(Ilustrasi: @candraniyulis)

Watu cilik jenenge krikil, serok cilik arane sothil,
Menthol neng dada, jenenge kutil
Kewan cilik arane jangkrik, rada cilik arane kepik,
nggonanmu kuwi tempe kripik

Lagu “Watu Cilik” milik kelompok Sri Redjeki yang konyol dan kocak pernah menggoyang jagat musik populer di Yogyakarta pada medio 2000. Betapa tidak, lagu dengan diksi jenaka yang mengajak pendengarnya berpikir saru (jorok) itu ternyata digemari oleh publik Jogja. Sri Redjeki tak seorang diri, kelompok-kelompok musik lain turut meramaikan gempita musik parodi di Jogja. Keanehan dan keunikan dari lirik, musik, dan aksi panggung  mampu mengocok perut para pemirsanya.

Tulisan ini mencoba menyoroti kembali jejak-jejak eksistensi grup-grup musik populer di Jogja, yang pernah berinovasi di luar kebiasaan dari band-band populer pada umumnya. Jagat musik populer di Jogja sempat meletup dengan kehadiran kelompok musik humor seperti The Produk Gagal, Sri Redjeki, Sastromoeni, dan Kornchonk Chaos, dan Genk Kobra. Mereka menawarkan “kesegaran” bentuk musikal hingga performativitas. Lagu-lagu mereka mayoritas bertema sosial baik percintaan hingga kritik tentang moral, yang disampaikan dengan cara yang konon dianggap nyleneh (aneh). Hal itu tampak terlihat kontras jenis-jenis genre musik populer yang hidup Jogja.

Mengulik satu per satu barisan nama-nama band humor di Jogja, yang pertama saya mulai dari  Sastromoeni.  Dirangkum dari berbagai sumber, band warisan turun temurun ini dibentuk oleh mahasiswa sastra di Fakultas Ilmu Budaya UGM tahun 1987. Band ini sudah berkali-kali bongkar pasang personil. Sastromoeni (Sasmoen) yang dikenal saat ini identik dengan lagu parodi “gado-gado” bersifat jenaka yang disajikan menggunakan format combo band. Salam telu papat menjadi icon yang khas dari Satromoeni. Sastromoeni memarodikan berbagai jenis lagu-lagu baik dari dalam maupun luar negeri yang diolah secara medley dengan mengganti lirik-liriknya. Berikut contoh-contoh penggalan lirik lagu “Sephia” milik Sheila on 7 yang dicampuradukkan dengan beberapa lagu lain seperti “Begadang” (Rhoma Irama) dan OST. Sinetron Keluarga Cemara. Berikut penggalan lagunya:

Selamat tidur kekasih gelapku, walau tiada artinya..
Begadang boleh saja,asal ada sephia..
Selamat pagi emak-selamat pagi abah..
Juga engkau sephia kekasih gelapku..

Contoh lirik lainnya :

Sentuhlah dia tepat dihatinya, diakan jadi milikmu selamanya..
Sentuh dengan sepenuh cinta.. (Rahasia Perempuan: Ari Lasso)
kau pergi dan hilang kemanapun kau suka (Seberapa Pantas: So7)
celakanya tidak semua laki-laki (Tidak semua laki-laki),
riwayatmu kini…(Bengawan Solo)
mie instan superior, rasanya boleh-boleh diadu.. (iklan mie superior)

Ada Sastromoeni, ada juga Sri Redjeki. Sri Redjeki dulunya dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa seni pertunjukan lintas jurusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Genre yang dihadirkan bernuansa musik keroncong yang dikolaborasikan dengan nuansa genre musik lain seperti pop, hip-hop, blues, hingga dangdut. Lagu Sri Redjeki yang paling ngehits berjudul “Watu Cilik” (Batu Kecil) yang identik dengan diksi-diksi bahasa yang provokatif menjurus vulgar. Lagu lain yang diproduksi Sri Redjeki antara lain “Copet” dan “SAN” (Pelampiasan). Lagu-lagu humor milik Sri Redjeki mencerminkan kritik sosial tentang moralitas, salah satunya tercermin dalam lagu berjudul “SAN” (Pelampiasan), berikut penggalan liriknya :

Orang bujang, sangat lajang,
Mandi jadikan ajang untuk membuang si anak tersayang
Gadis Prawan, butuh belaian
Timun dan terong tak dimakan
Hanya dijadikan sebagai pelampiasan
Apakah kau merasa satu dari mereka,
mungkinkah kau merasa orang yang tak berdosa
Ingatlah wahai kawan, kau manusia..

Lain lagi cerita dari grup musik The Produk Gagal. Grup yang digawangi oleh MC kocak dari Jogja, Gepeng Kesana-Kesini, ini menawarkan bentuk musikal dan aksi panggung hampir serupa dengan Sri Redjeki. Yang membedakan adalah nuansa musikal keroncong dangdut yang lebih kental. The Produk Gagal kala itu populer dengan lagu “Misteri di Balik Punggung” yang mengangkat tema tentang asmara, namun menggunakan diksi-diksi bernuansa parodi. Contohnya tercermin dalam penggalan lagu “Misteri di Balik Punggung” berikut:

Kala kupandang bulat matamu, kala ku lihat nonong jidatmu
Ingatanku slalu tertuju ikan louhan kesayanganku
Lain dahulu lain sekarang, pacarku yang dulu memang jagoan
Paras tampan bodi pragawan, bikin deg-deg ser  semua perawan, nggak kaya kamu
Terimalah aku, yang menerimamu, jangan lagi kau hina ku seperti itu
Lupakanlah semua, pacarmu yang lama, marilah bercinta hanya denganku saja

Satu nama lagi yaitu Kornchonk Chaos. Pada  masanya grup ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa seni rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Genre musik yang dibawakan yaitu keroncong modifikasi yang mereka sebut melodic chonk asick. Kornchonk Chaos memilih genre musik yang dianggap kurang populer, yaitu keroncong. Di balik alasan pemilihan genre itu, tersimpan tujuan mulia yaitu untuk sebagai upaya transmisi budaya musik Indonesia kepada generasi muda, supaya tidak melupakan budayanya sendiri. Kornchonk Chaos populer dengan lagu-lagu seperti “Eminem”, “Celaka”, “Kuburan Cinta”, dan “Seniman Gadungan”.

Rambut gondrong sok seniman, ngakunya jagoan gitar
Disuruh gitar metalica malah jadinya mirip jathilan
Ternyata dia bohong, ternyata dia dusta
Ternyata dia cuma seniman gadungan

Lain cerita dengan band bernama Genk Kobra. Nama Genk Kobra sempat akrab di telinga masyarakat Jogja. Aliran musik yang dipakai dalam karya-karyanya cenderung ke arah pop alternatif. Genk Kobra berasal dari Solo namun tampil eksis di Jogja berkat lagu berjudul “Ngayogyakarta”. Lagu tersebut bercerita tentang panorama-panorama Yogyakarta, baik dari landmark, hingga kearifan lokal seperti basa Jawa Walikan yang diolah menjadi lirik lagu dengan diksi-diksi yang jenaka. Lagu ini pernah ngetren dan  menjadi theme song dari Yogyakarta pada waktu itu jauh sebelum lagu “Jogja Istimewa” dari JHF. Lagu “Ngayogyakarta” acapkali diputar di radio-radio dan televisi lokal di Yogyakarta. Berikut penggalan liriknya:

Ngayogyakarta, kuthane aman berhati nyaman
Kota seniman, kota pelajar lan kabudayan
Daerah Yogja ono papat kabupatene
Gunung Kidul, Sleman, Bantul, Kulon Progo batese
Dalad sangi, lan nyothe kuwi basa premane
Yen tak pikir aku mesthi kekelen dewe
Sikil gudig aja dikukur lan di thithil
Tangan reget aja nggo uthik-uthik upil
Sirah ngelu lan mumet pada ngombea pil
Dadi uwong sing sugih aja dadi pokil

Lagu lain dari Genk Kobra yang menarik berjudul “Ning nong ning gung”, diinspirasi dari lagu folklor Jawa yang cukup arkais, jarang didengar banyak orang. Lagu-lagu Genk Kobra tidak semuanya berunsur parodi, lebih kepada kritik-kritik sosial, dan performativitasnya juga tidak senekat band-band parodi lainnya. Kehadiran Genk Kobra di jagat musik populer Jogja meninggalkan jejak memori yang impresif, tidak hanya dari musikalnya saja tetapi keragaman material yang diolah dalam lagu-lagunya. Lagu-lagu Genk Kobra memberikan kesan dan pesan tentang identitas kultural orang Jogja bagi pendengarnya.

Media Kritik yang “Aman”

Menonton pergelaran musik humor akan menemui pengalaman estetik yang berbeda dengan musik-musik band pada umumnya. Penonton akan dihadapkan dengan sajian pertunjukan musik yang dianggap nyleneh (aneh) dan terkesan “main-main”, Hal tersebut nampak terlihat dari garapan musikal hingga nonmusikal yang merangsang penonton untuk melepas tawa. Bahasa yang digunakan dalam lirik lagu tersusun dari diksi-diksi yang mengandung humor. Aksi panggung, serta penggunaan kostum riasan yang serampangan, cenderung ngawur. Kostum-kostum yang mereka kenakan di antaranya piama, kostum female impersonator, baju Korpri, tentara, polisi, superhero, dan sebagainya. Meskipun terkesan main-main, gaya musikal dan performativitas yang disajikan tersebut merupakan sebuah idealisme bagi mereka yang sudah melewati proses kreatif dan artistik.

Merebaknya genre-genre musik popular di Jogja, tampaknya masih menyisakan “ruang kosong”. Kreativitas para grup band humor dalam mengolah bentuk musik dan performativitas mampu menempati “ruang kosong” itu untuk unjuk gigi. Musik “main-main” ini seperti menyiratkan bentuk perlawanan terhadap kemapanan genre-genre musik populer yang ada di Jogja. Konsep “main-main” inilah yang justru membawa mereka menapaki jagat musik populer Jogja ke jenjang yang lebih komersil namun tetap “membumi”.        

Penyajian musik humor seolah-olah hanya menawarkan hiburan yang ringan, segar, dan tidak terlalu banyak berpikir. Di sisi lain, lagu-lagu humor dari band-band tersebut sayup-sayup mengimplisitkan kritik sosial tentang moralitas masyarakat. Garapan musik dan pertunjukan dengan konsep humor dianggap sebagai cara yang cukup aman untuk menyuarakan kritik sosial meskipun kadar kritiknya cukup frontal. Pada dasarnya, humor lekat dengan komunikasi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang datang melalui rangsangan verbal dan nonverbal. Humor mampu meringankan ketegangan dalam diri seseorang serta efektif sebagai media kritik. Selain itu subyek yang disasar tidak merasakan kritikan sebagai konfrontasi (Hermintoyo, 2011: 15). Danandjaja menegaskan bahwa dalam humor sebuah pertunjukan seni tidak dimintai pertanggungjawaban, prinsipnya adalah humor adalah bagian dari folklor yang dimiliki secara kolektif (dalam Ibrahim, 2006: 11).

Setiap kultur masyarakat tentu punya perlakuan yang berbeda-beda dalam mengekspresikan humor. Bercermin pada kelompok-kelompok musik humor di Jogja, mereka menggunakan atribut kedaerahan yang dimasukkan dalam garapan musiknya. Salah satu unsur kedaerahan yang cukup terasa yaitu penggunaan bahasa Jawa yang disusun menjadi diksi yang jenaka. Diksi yang jenaka tersebut bisa jadi lekat dengan hal-hal kecil yang sering didengar dan menjadi kebiasaan, atau bersinggungan dengan konstruksi norma di masyarakat. Mengambil contoh penggalan dari lagu “Watu Cilik” milik Sri Redjeki:

Awak ayêm bar nonton dugêm, (tubuh tenang habis dugem)
Pingin sênêng maino neng Sarkêm, (Ingin senang pergi ke Sarkem)
Pingin urip sênêng, (Ingin hidup senang)
Uripa neng Pakêm.  (Tinggallah di Pakem)

Susunan kalimat tersebut tidak hanya serasi mengandung rima ê pada akhir kalimat, tetapi juga menyiratkan kritik sosial. Sri Redjeki meletakkan kata Sarkêm akronim dari Pasar Kembang yang menunjuk tempat lokalisasi, dan Pakêm adalah sebutan dari Rumah Sakit Jiwa Grhasia yang letaknya di Kecamatan Pakem, Sleman. Bagi masyarakat Jogja, kedua nama tempat tersebut cukup ikonik dan familier dengan gambaran kontekstual yang ada. Melalui penggalan lagu itu Sri Redjeki menggarisbawahi pesan moral kepada publik bahwa jika ingin hidup senang tanpa beban “dunia” tinggallah di Rumah Sakit Jiwa. Selain lagu “Watu Cilik”, kritik tentang moral juga tercermin dalam lagu berjudul “SAN” yang menyoroti kebiasaan onani atau masturbasi. Ada juga lagu “Ning nong ning gung” milik Genk Kobra yang menyinggung tentang “Jaman Edan”, dan lain sebagainya.

Melalui pendekatan kultural, humor yang bersifat sarkas mungkin lebih terasa aman untuk dipertanggungjawabkan, karena pada dasarnya yang menciptakan materi humor adalah masyarakat itu sendiri. Begitu pula dengan musik humor yang menyajikan sarkas dalam bentuk “main-main”. Orang yang mendengarkan dan menonton tidak akan merasa tersinggung karena materinya jenaka dan cara pembawaannya yang terkesan “main-main”.

Euforia Sesaat

Musik humor/parodi/jenaka sejatinya bukan produk baru dalam jagat musik Indonesia. Dekade tahun ’70an pernah populer grup-grup humor, sebut saja Pengantar Minum Racun (PMR) dan Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Mereka mengangkat tema tentang konteks moralitas masyarakat Indonesia, dengan percampuran nuansa musikal antara pop, dangdut, dan keroncong. Pro-kontra di masyarakat tentang kehadiran mereka lumrah terjadi, mengingat konstelasi politik yang kaku di masanya. Dekade tahun 2000an, muncul grup musik humor Teamlo, Genk Kobra, dan PecasNdahe yang berasal dari Kota Solo. Teamlo cukup sukses mengambil hati dalam industri pertelevisian Indonesia, beberapa televisi swasta kerap menayangkan Teamlo sebagai pengisi acara dalam beberapa program acara. Perlahan, televisi ikut andil membangun gelombang pasar musik humor di tanah air.

Eksistensi band-band humor di jagat musik populer Jogja tidak diperoleh dengan instan. Pada kasus beberapa band seperti Sri Redjeki, Kornchonk Chaos, dan Sastromoeni, karya-karya mereka pada awalnya hanya di konsumsi oleh kalangan sendiri di lingkungan kampusnya masing-masing. Seiring berjalannya waktu dan telah melewati proses yang berliku,  lagu-lagu mereka mulai dikenal dan dikonsumsi oleh publik di Jogja baik dalam format audio maupun video klip. Hemat saya, puncak eksistensi dan produktivitas mereka sebagai band humor terbangun pada medio tahun 2000, antara tahun 2002 – 2010.  Mereka kerap mengisi panggung-panggung hiburan, seperti dalam festival musik, pensi-pensi sekolah/kampus hingga acara amal. Meskipun pada saat itu Jogja-Jateng sempat dilanda gempa bumi tahun 2006, eksistensi mereka tidak serta merta lenyap. Pasca gempa bumi Jogja, mereka masih kerap tampil mengisi panggung amal dalam rangka penggalangan dana untuk korban gempa bumi.

Euforia eksistensi dan popularitas musik humor di Jogja tidaklah kekal. Musik humor yang dulu pernah memperoleh pasar, kini tergerus oleh arus pergerakan musik populer lainnya. Musik populer di Jogja mengalami inkonsistensi selera pasar. Hal itu dibuktikan dengan redupnya nama-nama grup musik humor tersebut di jagat musik Yogyakarta. Banyak faktor yang memengaruhinya, baik masalah internal dan eksternal yang menghambat produktivitas serta eksistensi masing-masing kelompok. Inkonsistensi pasar adalah keniscayaan, musik sebagai komoditas memantik dan memaksa musisi-musisi untuk lebih produktif lagi. Musisi-musisi harus pandai menghadirkan tawaran-tawaran baru jika ingin tetap hidup lewat jalur itu musik.

Menanti Novelty

Jogja menjadi ladang eksistensi bagi para musisi untuk berkreasi, memproduksi, dan mentransmisikan karya-karyanya. Sarana dan prasarana yang mudah diakses serta iklim berkesenian yang kompetitif, turut menyuburkan dan membuahkan beragam genre musik dari masa ke masa. Perbendaharaan musik populer di Jogja khususnya dan mungkin Indonesia pada umumnya ibarat pelangi, penuh warna, bercita rasa, namun temporal. Inkonsistensi pasar mengindikasikan bahwa proses kreatif musisi populer di Jogja terus bergeliat dan berkembang. Di lain sisi inkonsistensi juga turut memudarkan warna-warna yang sempat terajut. Nama-nama seperti Sri Redjeki, Sastromoeni, dan The Produk Gagal masih terdengar di  Jogja hingga sekarang. Mereka tidak lenyap begitu saja, namun tengah berada dalam ruang remang-remang. Beberapa di antaranya mencoba berakselerasi meraih posisi seperti sediakala dengan memanfaatkan platform-platform digital yang ada.

Dulu, musik humor pernah berjaya di Jogja melalui material bertema sosial dan kritik moral dengan sentuhan saru, konyol, kocak, serta bercitarasa kedaerahan yang kuat, “pokoke Jogja banget”. Saat ini, pasar musik populer Jogja dipegang oleh musik bergenre dangdut eksploratif, hip-hop, dan akustik. Musik jenis ini ramai dikonsumsi oleh publik Jogja terutama oleh kalangan muda. Tema-tema yang dijadikan pijakan kelompok-kelompok tersebut semuanya hampir sama, menyoal tentang masalah percintaan.  Mereka mengkomodifikasi kesedihan menjadi ladang eksistensi, popularitas, dan materi. Kedigdayaan bentuk musikal ini masih bercokol di puncak popularitas musik populer di Jogja. Bukan tidak mungkin, popularitas dan pasar dangdut eksploratif, akustik, dan hip-hop akan diambil alih oleh musik humor atau yang lainnya, ketika mereka mampu berakselerasi menawarkan kebaruan. Tentu bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat “perang” kreativitas akan terus berlangsung untuk mempertahankan identitas, eksistensi, dan popularitas. 

Referensi

  • Julianto Ibrahim. “Teater Rakyat Sebagai Media Kritik Sosial: Fungsi Humor dalam Seni Pertunjukan Lenong Betawi. Jurnal Humaniora, Volume 18, Nomor 1, Februari 2006. Universitas Gajah Mada.
  • M. Hermintoyo.” Aspek Bunyi Sebagai Sarana Kreativias Humor”. Kajian Sastra Jurnal Bidang Kebahasaan dan Kesusastraan, Vol. 35, No 1 (2011). Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.