(Desain: @candraniyulis; Sumber Gambar: Hozier)
Saya ingin berterimakasih kepada musisi asal Irlandia, Hozier, sebab karenanya saya jadi menghabiskan berjam-jam mencari tahu mengenai siapa Nina di dalam lagunya yang berjudul “Nina Cried Power” dan mengapa namanya disebut berulang kali seperti mantra dalam sebuah ritual, yang menuntun saya untuk menciptakan tulisan ini. Tetapi sejujurnya, kita mestinya lebih berterima kasih kepada Nina dan nama-nama yang berulang kali disebut dalam lagu ini.
Hozier merilis lagu “Nina Cried Power” (secara harfiah berarti Nina Meneriakkan Kekuatan) sebagai sebuah ekspresi untuk menunjukkan upaya kebangkitan dari keterpurukan atau penindasan. Namun secara maknawi, frasa ini ditujukan untuk menghormati lagu Nina Simone, “Sinnerman”, pada tahun 2018 dan menggaet musisi perempuan legendaris Amerika Serikat, Mavis Staples. Hozier menulis lagu tersebut dan menyajikannya dengan luar biasa. Akan tetapi fokus kita akan lebih tertuju kepada makna di balik lagu serta pemilihan musisi kolaborasi yaitu Mavis Staple.
Dalam lagu ini, Hozier mengenang jasa dan perjuangan para seniman khususnya musisi kulit hitam. Secara terbuka, dalam sebuah wawancara dengan Billboard, musisi Irlandia ini mendedikasikan lagunya untuk mengenang warisan dan sebagai ucapan terimakasih bagi mereka yang memprotes.
Menilik judul tulisan ini, muncul pertanyaan bagaimana lagu bisa menjadi sebuah “senjata”. Novelis George Elliot mengklaim bahwa musik menyuntikkan energi ke tubuhnya dan gagasan ke otaknya. Metafor ini dibuktikan oleh sebuah studi yang mengungkapkan bahwa mendengarkan musik dengan karakter tertentu dapat membangkitkan rasa yang selaras di dalam tubuh dan psikologi seseorang. Dalam studi saintifik ini, dibuktikan bahwa musik dengan lirik yang kuat dan aransemen bass keras sangat mempengaruhi intensitas kekuatan dan keberanian yang seseorang rasakan (Hsu, Li , Nordgren, Rucker, & Galinsky, 2015).
Alih-alih menyuntikkan kebahagiaan atau kegembiraan, beberapa komposer lagu dan musisi memilih untuk membangkitkan kegelisahan dan kesedihan akan ketidakadilan serta penindasan dengan lagu-lagu mereka. Pengaruh musik akan lebih kuat ketika pesan yang dibawanya seolah menggelitik penikmatnya. Begitulah bagaimana saya memandang lagu – perpaduan antara dua hal paling kuat di dunia yaitu musik dan sajak – bisa digunakan sebagai alat melawan. Hipotesis saya kurang lebih bisa dibuktikan oleh fakta-fakta berikut; (a) lagu Bella Ciao yang merupakan lagu rakyat Italia melawan fasisme kembali dinyanyikan di demonstrasi-demonstrasi massa masa kini melawan sistem pemerintahan di berbagai negara; (b) lagu himne penyemangat dimainkan oleh Abraham Lincoln untuk menciutkan nyali pasukan pemberontak Selatan saat Perang Sipil Amerika; dan (c) lagu kebangsaan selalu dimainkan sebelum pertandingan olahraga untuk membangkitkan semangat para atlet. Lagu seakan menjadi senjata melawan ketakutan dan intimidasi, dan merupakan simbol dari harapan dan keberanian.
Sekarang, saatnya membahas para pejuang-pejuang bersenjatakan lagu ini.
Mavis Staples–lahir di negara bagian Chicago, Amerika Serikat pada 10 Juli 1939–adalah seorang penyanyi genre Gospel (lagu umat Kristiani), Rhythm and Blues atau R&B, Soul (musik yang lahir dari musisi-musisi Afrika-Amerika), dan Americana (musik perpaduan berbagai kebudayaan di Amerika Serikat). Dia dan keluarganya terkenal berkat grup music mereka yaitu The Staple Singers yang didirikan oleh ayah Mavis.
Awal dari keterlibatan Mavis dalam perjuangan hak sipil khususnya untuk masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat adalah ketika grup The Staple Singers mendengarkan pidato Martin Luther King Jr. mengenai perjuangan kulit hitam melawan sentimen antirasisme pada masa-masa diskriminasi ras terberat di Amerika Serikat tahun ’50-an hingga ’70-an dan terbersit ide dari ayah Mavis bahwa apabila Luther King Jr. bisa mengkhotbahkannya, maka ia bisa menyanyikannya.
Bahkan ketika Mavis merupakan satu-satunya anggota grup yang masih aktif, lagu-lagunya tetap mencerminkan kekukuhan hati dalam menghadapi diskriminasi yang kelompoknya rasakan. Salah satu pesan paling kuat yang ia coba sajikan adalah melalui lagunya “If All I Was Was Black” yang liriknya berbunyi;
“…If all I was was black, looking at you, you might look past… If all I was was black, don’t you wanna know me more than that…”.
Lagu ini menjelaskan tentang kekecewaan komunitas kulit hitam akan cara masyarakat lain memandang mereka dengan sempit berdasarkan warna kulit dan mengabaikan aspek-aspek meritokrasi atau kepribadian sebagai seorang manusia.
Mavis bersikeras untuk tetap bernyanyi selama kefanatikan dan kebencian ini masih tetap ada, sambil merujuk kepada berkembangnya sentimen rasisme yang dipelopori oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Lagu-lagu yang Mavis dan keluarganya nyanyikan merupakan “musik latar bagi pergerakan hak sipil” bagi komunitas kulit hitam di Amerika Serikat pada tahun ’50-an dan ’60-an.
Selain Mavis Staples, Hozier menyebutkan Nina (Nina Simone) serta Curtis (Curtis Mayfield) dalam lagu “Nina Cried Power” ini–Nina Simone bahkan menjadi judul dari karya yang kuat dan dalam ini.
Meskipun menjalani kehidupan yang berat, Nina Simone, nama panggung dari Eunice Waymon yang lahir pada 1933 di North Carolina, Amerika Serikat, berhasil mengangkat dirinya ke panggung skena Jazz di Amerika Serikat dalam usia sangat muda. Simone mengklaim bahwa kemarahan dan kegelisahannya terhadap rasisme dituangkannya dalam lagu “Missisipi Goddam”, yang selanjutnya akan membuatnya diboikot oleh musik industri karena membawa persoalan yang kontroversial pada masa itu.
Curtis Mayfield dikenang sebagai seorang musisi Gospel, Soul, dan R&B yang luar biasa sejalan dengan citranya sebagai aktivis perjuangan hak sipil kulit hitam (BBC, 1999). Mayfield tidak memandang musik sebagai buah dari karir dan kesuksesan, akan tetapi sebagai misinya dalam kehidupan untuk menyentuh orang-orang tentang kemanusiaan dan pesan sosial, khususnya mengenai ketidakadilan atas masyarakat kulit hitam.
Tokoh-tokoh di atas bersanding dengan banyak nama lain dalam lagu “Nina Cried Power”. Ada satu kesamaan dari sekian banyak nama dan kisah yang mereka bawa sendiri-sendiri; kegelisahan saat berada di dalam sistem yang menekan kaum kulit hitam.
“It’s not the waking, it’s the rising
It is the grounding of a foot uncompromising
It’s not forgoing of the lie
It’s not the opening of eyes
It’s not the waking, it’s the rising”
…..
“And I could cry power
Power has been cried by those stronger than me
Straight into the face that tells you to
Rattle your chains if you love being free”
Kapasitas penulisan lirik Hozier, secara objektif, benar-benar terasa jumawa di lagu ini.
Interpretasi dari lagu ini menjurus kepada satu poin; persuasi untuk bertindak. Meniti karir sebagai seorang kulit hitam di sebuah sistem yang menjunjung tinggi rasisme tentu bukan merupakan hal yang mudah dijalani. Tidak dahulu, tidak pula sekarang. Inilah yang hendak digarisbawahi Hozier melalui karyanya. Tampaknya inilah permasalahan yang, sayangnya, cocok kita bahas di segala periode sejarah Amerika Serikat; rasisme.
Seniman-seniman ini berpikir bagaimana caranya supaya lagu yang mereka nyanyikan bukan sekadar urutan nada yang mendatangkan kebahagiaan. Sebaliknya, mereka mencoba menyelipkan kenyataan yang memicu rasa takut dan kekhawatiran.
Yang harus kita lakukan hanyalah menyambut uluran “senjata” ini. Mari menengok ada cerita apa di balik lagu-lagu yang biasa kita dengarkan sembari memasak, berkebun, atau mungkin berkendara pulang dari kantor. Bisa saja ada sejarah penindasan sebuah kaum, cerita peperangan, kebencian, dan teriakan minta tolong yang kita abaikan sebab kita terlalu fokus kepada indah irama dan nada.[]
Referensi
BBC. (1999). Soul icon Curtis Mayfield dies. BBC News.
Clark, L. S. (2018, November 1). Hozier’s ‘Nina Cried Power’ addresses cultural appropriation and spirit of protest. Retrieved from The Daily Californian: https://www.dailycal.org/2018/11/01/hozier-nina-cried-power/
Dwyer, M. (2020, March 6). ‘The bigotry, it’s alive’: Mavis Staples on America’s shame. Retrieved from The Sydney Morning Herald: https://www.smh.com.au/culture/music/the-bigotry-it-s-alive-mavis-staples-on-america-s-shame-20200302-p54649.html
Hsu, D. Y., Li , H., Nordgren, L. F., Rucker, D. D., & Galinsky, A. D. (2015). The Music of Power: Perceptual and Behavioral Consequences of Powerful Music. The Music of Power: Perceptual and Behavioral Consequences of Powerful Music. SAGE.
Rogers, J. (2017, November 30). Mavis Staples: ‘All that progress we made – and now we have a liar in the White House’. Retrieved from The Guardian: https://www.theguardian.com/music/2017/nov/30/mavis-staples-a-life-in-music-arcade-fire-mahalia-jackson-prince
Ryan, J. (2020, April 16). From Civil Rights To Coronavirus, We’re ‘All In It Together’: Mavis Staples On New Single. Retrieved from Forbes: https://www.forbes.com/sites/jimryan1/2020/04/16/from-civil-rights-to-coronavirus-were-all-in-it-togethermavis-staples-on-new-single/#5cfb6ed07d4f
Thurber, J. (1999, December 27). Curtis Mayfield; R&B; Songwriter, Singer, Guitarist With Gospel Roots. Retrieved from The Los Angeles Times: https://www.latimes.com/archives/la-xpm-1999-dec-27-mn-48071-story.html
Nuvaisa Ayu Shabrina adalah mahasiswa Hubungan Internasional UGM. Selain menulis, ia juga hobi menonton film dan membuat sketsa.