Setahun belakangan ini saya tengah giat-giatnya membaca tulisan-tulisan yang berkaitan dengan musik popular. Selain untuk kebutuhan tugas akhir, saya memang menggemari bagaimana kajian musik popular bekerja. Salah satunya adalah buku Analysing Popular Music milik David Machin. Di dalam buku tersebut, Machin menganalisis musik popular dengan menggunakan perspektif semiotika. Tentu saja, hal tersebut bukan sesuatu yang baru bagi saya. Meski tidak semapan dan sedalam penelitian yang dilakukan Machin, saya kerap menemui tulisan dan diskusi teman-teman, mahasiswa seni yang mengulas musik dengan teori-teori semiotika.

Namun, ulasan musik popular dengan pewacanaan teori semiotika yang saya temukan di buku ini tidak kalah menarik. Ketertarikan saya bermula pada saat Machin menuliskan kegelisahannya, mengapa orang-orang cenderung membicarakan musik seolah-olah musik adalah sesuatu yang berasal dari dunia lain dan kemudian tiba-tiba terhubung dengan alam kita. Tidak jarang juga orang-orang mengaitkan musik dengan jiwa dan sesuatu yang mistis. Beberapa peneliti juga lebih tertarik menyoal pemaknaan atas apa yang dihasilkan musik, daripada menyoal proses di balik penciptaan musik sehingga menimbulkan makna sedemikian rupa.

Berbeda dengan yang lainnya, Machin lebih tertarik memperlakukan musik sebagai bagian dari budaya manusia itu sendiri. Sebagaimana budaya, musik nantinya akan mengacu pada apa yang telah didengar manusia, hal tersebut selanjutnya menjadi referensi bagi tiap-tiap individu dan memengaruhi perspektif individu tersebut di dalam melihat musik. Secara berkala, proses ini telah membentuk suatu pola dan konvensi musik di dalam masyarakat. Semisal, karakter musik yang dikategorikan sedih, kejam, melow, atau kategori genre musik seperti musik klasik yang menguras otak, musik pop yang memiliki standarisasi industri, indie yang anti arus utama, atau rock yang keras merupakan contoh pola dan konvensi nyata yang terjadi di dalam kancah musik.

Lantas yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana konvensi dan pola tersebut terbentuk di dalam musik? Hal ini yang menjadi bahasan utama di dalam buku ini. Selain itu, Machin juga mengajak pembacanya menjelajahi proses teknis di balik pembuatan album-album musik popular oleh musisi/seniman yang mengikuti pola-pola konvensi yang telah ada. Lebih lanjut tujuan Machin menulis buku ini tidak lain sebagai usaha untuk menantang gagasan musik yang hampir dianggap bersifat spiritual. 

Untuk membedah persoalan tersebut, Machin menggunakan teori semiotika dari Roland Barthes (1977) dengan sedikit modifikasinya. Jika pada semiotika tradisional Barthes didasarkan pada satu elemen saja, kali ini Machin menggunakan beberapa elemen sekaligus. Ia menyebutnya sebagai analisis ‘wacana multimodal’ yang meliputi gambar (Image), suara (sound), dan lirik (text) seperti yang ditautkan di judul buku.

Bab pertama buku Machin diberi judul “Discourse of Popular Music”. Pada bagian ini, Machin mengupas habis soal wacana musik popular. Salah satu kasus yang disoroti di dalam bahasan tersebut adalah konsep otentisitas musik yang dianggap hanya milik segelintir musisi atau kelompok musik. Di dalam Bab II dan seterusnya Machin menganalisis musik pop secara lebih detail melalui visual, suara, dan lirik.

Saya akan lebih menikmati buku ini jika Machin membahas bagian visual, musik, dan lirik dengan menggunakan contoh yang sama. Membahasnya secara terpisah-pisah tanpa menautkan satu sama dan dengan contoh yang berbeda di tiap bahasan, membuat saya sulit membayangkan hasil akhir dari analisis ketiga modal tersebut. Bagaimana negosiasi-negosiasi yang dilakukan ketika persoalan teknis yang diciptakan seniman/musisi melalui ketiga modal tersebut tidak berjalan beriringan, masih menjadi pertanyaan bagi saya.

Bagian yang paling saya favoritkan dari buku ini adalah pembahasan mengenai ‘tubuh dan pikiran yang terpecah-terpecah’. Melalui sub-bab tersebut, ada dua hal pokok yang Machin sampaikan. Pertama, mengenai konvensi di dalam ekspresi penonton. Machin mengawali analisisnya dengan menceritakan pengalamannya ketika menonton salah satu musisi blues favoritnya. Machin terdiam dan dengan saksama menikmati pertunjukan tersebut. Sedangkan orang-orang di sekitarnya justru berdiri dan bergoyang sambil sesekali berteriak. Perlakuan Machin yang hanya diam, ternyata mengundang pertanyaan dari beberapa orang. Mereka mengkhawatirkan Machin yang tidak menikmati musik tersebut. Padahal jauh dari kata menikmati, Machin sudah terpesona dibuatnya. Hal inilah yang disebutnya sebagai ‘tubuh dan pikiran terpecah’ yaitu tentang orang-orang yang diyakinkan bahwa ada cara yang benar dan salah untuk mengekspresikan kenikmatan musik sesuai dengan genrenya. Perlakuan berbeda juga akan kita temukan jikalau kita menonton pertunjukan musik jenis lain, seperti musik klasik yang harus duduk dan diam atau musik rock yang membuat penontonnya jingkrak-jingkrak.

Dari hasil analisisnya, Machin menemukan bahwa hal tersebut berawal dari dikotomi antara alam dan budaya serta hubungannya dengan perasaan dan akal. Hubungan tersebut melahirkan dua kutub yang saling bertentangan yaitu, antara pikiran dengan kecerdasan, dan tubuh dengan perasaan. Ini juga yang menyebabkan mengapa ada dua cara yang berbeda dalam menikmati musik, mendengarkan dengan pikiran dan mendengarkan dengan tubuh. Secara lebih lanjut kedua cara tersebut juga menggambarkan strata dan kelas pemiliknya. Semisal, gagasan bahwa ‘musik tubuh’ bebas dari pembatasan kecerdasan dan budaya tinggi telah menempatkan orang-orang pemilik musik tersebut di dalam klasifikasi kelas bawah.

Kedua adalah persoalan rasial di dalam musik sebagai hasil dari musik pikiran dan musik tubuh. Di Barat, budaya musik kulit hitam umumnya dipandang sebagai musik tubuh yaitu musik yang penuh dengan ekspresi sensual yang intuitif dan instingtif. Beberapa orang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Namun, bagi Machin ini adalah sebuah keanehan, mengenai peran khusus—musik tubuh—yang diberikan pada musik kulit hitam dan Afrika. Pasalnya, secara teknis tidak ada bukti khusus di dalam musik kulit hitam yang dikaitkan dengan tubuh. Fitur-fitur pada musik kulit hitam juga lazim ditemui di dalam musik folk di Eropa. Alhasil Machin menyimpulkan bahwa hal tersebut seperti ruang kosong yang dipersiapkan untuk ekspresi budaya kulit hitam dalam hierarki kreativitas. Yakni, hierarki yang mengidentifikasikan bahwa orang kulit hitam menggunakan tubuh, sedangkan orang kulit putih menggunakan pikiran. Ia juga kerap mendengar pernyataan dari musisi kulit putih yang mengatakan bahwa, “mereka hanya bisa meniru seorang musisi kulit hitam, tetapi tidak pernah benar-benar bermain seperti mereka, kecuali mereka sendiri berkulit hitam.” Musisi kulit putih tersebut menganggap pernyataannya bukan rasis tetapi sebagai rasa hormat kepada musisi kulit hitam. Saya juga mulai berpikir, “jangan-jangan ini justru rasisme yang dibungkus di dalam bentuk penghormatan.”

Selain kedua poin tersebut, masih banyak poin menarik yang bisa ditemukan. Saya pribadi sangat menikmati buku ini. Machin menuliskannya dengan bahasa yang sederhana, isinya padat, poinnya terstruktur, sehingga mudah diikuti dan dipahami. Selain itu, bahasan di dalam buku ini juga kental dengan pembahasan text musik. Bagi pembaca yang ingin mengasah pemahamannya setelah membaca, Machin juga sudah menyediakan ‘Activity’, semacam kolom latihan di bagian akhir pada tiap-tiap bab. Melihat bahasan di dalamnya, sudah sewajarnya buku ini berada di daftar bacaan pengkaji musik popular dan pengkaji musik pada umumnya.[]

Judul: Analysing Popular Music: Image, Sound, Text
Penulis: David Machin
Penerbit: Sage Publication

Bahasa: Inggris
Tahun: 2010
Halaman: 229 Halaman