Telinga adalah indera yang mempersepsikan suara. Dimulai dari daun telinga yang mengumpulkan dan menghimpun energi akustik, selanjutnya energi tersebut melalui kanal pendengaran bergerak menuju gendang telinga; setelah gendang telinga bergetar, energi akustik itu berubah menjadi energi mekanik yang menggetarkan osikel untuk mencapai kanal setengah lingkaran dan kemudian koklea. Pada organ koklea yang menyerupai siput- ribuan sel rambut di dalamnya mentransformasi energi mekanik tersebut menjadi sinyal elektrik, akhirnya sinyal tersebut mencapai saraf pendengar yang tersambung ke otak. Selanjutnya, otak membaca sandi sinyal tersebut. Sinyal ini kita sebut sebagai suara seperti yang diinterpretasikan oleh otak. 

Gimana, Luar biasa bukan?

Yap.. Kita pasti berpikir bahwa faktanya setiap orang tidak mempunyai kondisi pendengaran seperti yang digambarkan di atas. Pada kenyataannya, perjalanan energi akustik menuju otak tidak bekerja dengan ideal. Mungkin saja kita mengalami cedera, menderita suatu penyakit, memiliki gejala-gejala tertentu, terpapar suara keras pada waktu yang lama, dan memiliki kemampuan kognitif berbeda yang mungkin mengubah cara kita dalam mendengar. Apa yang kita pelajari di Sekolah Menengah bahwa kemampuan telinga manusia menangkap frekuensi berkisar 20Hz-20kHz tidak berlaku untuk semua orang, terlebih semakin banyak manusia di dunia ini hidup di lingkungan yang—semakin—bising. 

Pada akhirnya, manusia tidak memiliki anatomi dan fungsi telinga yang benar-benar sama. Beberapa orang mengalami pergeseran osikel, memiliki kotoran telinga, dan kehilangan sel rambut yang bisa saja melemahkan frekuensi yang kita dengar. Bahkan saat menulis artikel ini, hidung saya sedang mampat dan rasanya saya tidak dapat mendengar secara jelas seperti biasanya.

Kita semua punya profil pendengaran dan kemampuan menyimak yang beragam.

Saya bersyukur karena bisa belajar lebih banyak tentang hal ini di Aural Diversity Conference 2019. Waktunya sangat sempurna, bertepatan dengan fase awal riset saya tentang musik dan profil pendengaran yang beragam.

Konferensi: Menerima Keberagaman, Mempertanyakan Asumsi

Aural Diversity Conference 2019 dihelat di George Davis Center Universitas Leicester dan Attenborough Arts Center di Leicester, UK pada 30 November – 1 Desember 2019. Tulisan akademik, presentasi, pertunjukan, dan pernyataan artistik ditampilkan oleh orang-orang dengan kondisi aural beragam. Saya mendapat kesempatan untuk mempresentasikan hasil karya saya dalam konferensi ini (semoga saja saya bisa membaginya kepada Anda di artikel terpisah).

Konferensi ini adalah bagian dari Aural Diversity Project yang diinisiasi oleh Andrew Hugill, dengan tujuan untuk menciptakan sebuah platform dan satu set konvensi konser di mana orang-orang dengan kondisi aural yang beragam melakukan pertunjukan untuk penonton yang juga kondisi auralnya beragam, menawarkan pendekatan baru dalam pengalaman mendengar, dan melakukan riset dengan harapan kesadaran akan keberagaman aural bisa memengaruhi kebijakan terkait musik, audiologi, kajian bunyi, desain lingkungan, dan produksi bantuan alat dengar di masa depan.

Istilah “aural diversity ” sendiri diciptakan oleh John Levack Drever dalam artikel berseri setelah studinya mengenai efek bising mesin pengering tangan, singkatnya, menjelaskan bahwa dia secara provokatif menciptakan istilah “auraldiversity” dan “auraltypical”, kata-kata tersebut diadaptasi dari “neurotypical” dan “neurodiverse” yang digunakan di komunitas autis. Neurotypical merujuk pada kenormalan orang non autis dan implikasi dari tendensi untuk memaksakan pemahaman mereka tentang keadaan normal kepada orang lain sebagai sesuatu yang normal dan alami, sementara “auraldiversity” merujuk pada keberagaman pendengaran sesungguhnya yang kita alami sehari-hari dan sepanjang kehidupan dalam kadar yang berbeda-beda, mulai dari kondisi pergeseran sementara hingga sakit tak tertahankan akibat kehilangan pendengaran dan juga pendengaran yang sangat sensitif. 

Aural Diversity Conference berupaya untuk membicarakan isu-isu yang kompleks, di mana masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa setiap orang mendengar dengan keadaan yang sama, industri suara dan musik biasanya dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap orang punya telinga sehat seperti milik anak umur 18 tahun (BS ISO 226:2003). Namun kenyataannya sangat berbeda, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, proyek ini mengeksplorasi dan meriset perbedaan mendengar di berbagai individu.

Hari 1: Dimulai Dari Mendengar dan Menyimak Presentasi Artistik

Konferensi yang dihelat selama dua hari ini menyajikan banyak pengetahuan dan perspektif terkait mendengar dan menyimak, gangguan pendengaran, seni suara dan musik, dan hal-hal di antara itu yang disampaikan oleh orang-orang dengan latar belakang audiologi, otolaringologi, akustik, musik, terapi, musik psikologi, seni media, kesusastraan, komputasi kreatif, studi suara, dan banyak lagi.

Di hari pertama, Dr Alinka Greasley, pembicara utama pertama, secara kritis membahas bagaimana gangguan pendengaran dan penggunaan teknologi pendengaran memengaruhi pertunjukan dan cara mendengarkan musik; Prof. William Davies mengulas bukti-bukti pendengaran orang autis, menunjukkan persepsi pendengaran lebih luas yang dimiliki oleh orang autis, dibandingkan dengan orang-orang non autis; Lena Batra menyajikan sebuah gambaran dari perspektif klinis dan sejumlah faktor dan strategi dalam membantu pasien yang memiliki rasa musikal beragam melalui keterlibatan musik secara penuh. 

Selanjutnya, saya menyajikan media audiovisual tetap (fixed audiovisual media) yang mengeksplorasi aspek sonik, visual, haptic (sentuhan) melalui interaksi dengan laptop, sebanyak mungkin mengakomodasi aksesibilitas penuh dalam menikmatinya; Simon Allen menunjukkan karyanya yang melibatkan musik, British Sign Language, dan teks yang diproyeksikan, dengan harapan untuk mendemonstrasikan aksesibilitas alat komunikasi, namun juga menyenangkan secara estetis; Josephine Dickinson menampilkan puisi suara yang menantang batas antara bahasa, musik dan seni visual dan juga posisi kultural komunitas tuna rungu (Deaf) dan dunia pendengaran. John D’Arcy mengeksplorasi perbedaan dalam pengalaman sensor pendengaran melalui sebuah pertunjukan yang dibantu oleh teknologi.

Karya audiovisual saya, The (Real) Laptop Music :)), dipresentasikan di konferensi.

Pembicara utama kedua, Prof. Peter Rea, mengulas mengapa persepsi atas suara yang sama sangat beragam di masing-masing individu, karena ada potensi penyimpangan atau kekeliruan dalam perjalanan suara mulai dari luar menuju ke otak, dan bagaimana Peter dan koleganya sesama dokter bedah mencoba mengatasi ini; Dr Samuel Couth meninjau interaksi antara efek bermusik, kesadaran, usia, dan paparan kebisingan terhadap kemampuan mendengar; Dr Marie Thompson dan Dr. Patrick Farmer mengajukan bahwa tinitus (denging di telinga) adalah objek konseptual yang kompleks dan bisa menjadi sebuah konteks spesifik yang melampaui pendengar individu dan denging di telinga; Ed Garland mengusulkan bahwa peningkatan pemahaman kita atas suara melalui pembacaan observasi sonik yang detail bisa memperbanyak pengalaman hidup kita terkait gangguan pendengaran dan tinitus.  

Aural Diversity Concert

Aural Diversity Concert #2 menjadi penutup di hari pertama. Sebelumnya, Concert #1 diadakan pada Juli 2019 di Bath UK. Konser ini melibatkan pertunjukan musik yang bervariasi oleh orang-orang dengan profil pendengaran yang beragam. Apa yang membuat konser ini berbeda adalah tawaran beberapa cara mendengar, termasuk streaming dengan headphone bluetooth, lantai bergetar, terjemahan BSL (British Sign Language), dan ruang-ruang terpisah jika seseorang merasakan sensorik yang berlebihan selama pertunjukan. 

Headphone bluetooth untuk mendengar dengan fleksibel.

Headphone bluetooth siap pakai.

Selain itu, konser ini juga dilengkapi dengan sebuah kesepakatan konser yang tertulis di buklet mengingat penampil dan pendengar memiliki profil pendengaran yang beragam. Secara singkat, kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut;

  1. Dengarkan di mana saja;
  2. Putuskan mau mendengar apa sebelum suatu karya dipentaskan;
  3. Bergerak dengan tenang namun bebas;
  4. Tidak bertepuk tangan – gunakan flappy hand (gerakan tangan seperti sayap burung, biasa dilakukan oleh orang autis untuk mengekspresikan kegembiraan- penerjemah);
  5. Hati-hati dengan objek yang bisa menyebabkan kebisingan;
  6. Hormati kebutuhan dengar orang lain;

    Kesepakatan Konser.

Konser ini dibagi menjadi lima bagian dengan waktu jeda di setiap repertoarnya. Setiap karya disediakan dengan pelbagai piranti pendengaran. Sebagai contoh, setiap karya dapat diperdengarkan melalui loudspeakers, headphone Bluetooth, dan/atau lantai bergetar di ruangan terpisah.

Di bagian pertama, Anya Ustaszewski menampilkan sebuah media tetap (fixed media) terbuat dari suara yang terima melalui indranya, karena pendengaran Anya sangat sensitif; Duncan Chapman mempresentasikan frase musik yang dimainkan oleh musisi, di mana teks yang dikumpulkan adalah respons atas pertanyaan-pertanyaan terkait suara-suara yang digemari, yang menimbulkan rasa memiliki, atau kehilangan ketika pendengaran sudah berubah. 

Bagian kedua menampilkan instalasi. Andrew Hugill mempresentasikan sebuah potongan audiovisual, diplacusis piano (dua nada berbeda, satu di masing-masing telinga-penerjemah), sebuah instrumen digital buatan sendiri yang mereproduksi apa yang dia dengar ketika sebuah piano normal dimainkan; not yang dibuat asing hampir di seluruh keyboard dan fundamental yang diturunkan pada bagian lower register; Sam Sturtivant menunjukkan instalasinya yakni lantai bergetar dan tiga pengeras suara yang menggunakan infrasound (suara berfrekuensi rendah) yang mungkin tidak terdengar oleh indra konvensional. 

    Lantai Bergetar karya Sam Sturtivant.

Instalasi Piano Diplacusis karya Andrew Hugill.

Selanjutnya bagian ketiga, John Levack Drever dan beberapa partisipan konferensi menampilkan improvisasi langsung, bersamaan dengan sebuah track yang sudah direkam dan diproses sebelumnya, menirukan suara pengering tangan dengan menggunakan phonation (pembentukan bunyi khas oleh artikulasi dalam mulut yang dibuat posisi lidah, langit-langit, gigi dan bibir – penerjemah); Ruth Mallalieu mempresentasikan video pertunjukan jazz standar berdasarkan inderanya, sebagai orang yang mendapatkan implan koklea di telinga; Simon Allen mengajak penonton untuk duduk merapat dan memainkan empat garpu tala—instrumen yang ia buat sendiri—serta instrumen-instrumen lainnya.

Bagian keempat merupakan kelanjutan dari bagian kedua, sebab bagian kedua menampilkan setengah dari durasi tampil keseluruhan instalasi. 

Konser tersebut diakhiri dengan karya Andrew Hugill berupa slideshow dan nyanyian burung pilihan yang merespons tiga musisi memainkan klarinet, akordeon dan harmonium.

Hari 2: Dari Presentasi dan Pernyataan Artistik ke Soundscape, Lingkungan, dan Ekologi Akustik

Tak berhenti di situ saja, konferensi berlanjut dengan menu yang sama beragamnya seperti hari pertama. Prof. Andrew Hugill, pembicara utama ketiga, memulai hari kedua dengan memamerkan riset kualitatifnya tentang bagaimana Penyakit Meniere dan bentuk gangguan pendengaran lainnya bisa memengaruhi musisi dan musik mereka; Christopher Cook meneliti sebuah kasus kemampuan pendengaran yang kurang ditekankan sebagai gejala pertama demensia melalui seseorang yang mengalami gangguan kognitif ringan (MCI).

Setelah istirahat singkat, Dr. Balandino Di Donato, Dr. Trychonas Michailidis dan Christopher Dewey mempresentasikan prototipe sistem yang memfasilitasi orang-orang untuk merancang dan mengalami suara melalui audio, visual dan haptic (sentuhan); Prof. Matthew Sansom mendiskusikan keberagaman aural, partisipasi dan aksesibilitas melalui lensa praktik seni lintas disiplin dengan contoh kasus parkbenchsojourn.org; Dr. Matthew Spring mendalami bagaimana ketulian memengaruhi pemikiran Thomas Mace tentang musik dan langkah praktis yang dia ambil untuk melanjutkan kehidupan musik profesionalnya saat menjadi tuli di usia 50 tahun. 

Prof. John Levack Drever mempresentasikan Phonating Hand Dryers: Exploits in Aural Diverse Composition and Co-Composition.

Pada topik soundscape, lingkungan, dan ekologi akustik, Prof. John Levack Drever, pembicara utama keempat, mengeksploitasi kekhawatiran terkait pendengar auraltypical dan auraldiversity melalui karya sonik yang melibatkan relasi komposer, penampil dan pendengar berdasarkan studi tentang pengaruh kebisingan pengering tangan berkecepatan tinggi di toilet umum; Dr Karla Berrens Torruella mengajukan cara alternatif dalam mendengar dan menghuni ruang di area perkotaan di Barcelona. 

Josephine Dickinson mempresentasikan ALPHABETULA, didampingi oleh seorang penerjemah British Sign Language.

Konferensi ini menghadirkan beberapa pernyataan seniman. Alan Jacques membagikan pengalamannya menderita Cochlear Amusia (gangguan musikal dalam memproses nada) yang disebabkan oleh penyakit Meniere, dia belajar untuk hidup dengan penyakit tersebut sebagai pemain piano; Josephine Dickinson, seorang komposer/artis/penyair tuna rungu, menyoal perbedaan antara komposisi suara, kata dan bentuk visual melalui karya puisi suaranya; Lena Batra merengkuh pengalaman “di antara” melalui perjalanannya sebelum dan sesudah kehilangan pendengaran dan membagi pemahaman atas unsur-unsur dan pengalaman yang tidak bisa ditangkap oleh seorang profesional ataupun paper akademik. 

Lena Batra mendiskusikan pengalaman pribadi dan pemahamannya mengenai gangguan pendengaran dan musik.

Pada akhir hari kedua, Dr. Meri Kytö, meneliti bagaimana soundscape dikodekan dalam pengguna implan-koklea yang membentuk pemahaman kita mengenai pemahaman tempat dari mendengarkan (atau akustik); Johan Malmstedt mempertanyakan audisme di bidang bioacoustics dan mengusulkan kemajuan dalam mendengarkan bioacoustics dan aksentuasi dalam keragaman telinga-telinga ekologis.

Keragaman Aural dan Masa Depannya

Aural Diversity Conference 2019 merupakan konferensi yang sangat unik yang memunculkan perspektif beragam dalam mendengar dan menyimak, yang mau tidak mau melibatkan kerja lintas disiplin. Konferensi in tidak hanya terdiri dari bidang-bidang kokoh dan beragam yang mengeksplorasi perbedaan dalam mendengarkan, namun juga secara implisit mendorong berpikir tentang keragaman aural. 

Artinya, berpikir bagaimana kita bisa berkontribusi untuk bisa menyediakan akses untuk orang-orang dengan kemampuan pendengaran yang beragam. Selanjutnya, ini mengarah pada, tergantung pada latar belakangnya, bagaimana kita secara filosofis dan praktis mendekati kreasi, komposisi, layanan, dan manifestasi pemikiran lainnya secara etik, juga estetik, efektif serta inklusif. 

Perspektif yang ditawarkan oleh peserta konferensi telah menganut pemikiran-pemikiran yang berpikir tentang keragaman aural, yang juga berarti berpikir melampaui disabilitas. Menurut saya, perbedaan pendengaran dan kemampuan untuk menyimak harus dilihat sebagai keragaman yang melengkapi profil pendengaran yang lain. Di beberapa kasus, gangguan pendengaran mungkin menimbulkan rasa sakit yang tidak terbayangkan, tapi sebagai orang dengan “pendengaran normal”, saya menjadi lebih kagum terhadap bagaimana orang-orang dengan pendengaran yang beragam di konferensi tersebut  bisa mengatasi masalah hidup dengan cara mereka sendiri dan mengeksplorasi kemungkinan artistik untuk menciptakan karya yang reflektif. 

Selain itu, saya mendapati materi yang dipresentasikan di konferensi telah melengkapi cuilan pengetahuan yang terlewatkan atau terabaikan di berbagai bidang khususnya musik dan industri yang terkait dengan suara. Terlebih dunia ini sebagian besar dibangun dengan asumsi bahwa semua orang mendengar dengan cara yang sama dan “seharusnya” mendengar dan berfikir dengan cara sang kreator yang sempurna, kita cenderung lupa dan mengabaikan aspek “penerima pesan”.

Tubuh kita dan perwujudannya memengaruhi cara kita menerima dan akhirnya membentuk cara kita dalam berpikir dan merasakan. Kita menerima objek yang sama dengan cara yang berbeda, tergantung pada kondisi persepsi kita. Hal ini bahkan terjadi pada orang-orang dengan pendengaran yang “normal”. Kesadaran ini cenderung diabaikan di lingkungan akademik di mana pada banyak situasi, aspek ontologi diajarkan serta ditekankan dalam pembelajaran dan penciptaan—tak terkecuali musik. 

Tidak hanya pada praktik seni tetapi juga pada bidang lainnya, berpikir keragaman aural berarti berpikir kemungkinan estetis. Sebuah pertanyaan kreatif semisal “Kepada siapa kita ingin menunjukkan karya?” bisa jadi poin awal yang baik sebelum memutuskan aspek teknis apa yang harus digunakan untuk menyampaikan “pesan” dengan lebih baik kepada para pendengar, penonton, partisipan, kolaborator, dan sebagainya. 

Berbagi tentang kesadaran atas keragaman aural adalah tugas penting dalam membentuk lingkungan yang lebih baik. Bagaimanapun, hal ini tidaklah mudah. Orang-orang masih berjuang untuk menyebarkan kesadaran atas disabilitas dan aksesibilitas. Terlebih, masih ada jurang pemisah pemikiran yang terbentuk antara orang dengan “bodily typical”/tubuh tipikal dan “bodily diverse”/tubuh beragam—keduanya adalah istilah saya. Maka komunikasi mesti dibangun untuk menjembatani kesalahpahaman dan meluruskan miskonsepsi. 

Situasi ini bahkan jadi lebih sulit. Orang-orang dengan kondisi pendengaran yang beragam tidak mudah dikenali dibandingkan dengan, misalnya, orang yang diamputasi ataupun tunanetra. Juga, dari cara pandang saya, karena kita perlahan cenderung menjadi visualist (orang yang lebih memiliki tendensi terhadap visual-penerjemah), dan kita tidak bisa melihat “suara”, hal krusial termasuk pembuatan kebijakan, akses pendidikan, tata ruang dan semuanya yang menyangkut dan melibatkan suara telah lama diabaikan. 

Sama seperti visualist, seorang audist (orang yang lebih memiliki tendesi pada suara) cenderung mengecualikan kelas-kelas yang tidak termasuk pada “kenormalan” mereka. Audisme memihak  pendengaran “normal” seperti tubuh yang sempurna dan mendorong mode pendengaran yang “paripurna”. Audisme dan visualisme terasa seperti rasisme dan favoritisme secara bersamaan. 

Kalau Anda membaca artikel ini dan tidak terlalu tahu perbedaan kita dalam mendengar dan menyimak, ada beberapa langkah yang bisa Anda lakukan untuk lebih tahu tentang hal tersebut. Dimulai dari mengeliminasi prasangka terhadap orang-orang yang memiliki kemampuan berbeda dalam mendengar dan menyimak (bahkan lebih baik:  melihat, merasa, berjalan, menavigasi, dan belajar). Banyak-banyaklah membaca tentang gangguan pendengar, pendengaran yang sangat sensitif dan “Deaf gain” (sebuah istilah dalam budaya tuna rungu yang didukung untuk meningkatkan potensi keragaman sensorik dan kognitif untuk berkontribusi pada kebaikan umat manusia yang lebih besar).

Mulailah berbincang dengan banyak orang yang berbeda tanpa tahu sebelumnya kemampuan ataupun ketidakmampuan mereka untuk membuat Anda lebih terbiasa untuk tidak berprasangka dengan tergesa-gesa. Bangunlah dialog yang sehat. Jangan pernah merendahkan teman Anda yang punya kemampuan aural berbeda. Hormati orang lain dalam hal ruang sonik—tentu saja kebisingan tidak terhindarkan dalam hidup, tapi tahu kapan konteks yang tepat untuk membuat kebisingan adalah cara sederhana untuk membuat ruang yang lebih sehat.

Jika Anda adalah seorang pembuat kebijakan, pendidik, penyelenggara acara, teknologis, dan/atau orang yang ingin membuat perubahan yang positif tidak peduli siapa pun Anda, akan sangat diapresiasi jika kita dapat membuat kebijakan, karya seni, sistem pendidikan, acara, dan sistem lain yang selaras dengan keberagaman aural (atau lebih jauh, keragaman tubuh). Mari kita membuat sistem dan penciptaan yang lebih terakses untuk orang-orang dengan aural yang beragam. 

Saya ingat bagaimana teman saya yang tuli berkata bahwa pada akhirnya kita semua akan kehilangan pendengaran saat menua. Namun saya juga belajar dari orang-orang yang mengalami gangguan pendengaran bahwa keseluruhan tubuh kita adalah penerima energi akustik yang cenderung kita abaikan. Saya berharap ini bisa jadi pengingat yang konstan serta ramah untuk kita semua bahwa kondisi dan penerimaan pendengaran tidak lah statis, sebaliknya itu akan terus menerus berubah. 

Kita semua punya profil pendengaran dan kemampuan menyimak yang berbeda.[]

=============================

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Heditia Damanik. Naskah asli dapat dibaca di bawah.

=============================

Hearing & Listening in Diversity: Notes from the Aural Diversity Conference 2019

The ear is our sense that perceives sound. It starts from the pinna collecting and accumulating the acoustical energy; then the energy comes through the auditory canal to reach the ear drum; after the ear drum is vibrated, the energy changes to the mechanical one, vibrating the ossicles to reach the semicircular canal and then the cochlea; in this snail-like organ, the mechanical energy is transformed into the electrical signal by thousands of hair cells; finally, the signal reaches the auditory nerves connecting to the brain which then decodes the signal. This signal is what we call “sound” as the brain interprets.

Stunning, isn’t it?

Well… We must come across the fact that every one of us doesn’t have the same hearing condition as described above. The journey of the acoustical energy reaching the brain doesn’t work ideally in real life. We might have injuries, get diseases, have symptoms, get exposed to loud sound for long time, and have different cognitive capacities that might change the way we hear. What we’ve learned in high schools that the human ears perceive 20Hz-20kHz doesn’t apply to everyone, especially as many people in this world have been living in noisier environments.

Eventually, people don’t have the same exact anatomy and function of the ear. Some people might undergo dislocated ossicles, have ear wax, and lose hair cells which might attenuate frequencies we perceive. Even when I was writing this article, I got runny nose so that I felt I couldn’t hear more ‘properly’ as I usually do.

We all have different hearing profiles and listening abilities. 

I was grateful I could learn more about this matter at the Aural Diversity Conference 2019. The time was so perfect as, at the same time, I had been at the early phase of my research related to music and different hearing profiles. 

The Conference: Embracing the Diversity, Questioning the Assumptions

The Aural Diversity Conference 2019 was held at the University of Leicester’s George Davis Centre and Attenborough Arts Centre, Leicester, UK on 30 November – 1 December 2019. Academic papers, presentations, performances, and artistic statements were presented by aurally diverse people. I got the chance to present my work at the conference (hopefully I can share this with you in a separate article).

This conference is a part of the Aural Diversity project conceived by Andrew Hugill aiming at creating a platform and a set of conventions for concerts where aurally diverse people perform for aurally diverse audiences, offer novel ways of approaching listening experience, and do research with a hope that aural diversity awareness can influence policy in future works of music, audiology, sound studies, environmental design, and hearing aid manufacture.

The term “aural diversity” itself was coined by John Levack Drever in his article series following his study of hand dryer noise effect, in short, explaining that he provocatively coined “auraldiversity” and “auraltypical”, words adapted from the autistic community’s “neurotypical” and “neurodiverse”. The “neurotypical” refers to non-autistic people’s normality and implication of tendency to impose their comprehension of normalcy on everyone else as correct and natural, whereas the “auraldiversity” refers to the actual hearing variety we experience in daily and throughout life in varying degrees, from temporary shifting condition to intolerable pain due to hearing loss as well as highly sensitive hearing.

The Aural Diversity Conference seeks to address complex issues, in which society typically assumes everybody hears the same, and sound and music industries are mostly built on assumption that everybody has the ears of a healthy 18 years old (BS ISO 226:2003). The truth is very different, as already described previously. Thus, the project explores and research the differences in hearing between individuals. 

Day-1: From Hearing & Listening to Artistic Presentations

The two-day conference presented vast arrays of knowledge and perspectives related to hearing & listening, hearing impairment, music & sound art, and everything in-between conveyed by people with backgrounds of audiology, otolaryngology, acoustics, music, therapy, music psychology, media art, literature, creative computing, sound studies, and many more.

In day-1, Dr. Alinka Greasley, the 1st keynote speaker, critically examined how hearing impairments and the use of hearing technology affect musical listening and performance; Prof. William Davies reviewed evidences in autistic listening suggesting a greater auditory perceptual capacity autistic people have, compared to their non-autistic counterparts do; Lena Batra provided an overview, from a clinical perspective, of some factors and strategies in assisting musically diverse patient in full music engagement.

Continuing with some artistic presentations, I presented my fixed audiovisual media exploring sonic, visual, and haptics aspects of interactions with a laptop, as much as possible accommodating a full range of accessibility in enjoying the piece; Simon Allen showed his work involving music, British Sign Language, and projected text with a hope to demonstrate communicative tools for accessibility as aesthetically pleasing; Josephine Dickinson performed a sound poem challenging the boundaries between language, music, and visual art as well as cultural positions in the Deaf (the capital “D” refers to a community) and hearing world; John D’Arcy explored differences in auditory sensory experiences through a technologically-assisted performance.

My audiovisual piece, The (Real) Laptop Music :)), presented at the conference.

The 2nd keynote speaker, Prof. Peter Rea, explored why the perception on the same sound varies so widely between different individuals due to potential sources of error in the journey of sound from the outside to the brain, and how he and his surgeon colleagues are trying to overcome this; Dr. Samuel Couth reviewed the interactions between the effects of musicianship, cognition, age, and noise exposure on hearing abilities; Dr. Marie Thompson and Dr. Patrick Farmer proposed that tinnitus is a complex conceptual object and can be a context-specific that extends beyond the individual listener and ‘ringing in the ears’; Ed Garland suggested that increasing our understanding of sound through reading detailed sonic observations can enhance our overall experience of life with hearing loss and tinnitus.

The Aural Diversity Concert

The finale of the day-1 was the Aural Diversity Concert #2. (The concert #1 was held in July 2019 in Bath, UK.)

The concert included varied musical performances by people with various hearing profiles. What made this concert distinctive was that it offered several ways to listen, including streaming Bluetooth headphones, vibrating floors, BSL (British Sign Language) interpretation, and separate spaces if one felt sensory overload during the performance.

A Bluetooth headphone for flexible listening.

The Bluetooth headphones, ready to use.

Additionally, the concert was equipped with the Concert Conventions written in the booklets, given the varying hearing profiles of the performers and the audiences. In short, the conventions are as follow: 

(1) Listen anywhere, anyhow; 

(2) Decide how to listen before each piece; 

(3) Move about quietly but freely; 

(4) No applause—use ‘flappy hands’; 

(5) Be careful with any object that might make a noise; and 

(6) Respect the hearing needs of others.

The concert convention.

The concert was divided into 5 parts with short breaks in between the pieces. Each piece was supplied with listening suggestions. For example, certain pieces can be listened through loudspeakers, Bluetooth headphones, and/or vibrating floors in a separate space.

In the Part One, Anya Ustaszewski presented a fixed media made of sounds perceived through her embodiment due to her very sensitive hearing; Duncan Chapman presented musical phrases played by live musicians in which the texts were gathered in response to questions related to any sounds that are favorite, inducing a sense of belonging, or missed when the hearing has changed.

The Part Two presented installations. Andrew Hugill presented an audiovisual piece of diplacusis piano, a self-built digital instrument reproducing what he hears when a normal piano is played: ‘detuned’ notes almost across the entire keyboard and decreasing fundamentals in the lower registers; Sam Sturtivant showed his installation of vibrating floor and three loudspeakers utilizing infrasound (lower frequency sound) that may be felt but not ‘heard’ in the conventional sense.

Sam Sturtivant’s vibrating floor.

Andrew Hugill’s Diplacusis Piano installation.

Continuing to the Part Three, John Levack Drever and some conference participants performed live improvisation, along with a pre-recorded and processed track, mimicking hand drier sound through phonation (voice); Ruth Mallalieu presented videos of live performances of jazz standards based on her embodiment being a cochlear implant user; Simon Allen invited audiences to sit closely and played 4 tuning forks, his self-built instruments, and other instruments.

The Part Four was actually the continuation of the Part Two, since the Part Two showed the half duration of the entire installations’ playing time.

The concert was concluded with Andrew Hugill’s piece containing a slideshow and selected bird songs responded with 3 musicians playing a clarinet, an accordion, and a harmonium.

Day-2: From Artistic Presentations & Statements to Soundscape, Environment, & Acoustic Ecology

It didn’t stop there. The conference continued with menu as varied as the day-1 was. Prof. Andrew Hugill, the 3rd keynote speaker, started the day-2 by exhibiting his qualitative research study of how Ménière’s Disease and other forms of hearing impairment affect musicians and their music; Christopher Cook examined a less-emphasized case of hearing abilities as the first symptoms of dementias through a person having mild cognitive impairment (MCI).

After a short break, Dr. Balandino Di Donato, Dr. Tychonas Michailidis, and Christopher Dewey presented a system prototype facilitating people to design and experience sound through auditory, visual, and haptic; Prof. Matthew Sansom discussed that aural diversity, participation, and accessibility are considered through the lens of interdisciplinary arts practice with the case of parkbenchsojourn.org; Dr. Matthew Spring explored how deafness affected Thomas Mace’s thinking on music and the practical steps taken to continue his professional musical life after being deaf at the age of 50.

Prof. John Levack Drever presenting Phonating Hand Dryers: Exploits in Aural Diverse Composition and Co-Composition.

Under the topic of soundscape, environment, and acoustic ecology, Prof. John Levack Drever, the 4th keynote speaker, exploited concerns related to auraltypical and auraldiversity hearing through sonic works involving composer, performer, and audience relationships based on the study of noise-impact of high-speed hand driers in public WCs; Dr. Karla Berrens Torruella proposed alternative ways of hearing and inhabiting space in an urban environment in Barcelona.

Josephine Dickinson presenting ALPHABETULA, accompanied with a BSL interpreter.

The conference included several artists’ statements. Alan Jacques shared his experience of having Cochlear Amusia (musical disorder of processing pitch) caused by Ménière’s Disease with which he has learned to live as a piano player; Josephine Dickinson, a Deaf composer/artist/poet, questioned distinctions between composition of sound, words, and visual forms through her sound poem work; Lena Batra embraced the in-between through her journey before and after her hearing loss and shared an understanding of elements and experience a professional or academic paper can’t capture.

Lena Batra discussing her personal experience and understanding on hearing loss and music.

In the finale of day-2, Dr. Meri Kytö examined how a coded soundscape in a cochlear-implant user shapes our understanding of knowing place by listening (or acoustemology); Johan Malmstedt questioned audism in the realm of bioacoustics and proposed advancement in bioacoustics listening and accentuation in the diversity of ecological ears.

Aural Diversity and Its Future

The Aural Diversity Conference 2019 was a really unique conference that brought up various perspectives in hearing and listening which inevitably involve interdisciplinary fields. Not only did the conference comprise of compact and various fields exploring differences in hearing and listening, but also it implicitly encouraged thinking in aural diversity.

It means thinking of how we can contribute to provide as much as possible access to many people with diverse hearing abilities. It then leads to, depending on the backgrounds, how we philosophically and practically approach creations, compositions, services, and other manifestations of thoughts ethically as well as aesthetically, effectively, and inclusively.

The perspectives offered by the conference participants have embraced thoughts that thinking in aural diversity also means thinking beyond disability. Our hearing and listening differences should be seen as diversity complementing each other hearing profiles, I argue. In some cases, hearing loss may evoke pains I can’t ever imagine, but as a ‘normal-hearing’ person I became more impressed with how aurally diverse people at the conference have coped with their lives through their own ways and explored artistic possibilities to create reflective works.

Additionally, I found the materials presented at the conference have supplied ‘missing’ or ‘neglected’ chunks of knowledge to many fields, especially music and sound-related industries. As the world have been mostly built on the assumptions that all people hear in the same way and ‘are supposed to’ listen in creators’ ways of ‘perfect’ hearing and thinking, we tend to forget and ignore the aspect of “the perceiver of message”. 

Our body and its embodiment affect the way we perceive and eventually shape the way we think and feel. We perceive the same object differently, depending on our condition of perceptions. It even applies to people with ‘normal’ hearing. This kind of awareness tends to be overlooked in the academic environment where in many situations it is the ontological aspect of creation which has been taught and emphasized in learning and creation—music is no exception.

Not only in an artistic practice but also in other fields, thinking in aural diversity also means thinking of aesthetical possibilities. A creative question such as, “To whom do we want to show our work?” may be a good starting point before deciding what technical aspects we should approach to convey “the message” better to our audiences, viewers, participants, collaborators, etc.

Sharing the aural diversity awareness is an essential task in making a better environment. However, this is not easy. People are still struggling to share the awareness of disability and accessibility. Moreover, there still have been gaps of thinking shaped by “bodily typical” towards “bodily diverse” people—both are my terms. Communication has to be built to bridge misunderstanding and resolve misconceptions.

The situation is even more difficult. People with various hearing conditions are not visible compared to, for example, amputee and blind people. Also, in my point of view, because we gradually tend to be visualist and we can’t ‘see’ sound, crucial matters including policy-making, education accessibility, space-planning, and everything related to and involving sound have been long disregarded. 

Just like a visualist, an audist also tend to exclude classes not belonging to their ‘normalcy’. Audism favors a ‘normal’ hearing as a perfect body and advocates a ‘perfect’ listening mode. Audism and visualism feel like racism and favoritism at the same time.

Therefore, if you happen to read this article and barely know about differences in our hearing and listening, there are some steps you can do to know more about them. Start by eliminating your prejudice against people’s differences in hearing and listening (even better: seeing, sensing, walking, navigating, and learning). Read as much as you can about hearing loss, highly-sensitive hearing, and “Deaf gain” (a term in a Deaf culture endorsed to bolster sensory and cognitive diversity potential to contribute to the greater good of humanity). 

Start making conversations with many different people without having prior knowledge of their ability or disability to make you more accustomed not to make an instant slippery judgement. Build a healthy dialogue. Never underestimate your aurally diverse colleagues. Respect other people in terms of sonic space—of course noise is inevitable in life, but knowing when the right context is if you want to make noise is a simple way to make a healthy space. 

If you are policy-makers, artists, educators, event organizers, technologists, and/or persons who want to make positive changes no matter who you are, it would be much appreciated if we can make policies, artistic works, education systems, events, and any other systems that conform aural diversity (or even further, body diversity). Make our systems and creations more accessible to aurally diverse people.

I remember my deaf friend said that we all eventually lose our hearing as we age. But I’ve also learned from hearing-impaired people that our body is a whole acoustical energy receptor we tend to overlook. I hope this will be a constant, friendly reminder to all of us that hearing condition and perception is not static—it’s always being in a state of flux.

We all have different hearing profiles and listening abilities.[]