malang, mengkonsumsi musik pun menjadi pengalaman yang menubuh, tidak hanya mendengarkan. Sekarang menjadi lebih personal. Mas Antariksa belum memiliki tesis tentang hubungan pengalaman menubuhnya orang dengan musik.
Wacana musik dalam politik, terjadi di kalangan musisi itu sendiri. Contohnya ya ide-ide indie label dan major label. Menarik untuk melihat isu-isu yang terjalin.
Adakah upaya ilegal? Ada.
Radio sebagai upaya penyeragaman? Ya. Semua media. Pertanyaannya bukan soal apakah diseragamkan, tapi persoalan bagaimana proses itu diseragamkan? Dalam konteks Taring Padi, kita lihat pada struktur editorial mereka, ketahuan lah kenapa mereka memilih tersebut. Saluran ilegal di era itu sangat banyak. Pun sangat berbahaya, karena pendistribusi sangat bisa mendapat sanksi, ditangkap, dll. Radio komunitas juga merupakan media. Radio kampus: Swaragama contohnya. Dengan perkembangan radio komunitas.
Yang juga sama menariknya adalah musik yang disebarkan di luar gerakan-gerakan politik.
90an, MUI mengeluarkan ide bahwa heavy metal adalah musik satan. Dan anak muda justru kemudian melawan peraturan semacam itu.
Indra Menus
Jalur distribusi lewat zine dan penyebaran musik di era 90an. Di era 90an, penyebaran musik non mainstream memang sedikit lebih susah, pun nggak bisa membandingkan mana yang “lebih baik”. Untuk sekarang, mungkin dipahami kalau yang lebih baik yang lebih mudah.
Zine seperti Maximum Rock and Roll, Megaton, pembakar Batas (Ucok Homicide; Homicide merupakan band hiphop yang paling punk, dan sebaliknya), PAM. Di zine-zine ini ada interview band, dll.
Radio sebagai penyeragaman selera. Justru melawan yang diseragamkan itu. Menjadi alternatif untuk penyeragaman musik-musik yang disebarkan oleh major label. Dari situ musisi pun belajar bagaimana mendistribusikan, mempromosikan bandnya sendiri. Bahkan sekarang pun di era SoundCloud, banyak band yang belum tahu bagaimana cara mendistribusikan musik. Di era itu, ada beberapa cara lain, di mana mereka pun terkadang bekerja sama dengan media lain (Majalah Hai).
Aris Setyawan
Sebelum reformasi 1998, sepertinya musiknya bisa “keren”. Karena di saat itu ada “musuh bersama”. Sementara itu kemudian setelah 1998, kebanyakan studi membahas musik lewat kacamata subculture. Mas Aris menawarkan agar pendekatannya diambil dari sudut pandang pop culture. Ada demokratisasi yang lebih lanjut dari sebelumnya.
Nuning Juliastuti
Praktik konsumsi produk budaya, analogi fokus “kedalaman” vs “melebar”. Di sisi lain, gerakan yang sangat khas dari era sekarang adalah “koleksi”. Untuk di musik, tentu saja kaset dan piringan hitam menjadi gerakan baru. Kita harus menamai gerakan koleksi ini apa? Apakah itu bukan juga sebuah bentuk keinginan untuk ke dalam.
Antariksa
Tidak setuju dengan pendapat Ariel Heryanto kalau kita harus fokus pada budaya pop untuk melihat demokratisasi sepenuhnya. Yang lebih penting untuk dikaji dari produk budaya, yang pop, tidak pop, maupun pop. Dia sepakat bahwa mendudukkan masalah-masalah pop. Apakah dia mencoba memproyeksikan kegagalan-kegagalan dirinya sendiri kalau dia romantis dalam konteks mencoba melihat hal-hal yang terjadi di masa sekarang melalui kacamata masa lalu. Kalau kita percaya dengan ide perlawanan, pertanyaannya: Apa yang dilawan? Kata mas Aris, salah satu yang direpresi di masa lalu adalah “identitas diri”, dari sudut pandang identitas kultural, personal, dsb. Yang menarik adalah melihat bagaimana perlawanan itu ditafsirkan. Apakah berarti teman-teman seniman, musisi, dll, yang diciptakan untuk mempertunjukkan identitas itu kemudian tidak berarti merupakan cara perlawanan? Model agensi seperti apa yang bisa dibayangkan? Apakah kita mungkin melampaui demokratisasi tersebut?
Budaya koleksi? Bukan sesuatu yang “baru”. Tidak terlalu baru tapi juga belum terlalu tua. Di sisi lain, mengkoleksi dengan strategi tertentu bisa sangat berbeda dengan yang lain. Misalnya, mengkoleksi ‘mobil antik’. Bagaimana strategi mengkoleksi mobil antik; misalnya khusus mobil kepresidenan. Lebih luasnya menjadi terkait dengan institusi-institusi pengkoleksi: cara mereka mengkoleksi, mengumpulkan koleksi, mendistribusikan koleksi. Berkaitan dengan konsumsi. Karena itu konsep koleksi tersebut pun menjadi berbeda dengan konsep koleksi yang lampau; mungkin dinamakan “mengkoleksi secara kritis” atau “critical collecting”.
Indra Menus
Terjadi persinggungan antar generasi penyuka musik; terkait dengan generasi 90an dan 2000an, dll. Setinggi mereka menyanjung musik 90an, menghubungkannya dengan bagaimana menikmati musik dan hidup di dunia “nyata”. Tampaknya masing-masingnya lebih keren. Tugas kita semua adalah mencari kekerenan masing-masing sendiri.[]
Seluruh arsip diskusi Preleminary Notes #1 dapat diakses di sini.