Di ruang tengah rumah Laras dua meja panjang berjajar, sepuluh kursi yang mengitarinya baru terisi oleh tiga orang, satu gelas kopi menanti diminum. Hujan turun semakin deras, jam tangan menunjukkan angka 16.15, membawa dua kecemasan. Atap rumah yang sudah uzur seringkali membuat air hujan mengalir membasahi dinding-dinding rumah, membuat apa yang sudah lembab menjadi semakin lembab. Belum lagi jika air menghampar sampai ke lantai, menjadi genangan yang menyerupai peta negara-negara tanpa nama. Kecemasan yang kedua batal berkembang lebih jauh, karena peserta diskusi datang satu persatu. Pakaian dan alas kaki mereka basah.
Diskusi dimulai dengan perkenalan nama masing-masing peserta. Ada yang baru bertemu dan ada yang sudah bertahun-tahun saling mengenal. Selembar kertas berisi review hasil bacaan dikeluarkan dari masing-masing tas para peserta. Pembahasan atas hasil bacaan dimulai dengan pertanyaan siapa yang akan memulai. Lalu disambung tentang kisah bagaimana Adorno mengartikan musik popular. Memberinya pembeda dengan apa yang disebutnya sebagai musik serius; tentang bagaimana musik klasik hadir sebagai contoh yang dikontraskan dengan varian musik popular.
Disambung dengan bagaimana telah terjadi standardisasi[1] dalam pembuatan musik pop. Pengulangan-pengulangan formulasi dan skema struktur lagu. Membuat keseragaman yang seolah-olah berbeda, menghadirkan pseudo-individualization[2]. Satu persatu peserta mulai angkat bicara. Mengemukakan hasil bacaannya, dengan dibumbui perasaan yang sedikit jengkel karena tidak bisa sepenuhnya sepakat dengan apa yang dipaparkan Adorno.
Para peserta terperangah dengan kenyataan bahwa Adorno mengesankan semua musik yang pernah didengarkan oleh para peserta, jika dia telah melalui proses komodifikasi adalah tak ubahnya sebagai musik popular saja. Musik popular bukan semata persoalan struktur musik yang sederhana atau rumit. Adorno mengungkapkan dalam artikelnya bahwa musik Jazz pun dalam improvisasinya merupakan hal yang sudah ada skema pastinya. Hal ini tentu saja dibedakan dengan bagaimana instrumen-instrumen pada musik klasik menyusun iramanya.
Paparan tentang musik popular menggunakan metode plugging[3], menghadirkan imaji glamor, dan metode baby talk[4] diberikan. Hal ini membuat diskusi semakin memanas dan membuat kami semua lupa akan hujan turun. Musik popular dengan dengan waktu luang dan kebutuhan untuk hiburan. Musik popular dibaca oleh Adorno memiliki lima tahapan ketika ia sampai pada telinga pendengarnya. Yang adalah Vague remembrance (I must have heard this somewhere before), Actual identification (That’s it!), Subsumption by label (That’s the hit “Night and Day”!), Self-reflection and the act of recognition (This is something that I know. It belongs to me.), Psychological transfer of recognition-authority to the object (Damn it, “Night and Day” is a good one!)[5]
Diskusi memanjang seperti musim hujan di tahun ini. Ketidakpuasan dengan pembacaan Adorno terkait musik popular menyebabkan kami bersepakat untuk lebih jauh membaca artikel yang ditulis oleh Adorno yaitu, The Enlightenment as a Mass Deception, juga The Cultural Industry. Lebih jauh dari itu, kami bersepakat untuk melihat cara pandang yang lain terkait produksi seni pada masa kapitalisme lanjut ini dengan membaca artikel yang ditulis oleh Walter Benjamin, The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction.
Diskusi Klab studi pertama kali ini jauh melebihi ekspektasi Laras sebagai penyelenggara. Diskusi yang digelar terbatas dengan pendaftaran dan bersyarat ini rupanya mampu mempertemukan orang-orang yang penuh semangat dalam belajar. Membuat ruang diskusi yang tidak terpusat pada pengetahuan satu orang pemateri, membuat semua perserta mampu mengartikulasikan apa yang telah dibacanya. Diskusi ini diakhiri dengan kesepakatan untuk mengadakan pertemuan lagi pada pekan selanjutnya di hari yang sama dan tempat yang sama. Tapi rupanya pada hari yang ditentukan itu hujan turun lebih lebat dari pekan yang lalu, dan para peserta dihimpit oleh kesibukan pekerjaannya masing-masing.
[1] Theodor Adorno, On Popular Music (1941).
[2] ibid
[3] Usaha terus menerus merepetisi sebuah hits yang popular, menulis ulang, agar sama suksesnya. Usaha ini membentuk pendengar menjadi memeiliki kebiasaan mendengar yang terstandardisasi, terinstitusionalisasi. Untuk dapat menjadi plug, lagu harus memiliki suatu pembeda dari lagu2 yang lain, tapi sekaligus memeiliki sederet kesamaan dengan lagu-lagu yang lain juga
[4] Logika anak-anak dalam lagu populer, mengulang kata-kata, akord, dan nada.
[5] Theodor Adorno, On Popular Music (1941)