(Foto: Dokumentasi Ngayogjazz)

Ada yang berbeda dari pergelaran Ngayogjazz tahun 2019. Bukan soal bagaimana Ngayogjazz digelar, melainkan suatu yang terjadi di luar kendali manusia. Sesuatu yang tidak dapat kembali di kemudian hari. Tiga hari menuju pergelaran Ngayogjazz pada 16 November 2019, salah satu tokoh penting pergelaran Jazz yang dihelat di desa ini, Djaduk Ferianto, berpulang. Pun hal tersebut tidak dapat disembunyikan ketika pergelaran yang dihelat di Dukuh Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Yogyakarta berlangsung. 

Suasana berkabung terasa, mulai dari pembukaan di mana ketika panitia memberikan penghormatan kepada almarhum ataupun ketika Mahfud MD—Menkopolhukam—di pidato pembukaannya; pada pertunjukan musik berlangsung di mana para musisi di tiap panggung menyampaikan kehilangannya melalui musik yang mereka mainkan, seperti: Dewa Budjana dan Soimah dengan lagu “Karma”, Frau dengan lagu “Ndherek Dewi Maria”; bahkan rasa belasungkawa juga mengalir dari para penonton dan warga yang mengenang sosok Djaduk dengan tidak berhenti membicarakan sosoknya. Singkat kata, kepergiannya telah meninggalkan kesedihan mendalam untuk pelbagai kalangan.

Kendati kesedihan tercurah, pergelaran musik Jazz yang ketiga belas kalinya ini tetap dilangsungkan. Namun tetap digelarnya Ngayogjazz bukan upaya antipati atau untuk mengalihkan kesedihan, melainkan mengantarkan almarhum ke rumah empunya kehidupan, mengenang sang penggagas, merayakan hasil kerjanya, dan merawat energi baik yang telah ia ciptakan. Raga memang telah berpulang tetapi jiwa dan semangatnya terus tumbuh bersama kita. Bersama Ngayogjazz, Djaduk tidak hanya “hidup” kembali, melainkan abadi. 

Berhasil Tapi Bukan Tanpa Catatan

Sejak informasi terkait Ngayogjazz tersebar di media sosial beberapa minggu sebelum acara dihelat, kesan yang muncul dari Ngayogjazz ke-13 ini adalah kemeriahan. Bagaimana tidak, pada tahun 2019 ini, pengelola, baik board Ngayogjazz—alm. Djaduk Ferianto, Bambang Paningron, Hattakawa, Aji Wartono, Hendy Setyawan, Novindra Diratara, dan A. Noor Arief—ataupun panitia mengorganisir tema yang diangkat, penampil, pemilihan tempat, dan penciptaan ruang dengan matang. Bahkan, menurut hemat saya, Ngayogjazz pada tahun ini dapat diibaratkan laiknya sebuah pesta besar. Di mana segala sesuatu lengkap dan disiapkan secara serius. Tampak bagaimana profesionalitas kerja ditunjukkan oleh mendiang Djaduk, dan kawan-kawan.

Hal yang terus menarik untuk dibicarakan adalah pemilihan tempat. Dukuh Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Yogyakarta bukanlah tempat baru untuk pergelaran Ngayogjazz. Tiga tahun silam, tahun 2016 sempat menjadi tempat dihelatnya Ngayogjazz yang kesepuluh. Pun hal ini bukan kali pertama dilakukan oleh Ngayogjazz. Pada tahun 2012 dan 2014 silam, Ngayogjazz dihelat di tempat yang sama, Desa Wisata Brayut. Apakah penggunaan kembali dukuh Kwagon pada tahun 2019 ini karena ketidakmampuan dan ketidakkreatifan pengelola? Jika merujuk pernyataan pengelola yang tertera di pranala mereka, pemilihan tempat Kwagon ini dipilih karena penghasil genteng dan batu bata di Godean ini dianggap siap dan potensial. Jika merujuk ke penyelenggaraan, menurut hemat saya, Dukuh Kwagon sebagai tempat perhelatan festival memang dirasa siap, baik secara tempat—tujuh panggung, yakni panggung Molo, Empyak, Umpak, Saka, Blandar, Usuk, dan Genteng—maupun kesigapan masyarakat, dalam mengelola ruang pergelaran hingga ruang parkir. 

Di samping itu, penggunaan tempat yang sama memang memudahkan panitia dan penonton dalam beradaptasi dan mengelola pergelaran, tetapi jangan sampai kemudahan tersebut justru melenakan ruang eksplorasi panitia dalam menentukan tempat dihelatnya Ngayogjazz ke depan. Di sisi yang lain, penggunaan tempat yang sama membuktikan bahwa Ngayogjazz tidak meninggalkan sebuah desa yang mereka gunakan begitu saja. Ngayogjazz tetap menganggap desa-desa yang pernah  digunakan sebagai “situs” potensial yang dapat terus digali, hal yang tentu baik walau pertanyaan akan seberapa besar dampak positif Ngayogjazz untuk masyarakat patut terus dilontarkan. Namun yang patut disoal, jangan sampai, penggunaan desa yang sama tidak menghasilkan atau memberdayakan masyarakat di dalamnya. Pun jika sudah, seberapa besar pemberdayaan dilakukan?

Sedangkan pada pemilihan tema, Ngayogjazz memang lazim mengelaborasi terma dari adagium, pernyataan, atau judul lagu tertentu. Sempat terpikir bahwa pemilihan tema Ngayogjazz tidak lebih dari pelesetan semata yang menggunakan padanan terma menarik semata. Terlebih di beberapa penyelenggaraan Ngayogjazz pemilihan tema lebih terkesan utak-atik-gatuk. Namun bukan Ngayogjazz namanya jika tidak bermain-main dengan keadaan. Utak-atik-gatuk itu justru menjadi pilihan yang khas a la mendiang Djaduk dkk, dalam mengkritisi keadaan bangsa melalui kesenian. Pada tahun 2019 ini, Ngayogjazz memilih tema “Satu Nusa Satu Jazz-nya”. Sudah barang tentu, tema tersebut berangkat dari elaborasi (baca: pelesetan) Ngayogjazz atas lagu nasional ciptaan Liberty Manik yang bertajuk “Satu Nusa Satu Bangsa”. Sebuah semangat kesatuan yang diciptakan pada awal kemerdekaan, yakni pada tahun 1947. Semangat inilah yang agaknya diinisiasi penyelenggara untuk menyatukan bangsa melalui musik. Terlebih persatuan memang menjadi barang mewah di tengah isu perpecahan belakangan ini. Namun apakah tema persatuan ini berhasil mereka wujudkan?

Hal ini kiranya dapat diketahui dari beberapa hal, salah satunya unsur musik yang mereka tampilkan. Tumpah ruah adalah kesan yang disemai dari pergelaran Ngayogjazz tahun ini. Penampil tersebut diidentifikasi sebagai berikut: pertama, komunitas lintas daerah: Tricotado, Bukti, Berdua Saja, NU, Donny Kurniawan Project, Titisari, dan Prima (Komunitas Jazz Jogja); Javafive (Komunitas Jazz Semarang); Batik Replica New Generation (Komunitas Jazz Pekalongan); Solammijazz 1, Solammijazz 2, dan Solammijazz Jr. (Komunitas Jazz Trenggalek); Kopi Jazz (Komunitas Jazz Kediri); Satria Quartrett (Komunitas Jazz Purwokerto); Opa N Friends dan Erizal Barnawi (Komunitas Jazz Lampung); JB Project ft. Jacob Jayasena (Komunitas Jazz Solo); Aphrodite (Komunitas Jazz Samarinda); Mrs. Holdingsky ft. The Apprentice (Komunitas Jazz Ponorogo); Fusion Jazz Community (Komunitas Jazz Surabaya); Repro (Komunitas Jazz Magelang); dan Jogja Blues Forum. 

(Foto: Dokumentasi Ngayogjazz)

Kedua, musisi dalam negeri, seperti: Kua Etnika ft. Soimah dan Didi Kempot, Mus Mujiono with Dexter, Idang Rasjidi Sings Jazz, Tompi, Dewa Bujana, Bagong Big Band, Indro Hardjodikoro ft. Sruti Respati, Frau, FSTVLST, Nonaria ft. Mas Brass, Dony Koeswinarno, Sweetswingoff, Doni Suwung, S’Wonder Big Band ft. Aartsen-Farias-Kelley, dan MLD Jazz Project Season 4. Ketiga, musisi lintas negara, seperti: Arp Frique (Belanda), Rodrigo Parejo Quartet (Spanyol), Baraka (Jepang), dan Eym trio (Prancis). Keempat, kesenian setempat, Mi Komo (Dalang Anak), Jathilan Kwagon, Gedruk Kwagon, Gamelan Kwagon, dan Penyerahan Hadiah Lomba Festival Bambu.

Dari susunan penampil tahun 2019, Ngayogjazz telah menjadi ruang yang akomodatif dengan menampilkan beragam musisi lintas lingkup, daerah, gender, dan genre. Serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, komunitas Jazz dari pelbagai kota ikut meramaikan pergelaran ini. Hal ini menjadi upaya apik dalam merawat semangat jazz di level regional. Saya kerap menyebut formulasi Ngayogjazz ini sebagai jazz guyub, formulasi yang tidak dipunyai festival jazz senior lainnya. Tidak hanya itu, Ngayogjazz turut menjadi magnet tersendiri bagi musisi Jazz. Pada tahun ini, Ngayogjazz berhasil menghadirkan nama-nama beken musisi Jazz tanah air, seperti Idang Rasjidi, Tompi, Dewa Budjana, dan lain sebagainya. 

(Foto: Dokumentasi Ngayogjazz)

Pemilihan musisi yang bukan berasal dari genre jazz, seperti: Soimah, Didi Kempot , Frau, FSTVLST, dan lain sebagainya, pun turut menarik. Pasalnya Ngayogjazz berhasil menampilkan musisi yang memang berkualitas. Bahkan musisi di luar genre jazz ini berhasil mencuri perhatian, di mana Frau viral dengan lagu Ndherek Dewi Maria; FSTVLST dengan pertunjukan energetik serta penonton asyik; kolaborasi antar genre antara Kua Etnika, Soimah, dan Didi Kempot juga menjadi daya pesona yang besar untuk Ngayogjazz tahun 2019 ini. Kendati Djaduk Ferianto telah berpulang, Kua Etnika tetap menampilkan sajian musik yang terbaik. Seraya mereka mengantarkan alm. Djaduk ke rumah Tuhan yang Maha Esa. 

Namun apakah pergelaran Ngayogjazz berhasil meleburkan penampil, penonton, serta pertunjukan itu sendiri? Jika melihat formasi musisi di panggung Empyak, Umpak, Saka, Blandar, Usuk, dan Genteng, maka susunan yang lebur telah dilakukan antara komunitas, musisi dalam negeri, dan musisi mancanegara. Namun jika melihat formasi penampil di panggung Molo, yakni Jathilan Kwagon, Ki Momo (Dalang Anak), Gedruk Kwagon, dan Gamelan Kwagon kiranya kesan lebur jauh panggang dari api. Maksud hati Ngayogjazz memberikan ruang spesial bagi masyarakat, pemisahan ini justru dapat menimbulkan alienasi bagi penampil. 

Sedangkan dari leburnya penonton, maka transisi di panggung Usuk antara FSTVLST ke penampil selanjutnya, Dewa Budjana, sudah cukup menunjukkan bahwa lebur tidak sepenuhnya berhasil. Pasalnya penggemar militan FSTVLST membubarkan diri bersamaan dengan band kesayangannya keluar panggung. Sedangkan penggemar Dewa Budjana dengan sigap memadati arena penonton ketika sang gitaris memasuki panggung. Terjadi perubahan penonton sekejap bersamaan dengan pergantian penampil. Singkat kata, Ngayogjazz berhasil meraih massa di luar Jazz, walau massa yang beragam tersebut tidak sepenuhnya melebur dengan penggemar musik Jazz. Meleburnya penonton justru berhasil ketika praktik kolaborasi dilangsungkan. Kua Etnika, Soimah, dan Didi Kempot membuat penggemar musik yang beragam terhipnotis pada sajian musik mereka. Alhasil format kolaborasi agaknya tepat diterapkan jika praktik lintas genre akan dilakukan pada tahun-tahun ke depan. 

Aspek terakhir yang menarik di Ngayogjazz adalah penciptaan ruang. Penciptaan ruang ini pantas diapresiasi baik, karena Ngayogjazz turut mengakomodasi pelbagai kalangan untuk terlibat dalam memeriahkan pergelaran tersebut. Pada artistik, Froghouse dan Festival Bambu Sleman menyulap pedukuhan Kwagon menjadi menarik. Pun mereka turut membuat instalasi di beberapa tempat yang kelak menjadi booth foto para penonton. Tidak hanya itu, hal yang terus dirawat dari setiap pergelarannya adalah keterlibatan warga. Di Kwagon, penduduk setempat turut aktif membuat pasar tiban yang mereka namai Pasar Jazz. Namun, serupa dengan kritik saya beberapa tahun silam, apakah warga hanya terlibat dalam kegiatan pasar semata?

(Foto: Dokumentasi Ngayogjazz)

Selain itu, pada Ngayogjazz 2019 ini, terdapat ruang pembelajaran. Di mana workshop dan edu-concert dilakukan sebagai ruang bertukar pikiran menentukan Jazz di Indonesia. Begitulah harapan alm. Djaduk. Singkat kata, ruang ini patut diapresiasi apa pun keadaannya, pasalnya tetap dilakukannya ruang edukasi walau sang inisiator berpulang adalah hal yang sulit dilakukan. Sedangkan hal teristimewa dari Ngayogjazz tahun ini adalah diciptakannya museum bernama “Messiom Ngayogjazz”. Museum ini memamerkan perjalanan Jazz di Indonesia dan menampilkan catatan para tokoh jazz yang memiliki peranan penting untuk Jazz Indonesia. Tidak dihadirkan secara kaku dan harfiah, museum ini justru terlihat asyik dalam menafsir sejarah. Hal lain yang patut diapresiasi dari panitia adalah inisiatif memasukkan alm. Djaduk sebagai bagian dari figur penting jazz di Indonesia di “Messiom Ngayogjazz”. Hal ini sangat patut dan tepat dilakukan. Namun, cukup disayangkan bahwa museum dadakan tersebut hanya digelar sehari saja, padahal gagasan museum ini penting untuk masyarakat dalam melihat kilas balik jazz di Indonesia. Kendati banyak penonton yang luput untuk mengunjungi museum tersebut karena pelbagai alasan, seperti: tidak mengetahui tempat, ataupun terlupa; upaya ini agaknya harus selalu ada di pergelaran Ngayogjazz ke depan. 

Upaya yang Jangan Pernah Usai

Ngayogjazz 2019 ini akan selalu diingat oleh siapa pun, pasalnya seniman besar, inisiator, dan salah seorang board, Djaduk Ferianto menghembuskan nafas terakhirnya tiga hari (13/11) sebelum pelaksanaan Ngayogjazz 2019 dilangsungkan. Kepergiannya memang  meninggalkan kehilangan besar untuk keluarga, Ngayogjazz—baik board, panitia, atau penonton setia—dan semua kalangan, tetapi jangan sampai Ngayogjazz yang sudah jalan ketiga belas kali—termasuk tahun 2019—ini beristirahat. 

Pasalnya festival ini bukan hanya sekadar pertunjukan musik biasa. Pada awalnya, saya mengira bahwa hal yang dimiliki Ngayogjazz dan membedakan dengan festival lainnya hanyalah ambience dari pergelaran tersebut. Bahkan saya sempat berpikir jika Ngayogjazz tidak digelar di pedesaan maka kesan Ngayogjazz tidak akan terejawantahkan, alias serupa dengan festival jazz di daerah lainnya. Namun dari pergelaran tahun ini, saya justru disadarkan bahwa Ngayogjazz adalah gugusan semangat positif yang menciptakan suka cita; serta harapan akan kewarasan dari kehidupan yang diwujudkan melalui musik. 

Elaborasi tema, tempat, penampil, dan pelaksanaan yang dilakukan oleh Ngayogjazz menjadi ruang untuk masyarakat merasakan kehidupan yang multi-lapis, yakni bersosial, berbudaya, bernegara, dan lain sebagainya, serta leburan di antaranya. Hal ini memang cukup absurd, tetapi dengan datang ke Ngayogjazz, pertemuan dengan teman, tetangga, hingga kawan lama dapat terjadi; pertemuan individu perkotaan dengan nuansa pedesaan dapat terjalin; pertemuan penonton dengan isu dan tema yang reflektif akan kondisi negara dapat dirasakan; dan segala sesuatunya terjalin sekaligus di peristiwa Ngayogjazz, baik dialami secara sadar ataupun sebaliknya. Alhasil, terlepas dari pelbagai kekurangan yang ada, upaya menghelat Ngayogjazz diharapkan jangan pernah usai, karena dengan digelarnya Ngayogjazz sama saja dengan merawat energi, semangat, dan jiwa Djaduk untuk terus bersama kita semua.[]