Haruki Murakami, novelis kenamaan asal Negeri Matahari Terbit kerap menempatkan musik sebagai fitur penting dalam tulisannya. Bahkan dua judul novel terlarisnya diambil dari dua judul lagu popular yakni “Norwegian Wood” (The Beatles) dan “South of the Border West of The Sun” (Nat King Cole).
Sebagai seorang pembaca tulen Murakami, anda tentu tidak asing dengan deretan repertoar lagu yang tertanam di tengah-tengah cerita. Sering kali adegan yang disajikan adalah protagonis nihilis sedang berada di apartemennya, mendengarkan musik jazz atau klasik sembari menyesap bir dingin atau melahap makanan yang baru saja matang.
Namun dalam buku Absolutely on Music (2016), tokoh nihilis Murakami sedang absen. Kali ini, sang novelis memperkenalkan selera musiknya kepada para pembacanya yang kebanyakan adalah generasi milenial.
Panggung ditempati oleh catatan perbincangan yang serius antara Murakami sebagai penikmat taat musik klasik dengan konduktor orkerstra kelas dunia, yang juga adalah teman dekatnya, Seiji Ozawa. Ozawa telah malang melintang dari orkestra besar satu ke orkestra besar yang lain sebagai konduktor. Pada 1960-an ia berguru pada konduktor terdepan Austria, Herbert von Karajan. Pun, ia pernah menjadi asisten untuk konduktor kenamaan lainnya seperti Leonard Bernstein. Pengalaman melimpah ini kemudian diekstrak oleh Murakami ke dalam percakapan-percakapan yang luas, dalam dan tidak berjarak terkait musik klasik.
Absolutely on Music disusun berdasarkan enam momen wawancara yang ditulis ke dalam enam tulisan. Secara berurutan topik yang dibahas antara lain interpretasi sejumlah konduktor atas karya Beethoven Third Piano Concerto; pergelaran atas karya Johannes Brahms oleh Ozawa bersama Saito Kinen Orchestra; kilas balik musik klasik di tahun 1960; perbincangan mengenai Gustav Mahler; kenangan Ozawa kala mengawal opera dan kiprah Ozawa sebagai guru. Di antara masing-masing bab percakapan, terselip obrolan di luar musik klasik yang dilabeli sebagai Interlude. Jika anda mengharapkan sebuah benang merah antar tulisan di dalam buku ini, anda akan kecewa. Keduanya hanya berbicara freestyle dari satu musisi klasik satu ke musisi klasik lain, dari simponi satu ke yang lain.
Presentasi di dalam buku ini adalah transkrip obrolan dalam kurun waktu 2010-2011, yang dilakukan di enam tempat berbeda; dimulai dari rumah Murakami di Kanagawa Prefecture, Jepang dan berakhir di perjalanan kereta dari Jenewa-Paris. Pada empat wawancara pertama, mereka melakukannya sembari mendengarkan piringan hitam dan CD interpretasi sejumlah orchestra atas karya Beethoven dan Mahler. Keduanya mengulas movement demi movement dari sebuah simponi, bereaksi atas bunyi-bunyi tertentu, melihat ulang skor musik, dan mencoba mengulik latar belakang produksi bunyi tersebut.
Ulasan dalam tulisan ini tidak akan menitikberatkan pada kemegahan musik klasik namun bagaimana musik berpengaruh secara personal kepada keduanya.
Pertama, Murakami dan Ozawa sama-sama pencinta musik namun perbedaan cara pandang keduanya terhadap musik cukup berbeda. Hal tersebut tidak terlepas dari peran yang mereka sandang yakni Murakami sebagai pendengar musik dan Ozawa sebagai pelaku musik. Murakami adalah pendengar sentimental. Pada banyak kesempatan, ia mengungkapkan keyakinannya bahwa musik punya fungsi agensi. Musik ada untuk membuat orang bahagia, itu pendapat Murakami. Kata sifat seperti Joy dan Happy, kerap muncul saat Murakami mencoba memberi makna pada musik, terutama di awal-awal buku. Sementara di halaman 190, Ozawa mulai menyadari ada perbedaan antara keduanya dalam melihat musik. Ozawa tidak mencari makna di balik musik dan ia menerima musik murni sebagai musik. Ia akan tenggelam dalam hal-hal teknis seperti membaca dan memahami skor (musik).
Adanya perbedaan dalam memandang antara keduanya membuat obrolan menjadi lebih berwarna, misalnya pada pembahasan karya Gustav Mahler yang avant-garde. Keduanya sepakat bahwa musik Mahler adalah karya yang sulit untuk dimainkan maupun didengar. Chaos, begitu mereka mengatakannya. Lompatan dari satu movement ke yang lain dinilai terlalu terjal. Pada tahun 1960, kata Ozawa, sangat jarang konduktor yang mau membawakan dan mereka karya Mahler. Namun, belakangan semakin banyak orkestra yang membawakan repertoar Mahler. Bisa jadi karena secara teknis, skill para pemain semakin mumpuni. Dalam hal ini, dia melihat Mahler sebagai komposer yang visioner, yang membuat simponi dengan kapabilitas musikal masa depan. Bila merujuk pada skor, Ozawa melihat bahwa Mahler membuat dua atau tiga musik mentah yang sama sekali berbeda, namun dimainkan dalam satu waktu. Hasilnya, chaos namun gila dan indah. Pendapat Ozawa sangat teknis.
Sementara, Murakami punya pandangan yang sangat strukturalis terkait karya Mahler. Secara umum, musik Mahler masih berada dalam koridor musik Jerman. Namun baik Murakami, maupun Ozawa sepakat bahwa musik Mahler cukup kosmopolitan. Ada banyak unsur yang bercampur aduk di dalamnya. Salah satunya adalah bunyi-bunyian dari musik Klemer (musik tradisional Yahudi di Eropa Timur yang biasa dimainkan adalam acara selebrasi) dan juga bunyi-bunyi bernuansa pedesaan. Murakami melihat bahwa ada pengaruh Mahler sebagai seorang Yahudi dalam penciptaan musiknya. Karena itu, kata Murakami, tidak mengherankan bahwa Klemer Yahudi muncul tiba-tiba di musik Mahler. Selain itu, bunyi-bunyi bernuansa pedesaan itu juga tidak lepas dari kampung halaman Mahler di Bohemia, Ceko. Murakami ragu kalau saja Mahler lahir dan besar di Wina, musiknya akan se-avantgarde karya-karyanya saat ini—yang ia nilai mempengaruhi penciptaan musik sesudahnya, salah satunya skor film Star Wars.
Kedua, pendapat terkait rendition (interpretasi/penampilan) atas sebuah karya musik klasik. Keduanya menilai sebuah simponi bisa sangat berbeda bila dibawakan oleh orkestra yang berbeda. Misalnya pada tulisan pertama, keduanya mendengarkan “Beethoven Third Piano Concerto” yang dibawakan oleh tiga konduktor dan solois yang berbeda yakni Gleen Gloud dan Herbert von Karajan, Rudolf Serkin dan Seiji Ozawa, serta Mitsuko Uchida dan Kurt Sanderling. Komparasi demi komparasi mereka kupas satu persatu sambil mendengar rekaman dari masing-masing pertunjukan. Jangankan perbedaan yang muncul dari tiga orang berbeda pada satu simponi yang sama, bahkan Ozawa sendiri bisa menghasilkan rendition yang berbeda atas karya Mahler dengan dua orkestra yang berbeda walaupun skor yang digunakan sama. Dalam pembahasan terkait karya Mahler “Symphoni 2”, Ozawa pernah membawakannya dengan dua orkestra yang berbeda yakni Boston Symphony Orchestra dan Saito Kinen Orchestra. Hasilnya, rendition dengan Boston Symphony Orchestra lebih terdengar mild, sementara dengan Saito Kinen lebih “galak”. Itupun tidak lepas, dari pengakuan Ozawa bahwa semakin hari dia secara personal juga berubah yang membuatnya juga berubah dalam memimpin orkestra.
Ketiga, dualitas pandangan terkait koleksi rekaman. Buat para penggemar Murakami, tentu banyak yang sudah paham bahwa dia memiliki lebih dari 10.000 koleksi piringan hitam dan CD. Namun, Ozawa agak memandang sebelah mata para pengkoleksi. Menurut Ozawa, para kolektor itu hanya menumpuk dan tidak pernah benar-benar mendengarkan isi koleksi mereka. Namun ketika melihat ketajaman kuping Murakami dalam mendengarkan repertoar di sela obrolan dan opini pribadinya atas musik klasik tersebut, Ozawa menjadi sedikit menurunkan sinismenya. Sambil bercanda Murakami hanya menanggapi dengan mengajak Ozawa membuat obrolan itu jadi tidak menarik untuk para kolektor.
Buku ini, selain sebuah pengenalan musik klasik bagi para pembaca Murakami, juga menyiratkan pelajaran-pelajaran hidup dari musik. Saya rasa itu yang menarik dari buku-buku non fiksi Murakami, ada hal-hal general tentang hidup yang bisa dipetik di luar objek pembahasan. Dalam bukunya “What I Talk About When I Talk About Running”, Murakami membahas tentang orang-orang yang mencintai kesunyian. Sementara di Absolutely on Music, kita bisa menyimak bagaimana perbedaan cara pandang dan interpretasi tidak harusnya jadi persoalan, dan sebaliknya bisa jadi medium untuk bertukar pandangan. Misalnya Murakami adalah pendengar yang sentimental, sementara Ozawa adalah pemusik yang teknis, namun opini keduanya atas musik, bisa memberikan cakrawala lebih luas soal musik klasik buat para pembaca Murakami.
Absolutely on Music pun kembali menunjukkan bahwa karya yang didasarkan pada kegandrungan yang melimpah-limpah pada suatu hal dan dieksekusi dengan style akan memberikan hasil yang ranum, yang bahkan bisa dinikmati oleh para pembaca awam (yang mau berpikir) sekalipun. Sebuah kesan yang juga saya tuai secara personal dari beberapa buku lain oleh penulis lokal, seperti “Pop Kosong Berbunyi Nyaring” (Taufiq Rahman, 2017) dan “Aku dan Film India Melawan Dunia” Jilid I (Mahfud Ikhwan, 2017).
Judul : Absolutely on Music: Conversation with Seiji Ozawa
Penulis : Haruki Murakami
Penerbit : Knopf
Bahasa : Inggris
Tahun : 2016
Halaman : 325