(Ilustrator: @aberiot)
Didi Kempot atau yang dikenal sebagai “Lord of Broken Heart” berpulang pada tanggal 5 Mei 2020. Ia mengembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Kasih Ibu Solo karena jantungnya berhenti mendadak. Itulah diagnosa dokter yang menanganinya. Padahal beberapa hari sebelumnya, Didi Kempot masih aktif memproduksi lagu—seperti “Ojo Mudik” ataupun “Kapusan Janji” yang berduet dengan Yuni Shara—dan menggalang konser amal sebagai aksi solidaritas untuk masyarakat di saat pandemi ini. Kepergiannya yang mendadak itu tentu saja mengagetkan pelbagai kalangan dan meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi pihak keluarga serta sobat ambyar di mana pun berada.
Jika menilik perjalanannya, tidak dapat dimungkiri bahwa setahun belakangan nama dari “Bapak Patah Hati” ini kembali meroket. Dampaknya pelbagai kalangan berlomba-lomba menyelenggarakan pentas musik dengan Didi Kempot sebagai bintang tamu, mulai dari acara korporat hingga pentas seni anak muda. Hal ini tidak mengagetkan, pasalnya banyak alasan mengapa Didi Kempot pantas mendapatkan popularitasnya kembali. Pengamat musik, Bens Leo mengungkap bahwa ia adalah sosok yang lengkap, baik sebagai pencipta lagu sekaligus penyanyi. Selain menciptakan lirik yang merepresentasikan patah hati, ia juga mempunyai daya interpretasi yang kuat dalam melantunkan lirik demi lirik tersebut. Didi juga terus “menanam” (baca: membuat karya) tanpa berhenti hingga akhir hayatnya.
Tidak hanya itu, bahkan Ilham Khoiri—editor humaniora Harian Kompas—menyebut bahwa Didi Kempot secara tidak sengaja telah menyatukan kelompok 01 dan 02 yang terbelah pada Pilpres 2019. Lebih lanjut, Didi Kempot menjadi sosok pemersatu dari friksi sosial masyarakat kita yang memanas setahun silam. Selain itu, Didi Kempot juga mempunyai andil besar dalam lanskap musik Indonesia. Pengamat musik, Joko S. Gombloh mengatakan bahwa Didi Kempot telah mengubah peta musik menjadi lebih egaliter. Melalui lagu-lagunya, Didi Kempot telah mengubah itu semua.
Lantas bagaimana masa depan perubahan yang telah dilakukan oleh Didi Kempot? Bagaimana nasib lagu “ambyar” setelah Didi Kempot berpulang? Bagaimana lagu-lagu Didi Kempot harus disikapi? Bagaimana masa depan lagu “ambyar” setelah Didi Kempot berpulang?
Lagu “Ambyar” Berbahasa Jawa Akan Terus Ada
Terdapat dua hal penting yang dibahas jika kita menyoal nasib lagu “ambyar” setelah Didi Kempot berpulang. Pertama, lagu-lagu dari Didi Kempot; kedua, lagu ciptaan baru yang bertema “ambyar”. Dua hal inilah yang menjadi penting dibahas dalam mempertanyakan masa depan dari lagu “ambyar”. Tidak dapat dimungkiri jika arah persoalan pertama adalah hak cipta—juga diungkap oleh Bens Leo (pengamat musik) dan Gofar Hilman (influencer). Lebih lanjut, hak cipta yang dipersoalkan bukan ihwal bajakan atau produksi mandiri—terlebih Didi Kempot telah masuk ke label rekaman di Jakarta sejak album pertamanya, melainkan ihwal izin penggunaan lagu. Sebelum berpulang, Didi juga mengeluhkan hal serupa di mana banyak penyanyi yang tidak meminta izin kepadanya. Singkat kata, mendiang Didi menginginkan adanya etika dalam penggunaan lagu-lagunya. Lantas bagaimana etika itu dilakukan setelah Didi Kempot berpulang? Tentu etika tersebut bisa diajukan dengan cara berkonsultasi dengan pihak keluarga dan manajemen. Namun di sisi lain, pihak manajemen Didi Kempot perlu memikirkan mekanisme yang strategis agar tidak merugikan pihaknya ataupun mempersulit pengguna lagu. Hal tersebut memang terkesan ideal, tetapi langkah ini perlu dilakukan guna menghormati sosok Didi Kempot dan sebagai upaya untuk merawat semangatnya dalam bermusik.
Sementara itu, persoalan kedua menjadi menarik karena banyaknya pertanyaan lumrah yang kerap terdengar “siapakah yang akan menggantikan Didi Kempot?” Maka “tidak akan terganti” adalah jawaban lazim dari pertanyaan tersebut. Alih-alih berhenti sampai di situ, pertanyaan mengenai masa depan lagu “ambyar” justru lebih menarik. Pasalnya lagu Didi Kempot bukan hanya soal patah hati, melainkan soal merayakan kesedihan dengan adagium tenarnya, “patah hati mending dijogeti”. Lantas, apakah upaya Didi Kempot akan runtuh bersamaan dengan kepergiannya? Kecemasan tersebut pun segera usang, karena Didi Kempot ternyata tidak hanya menyanyi untuk dirinya, melainkan juga menstimulasi musisi muda untuk mengikuti jejaknya. Mendiang Didi Kempot—secara tidak langsung—juga menyiapkan generasi-generasi penerus untuk melanjutkan tongkat estafet yang telah ia kerjakan. Berulang kali Didi Kempot selalu menyerukan, “mimpi saya, anak-anak muda nyanyi lagu tradisional, lagu Jawa dikendangi, ora isin [tidak malu] nonton, sekarang alhamdulillah anak muda bisa menerima lagu tradisional.” Hal ini tentu menarik karena mendiang Didi Kempot juga menaruh perhatian pada ihwal regenerasi.
Dalam keberlangsungannya, terdapat dua skema yang dilakukan Didi Kempot atas regenerasi penyanyi lagu “ambyar”. Dalam memudahkan ilustrasi, saya merujuk epos Mahabharata atas cerita guru Drona dengan murid terbaik panahnya, Arjuna dan Ekalaya. Arjuna merupakan murid yang diajarkan secara langsung oleh Guru Drona, sedangkan Ekalaya merupakan “murid” yang mempelajari teknik memanah guru Drona tidak secara langsung. Dari ilustrasi tersebut, Arjuna merepresentasikan anak-anak muda yang dekat dengan Didi Kempot dan belajar darinya—entah menemani, mengiringinya menyanyi, atau bercengkerama— secara langsung. Mereka didorong dengan cara diizinkan menyanyikan lagu ataupun berkolaborasi dengan mendiang Didi Kempot, semisal Dory Harsa—pemain kendang Didi Kempot—yang berkolaborasi dengan mendiang dalam menyanyikan “Kangen Nickerie, ataupun menyanyikan ulang lagu “Ninggal Tatu”; Agung Jondil—keyboardis dari Didi Kempot—yang menyanyikan ulang lagu “Piring Pecah”; Arda yang dibuatkan lagu secara khusus oleh Didi Kempot yang bertajuk “Tatu”, “Kagem Ibu”, dan “Tulung”, serta lain sebagainya.
Berbeda dengan “Arjuna”, ilustrasi Ekalaya merepresentasikan anak-anak muda yang membuat lagu baru bertema patah hati dengan referensi utama lagu-lagu Didi Kempot. Mereka tidak berkenaan langsung dengan sosok Didi Kempot, melainkan bersinggungan dengan karya Didi Kempot. Hal yang menarik, para “Ekalaya” ini justru menciptakan lagu baru bertema patah hati berbahasa Jawa dengan prinsip yang sama “patah hati mending dijogeti”. Selain itu, referensi genre musik yang ditempuh juga tidak jauh berbeda, jika Didi Kempot membawakan Campursari dan Congdut, maka para “Ekalaya” ini mengekspresikan diri melalui genre dangdut Jawa. Mereka adalah OM Wawes, Guyon Waton, Ndarboy Genk, NDX Aka, Denny Caknan, dan biduan lanang [laki-laki] lainnya.
Hal yang menjadi pertanyaan, bagaimana cara kita mengetahui bahwa mereka memang terinspirasi dari Didi Kempot? Apakah jangan-jangan mereka hanya memanfaatkan momen? Usut punya usut, mereka yang mengakui Didi Kempot sebagai inspirasi memang telah menggemari sang legenda sejak dulu. Semisal OM Wawes yang mengunggah lagu “Cidro” dengan tambahan rap di Soundcloud pada tahun 2011, awal karier mereka. Di saat yang sama, Gaseng—vokalis OM Wawes—juga mengatakan bahwa dalam bermusik dangdut, referensinya bukan penyanyi dangdut era lama, melainkan Didi Kempot; Guyon Waton yang juga pertama kali dikenal karena mengover lagu Didi Kempot, “Layang Kangen”; Ndarboy Genk yang menciptakan lagu “Balungan Kere” dengan inspirasi lagu Didi Kempot; Denny Caknan yang terinspirasi dalam cara ungkap a la Didi Kempot; dan lain sebagainya. Singkat kata, lagu Didi Kempot lah yang menemani para musisi muda ini mengalami patah hati.
Alih-alih berlaku sama laiknya Guru Drona yang meminta Ekalaya untuk menghentikan langkahnya, Didi Kempot justru mendukung langkah dari para “Ekalaya” tersebut. Didi Kempot selalu merespons positif para musisi muda yang memproduksi lagu dangdut patah hati berbahasa Jawa. Pun ia tidak segan untuk melakukan kolaborasi di dalam pentas ataupun penciptaan lagu, semisal: kolaborasi lagu “Cidro” antara Didi Kempot dan NDX Aka. NDX Aka mengajukan penggarapan lagu tersebut dengan penambahan rap, dan Didi Kempot menyetujui hal tersebut. Namun, projek tersebut tidak terwujud karena Didi Kempot lebih dulu meninggalkan kita. Contoh lainnya adalah OM Wawes pada album barunya. Di mana semestinya Didi Kempot melakukan kolaborasi di salah satu lagu di album baru OM Wawes. Pada awalnya lagu tersebut sudah disiapkan oleh OM Wawes dengan musikalitas laiknya lagu-lagu dari Didi Kempot, tetapi Didi Kempot justru meminta revisi musik untuk disesuaikan dengan gaya OM Wawes. Namun janji kolaborasi di lagu pada album baru OM Wawes juga tidak terwujud karena sang legenda lebih dulu berpulang. Lebih lanjut, Didi Kempot dengan tangan terbuka merangkul para generasi muda untuk merawat semangat “ambyar” tersebut. Ia sadar bahwa mimpinya “anak muda menyanyikan lagu tradisional” memang dapat dimulai dengan langkah dukungan dan kolaborasi.
Bertolak dari hal ini, saya percaya bahwa masa depan lagu “ambyar” tidak akan usai dengan kepergian Sang Legenda. Di dalam konser “Senandung untuk Sang Legenda” pada tanggal 10 Mei yang lalu di YouTube, para musisi muda seperti, OM Wawes, Guyon Waton, dan Ndarboy Genk pun berikrar bahwa mereka akan meneruskan perjuangan Didi Kempot dengan melestarikan lagu tradisional Jawa [dalam hal ini dangdut Jawa]. Di dalam kesempatan yang lain, beberapa musisi dangdut Jawa lainnya juga menyatakan akan melanjutkan tongkat estafet dari menyenandungkan lagu “ambyar” ini. Namun kita tidak perlu berlebihan mengharapkan sosok siapakah yang akan menggantikan Didi Kempot. Pertanyaan ini terlalu klise dan “tidak terganti” sudah barang tentu menjadi jawaban. Sampai kapan pun. Maka dari itu, lebih baik kita mengubah terma “menggantikan” dengan “melanjutkan”, sehingga kita tidak terfokus pada sosok melainkan pada usaha. Biarlah mereka berusaha keras tanpa lelah, laiknya pelajaran yang telah Didi Kempot tunjukkan pada perjuangan musiknya di 30 tahun perjalanannya—konser semestinya dihelat pada bulan Juli, di mana sarat dengan konsistensi dan kokohnya prinsip dalam berkarya. Dengan begitu kita tidak perlu memutuskan siapa penggantinya, melainkan menaruh perhatian dan memastikan jika semangat “ambyar” Sang Legenda tidak putus ataupun pupus dimakan waktu.[]