Di satu malam dengan suhu dingin yang menyelimuti Kota Graz, saya menyempatkan diri untuk menonton sebuah konser musik. Berdua bersama teman saya, seorang komponis bernama Feliz Anne Reyes Macahis, saya pergi ke tempat konser. Konser malam itu diisi oleh sebuah ansambel musik kini bernama Ensambel Schallfeld yang memainkan beberapa karya dari sejumlah komponis seperti Franck Bedrossian, Mauro Lanza, dan Clara Iannotta.
Di tengah perjalanan kami pun saling bertanya satu sama lain, “karya mana yang paling disukai?” Saya langsung menjawab “Franck Bedrossian”, dan tanpa sadar saya berceloteh jika karyanya mengingatkan saya pada aliran Saturasi. Saturasi adalah sebuah aliran yang berkembang di Perancis yang digawangi oleh Yann Robin, Raphael Cendo, dan lainnya. Satu ciri khas dari aliran ini adalah, bunyi gaduh yang ditawarkan sulit sekali kita ikuti arahnya, seperti memberikan ribuan informasi bunyi sekaligus dan membuat kita kehilangan informasi.
Dari kenangan percakapan seusai konser itu saya jadi berpikir, bagaimana telinga kita bisa dengan “mudah” menghantarkan kita mengidentifikasi sesuatu? Dari situ muncul pertanyaan, apakah pengalaman mendengar mempunyai pengaruh yang kuat? Atau adakah faktor-faktor lain yang bukan hanya berasal dari telinga dan membentuk pengetahuan kita untuk menganalisa apa yang kita dengar? Dari sini akhirnya saya coba mengingat-ingat kembali pengalaman saya dalam mendengar dan mencari tahu tentang “latar belakang” bunyi. Sedikit kembali ke tahun 2012, di mana pada saat itu saya berkenalan dengan musik dari Brian Ferneyhough. Brian Ferneyhough dikenal dengan musiknya yang kompleks, bahkan ia didaulat sebagai bapak dari aliran kompleksitas.
Gambar 1. Penulis berfoto bersama Brian Ferneyhough (kanan).
Gambar 2. Partitur karya Ferneyhough “String Quartet No 2”.
Dari pengalaman mendengar Ferneyhough tersebut, saya pun mulai mencari tahu mengapa dan bagaimana ia membuat musik seperti itu. Hal itu dilanjutkan dengan mendengar secara intens berbagai macam aliran yang “dianut” oleh komponis-komponis lainnya. Pengalaman saya yang lain tentang mendengar dan mencari tahu soal aliran-aliran ini adalah ketika mendengarkan karya-karya dari Lachenmann. Lachenmann adalah seorang komponis berkebangsaan Jerman yang dikenal dengan “temuannya” yaitu musique concrete instrumentale di mana ia mengeksplorasi bunyi-bunyi konkret dari instrumen. Bunyi-bunyian tersebut dihasilkan dari alat musik yang dimainkan dengan tidak lazim, misalnya mengusap badan cello dengan bow (busur). Karya monumentalnya dengan model ini adalah “Pression”.
Gambar 3. Tangkap Layar Lachenmaan Pression dimainkan oleh Eria Maria Couturier.
Tidak berhenti hanya sampai situ, saya pun mencari tahu lebih jauh tentang musik Lachenmann setelah kaget mendengar sebuah kutipan karya Mozzart “Clarinet Concerto in A Major” di tengah-tengah karya Lachenmann yang berjudul “Accanto”. Dari situ saya pun bertanya apa maksudnya ini? Akhirnya saya pun membaca artikel yang ditulis oleh Lachenmann dengan judul “On Structuralism”. Di tulisan itu ia berkata bahwa struktur adalah sebuah media dalam berdialektika dengan tradisi. Menarik! Ternyata hal itu tidak hanya terjadi di “Accanto” saja, namun juga di karyanya yang lain seperti “Tanzsuite mit Deutschlandlied”. Pada komposisi ini, ia melebur tradisi lagu tarian seperti Siciliano, Waltz, dan lainnya menjadi rupa yang baru. Bahkan yang membuat saya tertawa adalah ketika Ia berdialektika dengan tradisi (lagu anak-anak) di karyanya “Ein Kinderspiel”, khususnya di mana ia mengutip kontur ritme dan melodi yang dengan mudah mengingatkan kita pada lagu anak-anak tersebut walaupun dalam bentuk yang sudah berbeda.
Model mengutip seperti yang Lachenmann lakukan itu juga terjadi di karya-karya komposer lain seperti Alfred Schnittke, John Oswald, Luciano Berio, dan lain sebagainya. Hanya saja, maksud dan tujuannya berbeda. Misalnya Alfred Schnittke dengan model multi gayanya. Bila Lachenmann ingin berdialektika, Alfred Schnittke ingin lepas dari jeratan aliran serialisme yang menetapkan pembuatan musik dengan formulasi tertentu untuk mengatur material musik yang digunakan. Nah, dari kasus seperti ini, mungkin kita boleh bilang bahwa ada perang “ideologi” di balik bunyi-bunyian yang dikreasikan oleh seorang komponis.
Apa itu ideologi? Singkatnya, menurut KBBI, ideologi adalah cara berpikir suatu golongan. Cara berpikir? Lalu, apakah karya musik bisa dijadikan media untuk melihat cara berpikir sebuah kelompok tertentu, khususnya di musik? Seperti apa “perang“ cara pikir dalam musik itu? Mungkin hal ini bisa kita lihat dengan bagaimana komponis-komponis elektronik awal di Jerman membuat konsep mereka sendiri yang berseberangan dengan cara para komponis Perancis dengan Musique Concrete. Jika penganut Musique Concrete menggunakan sumber bunyi materi konkret seperti bunyi kereta uap sebagai materi yang diolah untuk mendapatkan hasil bunyi baru, maka komponis-komponis Jerman berangkat dari sumber bunyi murni (seperti gelombang sinus) untuk menciptakan bunyi-bunyi tertentu.
Ada-ada saja para perajut bunyi itu. Faktanya, “perang” model seperti itu bukan hanya terjadi saat ini, kita juga bisa lihat bagaimana Debussy membuat lelucon atas Wagner di karyanya “Golliwogg‘s Cakewalk” yang memberi sedikit kesan humor pada kutipan motif dari karya Wagner yang berjudul “Tristan und Isolde”. Yang mana Wagner pada saat itu dikenal sebagai “bapak” dari musik Eropa di abad ke-19. Akhirnya dari pengalaman mendengar itu membuat saya berkelana lebih jauh lagi. Hal itu terjadi ketika saya mendengar karya dari Iannis Xenakis “Analogique A”. Lantas apa yang membuat saya berkelana? Singkat kata, saya terkesima dengan keruwetan di musiknya yang sekilas itu hanya seperti melempar kucing ke dalam piano. Namun, di balik kesan ketidakteraturan bunyi karyanya, ternyata ada sebuah sistem matematis yang sangat teratur!
Seperti apa keteraturan tersebut? Tidak main-main, ia menggunakan sistem Markov Model, sebuah sistem matematis yang digunakan untuk memprediksi sebuah probabilitas yang bisa didapat berdasarkan data-data tertentu. Ia menggunakan Markov Model untuk menghitung kepadatan di karyanya.
Gambar 4. Markov Chain (Wikipedia)
Dari sini saya mulai mempelajari hubungan musik dengan Algoritma seperti bagaimana komponis memanfaatkan algoritma seperti Cellular Automata, L-System, dan lain sebagainya untuk membuat karya. Bahkan pada akhirnya, saya pun mempelajari tentang Generative Grammar, Markov Model untuk membuat pola baru berdasarkan corpus bahasa musik gamelan yang saya analisa dari gaya-gaya tradisi.
Masih berhubungan dengan musik dan hal berbau komputasi (baca: intelegensi buatan, sistem jaringan), saya menemukan banyak hal yang luar biasa dengan bagaimana cara komponis menggunakan metode ini. Kita bisa lihat bagaimana Rob Hamilton membuat sebuah simulasi instrumen gesek dengan Virtual Reality, atau Alexander Schubert yang memanfaatkan sebuah website untuk membuat sebuah proyek partisipatif “wikipiano“ di mana batasan antara kreator dan masyarakat sudah lebur karena setiap pengunjung website dapat berpartisipasi untuk mengubah urutan dan materi karya ini yang akan dimainkan oleh seorang pianis.
Gambar 5. Tangkap Layar Ensemble Schallfeld memainkan karya Rob Hamilton.
Gambar 6. Tangkap layar dari web wiki-piano.net.
Pemanfaatan komputasi ini juga diterapkan oleh John Luther Adams dalam karya “The Place Where You Go to Listen” di mana Ia memproses data lingkungan dan diproyeksikan menjadi instalasi bunyi dan visual.
Gambar 7. The Place Where You Go To Listen (Sumber: https://earthquake.alaska.edu/revamping-sound-installatioan-place-where-you-go-listen)
Dari sedikit kenangan mendengar ini saya bisa melihat bahwa musik bukan hanya soal bunyi, namun juga berhubungan dengan hal-hal seperti computer science, formalisasi, “ideologi“, proses dialektika dengan tradisi, ekologi, dan lain sebagainya. Tentu bunyi menjadi materi yang dominan di dalam musik walaupun saat ini musik sudah tidak lagi hanya bunyi semata seperti yang dapat kita lihat di musik visual di mana kedudukan bunyi dan visual setara. Dan lewat bunyi itu, ada informasi-informasi lain yang kita dapat, bukan hanya sekadar alunan melodi, hentakan ritme tanpa “makna” dan “pesan” di baliknya.
Graz, 22 April 2020
____________________
Septian Dwi Cahyo adalah komponis yang saat ini bermukim di Austria atas hibah proyek penelitian dari Ernst Mach Grant.
maaf ada sedikit salah ketik. judul karya Lachenmann harusnya “Tanzsuite mit Deutschlandlied”. dan satu lagi harusnya tertulis Siciliano bukan Siliciliano. terima kasih.
Bagus artikel tersebut ini dari Mas Septian, karena dia menyampaikan pandangannya yang sangat pribadi tanpa memberi penilaian. Maka tidak ada “perang”, hanya beda pendekatan masing-masing komponis. Akhirnya yang menjadi penting adalah hasil otentik, bukan imitasi serta semacam “ketrampilan” teknis dalam bidang yang dipilih.
Dan beberapa ideolog yang berpandangan: hanya mereka-lah yang tahu yang benar dan yang salah….mereka dibiarkan saja dalam kotak kemisikinan mereka sendiri.