(Foto: Instagram Royal Rumble Studio/@royalrumblestudio)

Jika sepuluh tahun silam pertunjukan dangdut di Yogyakarta niscaya menampilkan biduan seksi dengan goyang yang menggoda, maka tontonan macam itu tidak lagi saya dapatkan ketika menyaksikan konser dangdut di PKKH UGM, Yogyakarta, pada kamis, 23 Januari 2020. Adalah konser “Merangkai Kisah”, sebuah konser dangdut persembahan dari komunitas musisi dangdut bernama Royal Rumble Studio. Studio rekaman independen yang sekaligus komunitas ini terdiri dari enam grup yang didominasi genre dangdut, seperti: OM Wawes, Guyon Waton, Klenik Genk, Longfly, Duo Garangan, dan Ngatmo Mbilung. Beberapa di antaranya adalah nama grup dangdut asal Yogyakarta yang tidak asing dan telah melintang di level nasional. Keenam grup inilah yang kemudian tampil dan menghibur para penonton, selain itu mereka juga turut menampilkan sumbangsih komunitas tersebut untuk genre dangdut di Yogyakarta ataupun Indonesia.

Pada konser tersebut, perbedaan demi perbedaan signifikan terlihat, di antaranya adalah tidak adanya lagi biduan perempuan bernyanyi dan goyang sensual di dalam konser tersebut.

Padahal, pertunjukan musik dangdut lazimnya tidak pernah absen dari kehadiran para biduan perempuan. Sedangkan di konser tersebut, keseluruhan penampil justru menampilkan biduan laki-laki. Tadinya saya sempat mengira bahwa konser akan sepi penonton, tetapi saya keliru, arena pertunjukan justru penuh sesak dengan penonton. Hal yang membuat saya semakin gumun, deretan penonton konser ini justru didominasi oleh generasi muda, baik laki-laki ataupun perempuan. Bahkan penonton di bagian depan panggung mayoritas berjenis kelamin perempuan. Mereka berani untuk berbaur dengan penonton laki-laki, baik muda ataupun dewasa. Pemandangan yang tidak pernah saya saksikan di pentas dangdut koplo atau dangdut di Yogyakarta, di mana penonton lebih didominasi oleh laki-laki dan berusia dewasa, sementara keberadaan penonton perempuan yang berdiri di depan panggung jarang kita temui.

Kontur penonton yang kontras dengan pertunjukan dangdut lawas ini tentu menarik. Namun kekontrasan ini tidak saya maksudkan untuk menunjukkan adanya kelas yang berbeda dalam musik dangdut, bagi saya soal kelas di genre dangdut adalah konstruksi—jika tidak percaya baca tulisan saya mengenai mitos kelas dangdut di sini. Hal yang lebih menarik bagi saya adalah apa yang membuat konser dangdut Royal Rumble Studio menjadi diminati. Lebih jelasnya, apakah perubahan yang mereka usung dan tawarkan pada musik dangdut? Apakah perubahan tersebut terasa pada konser “Merangkai Kisah”?

Merangkai Kisah” adalah Semangat Kebersamaan

Sebelum acara dimulai, saya memilih bertahan beberapa saat di luar arena panggung. Saya menemukan anak-anak muda sliweran, satu-persatu berdatangan, bersama kawan ataupun pasangan. Dandanan mereka necis nan trendi, aroma mereka wangi, dan cara tutur mereka asyik. Mereka antre untuk menukarkan tiket dan masuk ke arena pertunjukan dengan tertib. Tidak ada lagi penonton yang menunggu jebolan pintu masuk. Pun ketika pertunjukan dimulai, di hadapan sebuah panggung mereka tidak lagi malu bernyanyi dangdut. Mereka merapal kata demi kata dengan lantang, sesekali mereka menutup mata sambil menikmati dendang patah hati. Suaranya menggema ke seluruh ruang, membuat bulu kuduk saya bergidik sesekali.

Tiada kata lain selain sukses untuk konser perdana dari Royal Rumble Studio. Mereka telah menyajikan sebuah konser musik dangdut yang menarik dan berbeda dari pentas dangdut pada umumnya. Pada konser tersebut, grup yang tampil tidaklah sedikit, enam grup. Ingat, enam grup, bukan enam biduan dengan satu orkes melayu! Tidak hanya itu, hampir keseluruhan grup menyanyikan lagu ciptaan mereka sendiri. Hal yang menarik, urutan penampil tidak didasarkan pada jumlah penggemar terbanyak, melainkan dilakukan dengan cara acak bak kocokan arisan. Lantas kocokan tersebut menghasilkan urutan sebagai berikut: Duo Garangan, Longfly, OM Wawes, Ngatmo Mbilung, Guyon Waton, dan Klenik Genk.

Atas hasil “kurasi” tersebut, sayup-sayup terdengar dari penonton yang menyayangkan akan posisi tersebut. Penonton berekspektasi bahwa OM Wawes atau Guyon Watonlah yang akan bermain di urutan akhir. Pada awalnya saya juga berpikir sama. Pasalnya tidak semua grup memiliki basis penggemar yang sama, sehingga harapan grup tertentu menjadi penutup konser akan selalu ada. Komentar penonton tentu sah-sah saja, tetapi dari proses kocokan tersebut, saya justru melihat kedewasaan Royal Rumble Studio sebagai komunitas. Lebih lanjut, konser “Merangkai Kisah” bukanlah konser perorangan atau grup tertentu, melainkan konser yang dibuat secara-dari-dan untuk mereka. Alhasil, konser dibuat bukan untuk menunjukkan siapa yang terkuat di antara mereka, tetapi sebaliknya, yakni dengan bersama mereka menjadi kuat. Ini prinsip!

Terlebih jika kita telusuri lebih dalam, keenam grup di bawah Royal Rumble Studio memiliki musikalitas yang berbeda satu sama lain. OM Wawes dengan dangdut eksploratifnya, Guyon Waton dengan dangdut akustik, Longfly dengan dangdut rap dan elektroniknya, Klenik Genk dengan congdut (keroncong dangdut) dan koplonya, Duo Garangan dengan dangdut humor, sedangkan Ngatmbo Mbilung dengan musik akustik—tanpa dangdut. Perbedaan ini tentu menjadi keistimewaan tersendiri untuk Royal Rumble Studio, di mana kehadiran mereka tidak hanya untuk meramaikan pasar dangdut, melainkan memberikan tawaran yang beragam soal dangdut. Alhasil di dalam konser tersebut, penonton disajikan lagu patah hati dengan musikalitas yang beragam.

Sebagaimana konser bersama, konser ini membuat keputusan yang menarik, di mana setiap grup wajib membawakan satu lagu dari grup lainnya, semisal Ngatmo Mbilung yang membawakan lagu “Penak Konco”, dan lain seterusnya. Hal ini tentu menarik karena lagu yang dibawakan oleh grup lain akan diaransemen sesuai dengan gaya si grup penyaji. Saling silang lagu ini kiranya membantu memangkas jarak jumlah penggemar antara satu dengan yang lain, pasalnya saya mendapati bahwa ketika Klenik Genk membawakan lagu Guyon Waton, ataupun Ngatmo Mbilung membawakan lagu OM Wawes dan Guyon Waton, semua penonton dapat menyanyikannya secara bersama-sama, terlepas dari genre apa yang mereka usung.

Selain itu, konser juga tidak dihadirkan laiknya pentas dangdut pada umumnya, di mana pada konser tersebut, Royal Rumble Studio membagi konser ke dalam dua segmen. Pembagian segmen ini juga dibuat agar basis penonton tetap terjaga di arena konser. Segmen pertama adalah penampilan masing-masing grup yang membawakan tidak lebih dari tiga lagu. Pada segmen pertama setiap grup menampilkan musikalitas mereka masing-masing. Sedangkan di segmen kedua beberapa grup, seperti: OM Wawes, Guyon Waton, dan Klenik Genk berkolaborasi dengan YK Brass Ensemble. Tidak hanya itu, pada penutup konser, keenam grup menaiki panggung untuk menyanyikan lagu yang mereka ciptakan secara bersama-sama, “Merangkai Kisah”.

Kolaborasi tersebut kiranya membuat konser ini semakin menarik secara bunyi dan visual, tetapi sangat disayangkan tingkat kolaborasi tersebut tidak semuanya bertaji. Di mana di salah satu grup, semisal OM Wawes yang menjadi sangat garang dan megah secara musikalitas dengan adanya kolaborasi, tetapi di grup lain, porsi kolaborasi tidak terlalu kuat. Namun kolaborasi ini patut diapresiasi baik, bukan karena mereka yang pertama berkolaborasi secara penuh dengan kelompok Brass, melainkan mereka telah berani mengeksplorasi dangdut sedemikian rupa. Keberanian dan eksplorasi ini niscaya memberikan pengaruh pada musik dangdut Indonesia.

Tidak hanya secara musikalitas dan tema lagu patah hati, Royal Rumble Studio juga menyulap konser tersebut menjadi konser dangdut yang akrab dan digemari anak muda. Mulai dengan lorong dan tembok bergambar di pintu masuk; tembok komentar untuk penonton; photo booth; bilik souvenir; hingga artistik panggung yang kaya dengan visual. Pada sepanjang konser, penonton disajikan video mapping di latar belakang panggung yang menarik. Sebagai visual jockey, Zuhan dengan apik memberikan visual representatif pada setiap grup. Tidak hanya itu, visual antar grup dihadirkan berbeda satu sama lain. Alhasil, para millenial tidak hanya dipuaskan secara aural, tetapi juga secara visual. Dengan begitu, anak-anak muda yang gemar melakukan selfie sangat terakomodasi.

Namun di luar keberhasilan yang dicapai, terdapat catatan kecil dari penyelenggaraan konser tersebut. Walaupun konser berjalan tanpa gangguan yang berarti, pergantian antar penampil cukup memakan waktu. Fungsi dari bumper atau video yang dimaksudkan untuk meretas waktu para crew yang menyiapkan panggung tidak berjalan dengan semestinya, audio dari video tidak balance, sehingga penonton tidak mendengar jelas apa yang dikatakan setiap grup di dalam video. Alhasil percakapan video yang tidak kalah penting justru tidak tersampaikan dengan baik. Entah minimnya waktu pembuatan atau alasan lainnya, tetapi suara di dalam video semestinya balance. Tidak hanya itu, saya juga menjadi curiga terkait kurangnya pertimbangan panitia akan daya penguat suara dengan akustik ruang yang rentan menggema a la PKKH. Kendati demikian, Royal Rumble Studio dan tim belakang layar patut diapresiasi lebih karena mewujudkan konser dangdut milenial yang memesona. Kerja sama antarlini, baik grup penampil hingga pekerja belakang layar adalah bukti bahwa konser “Merangkai Kisah” adalah hasil dari semangat dan kebersamaan.

Tidak Hanya Perayaan Melainkan Pernyataan

Tidak ada konser dangdut serupa yang dibuat oleh komunitas dangdut atau panggung lainnya. Menurut hemat saya, Royal Rumble Studio—enam grup di dalamnya—terlalu berani, atau lebih cocok dengan terma, nekat. Pasalnya konser perdana ini adalah satu-satunya konser dangdut yang dihelat secara mandiri. Di mana mereka mengelola konser sendiri tanpa penyokong dana besar ataupun pihak ketiga yang membantu mereka secara penuh. Tentu hal ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam lanskap musik dangdut. Pasalnya studio rekaman mayor label—khususnya dangdut—kerap pentas jika disokong oleh sponsor besar tertentu. Selain itu, pentas dangdut selalu berbahan bakar tanggapan. Singkat kata, orkes melayu atau grup dangdut tertentu pentas karena jasa mereka disewa oleh EO atau pemilik modal tertentu.

Sedangkan pada konser “Merangkai Kisah”, mereka justru memulai segala sesuatunya dari ketiadaan. Bahkan dana awal dari konser mereka berasal dari tabungan para grup di dalamnya. Baru setelahnya pemasukan mulai mereka terima dari donatur, pembelian tiket, dan lain sebagainya. Tentu hal ini tidak dimaksudkan untuk membedakan mana yang lebih baik antara konser dangdut lazimnya dengan konser “Merangkai Kisah”, hal yang lebih menarik justru apa yang menjadi bahan bakar Royal Rumble Studio menciptakan konser. Usut punya usut, bahan bakar mereka adalah kesadaran dan semangat kebersamaan dari grup musik di dalamnya. Memang utopis sekali ketika saya menyadarinya, tetapi berlangsungnya konser tersebut membuat saya percaya bahwa keuntungan finansial bukan hasil akhir yang mereka kejar, melainkan sebuah perayaan akan kebersamaan, persis dengan lagu kolaborasi mereka, “Merangkai Kisah”.

Dengan semangat kebersamaan dan jalan mandiri tersebut, pun mereka mendapatkan privilese lebih, yakni kebebasan dan kemerdekaan akan bagaimana konser dihadirkan. Mereka dapat mengatur segala sesuatunya sendiri tanpa intervensi dari pihak lain yang hanya peduli soal balik modal atau keuntungan. Pertunjukan dapat mereka sajikan sesuai kehendak penyelenggara dan dibuat hanya untuk memuaskan penggemar mereka. Maka bagi saya, kesadaran komunitas Royal Rumble Studio atas konser ini mahal harganya—terlebih kita sama-sama tahu bahwa jadwal pentas grup di dalamnya padat. Lantas dengan semangat tersebut, sebuah konser mereka buat untuk merayakan keberagaman sekaligus kebersamaan mereka.

Bertolak dari konser “Merangkai Kisah”, saya merasakan beberapa hal: Pertama, dengan mendatangi konser tersebut, saya paham alasan milenial menyukai grup-grup tersebut, di mana selain lagu patah hati, grup-grup ini memberikan musikalitas dangdut yang kaya dan variatif, serta performativitas yang menarik dan representatif. Kedua, saya merasa bahwa konser dangdut ini tidak dibuat untuk sebatas perayaan, melainkan sebagai pernyataan, di mana komunitas yang terdiri dari enam grup dangdut berbeda musikalitas bernama Royal Rumble Studio ini tidak hanya hadir mewarnai musik dangdut, tetapi mereka memang ingin berkontribusi menawarkan perubahan pada musik dangdut Indonesia. Apakah mungkin terjadi? Perubahan itu barangkali sudah berlangsung ketika anda mulai menghafal lagu “Tetep Neng Ati”, “Penak Konco”, atau “Korban Janji”.[]