Dua puluh tahun berlalu sejak pertama kali dirilis, saya berani bilang kalau saya masih hapal semua lirik di album kedua Sheila on 7, “Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan”. Mulai dari track pembuka “Sahabat Sejati” hingga track epilog “Selamat Tidur”, saya bisa tahu tepatnya kapan ada wowowow atau a..a..a..a yang dilagukan oleh Duta.
Lalu di beberapa bulan ini saya sering mendengar album “Lexicon” milik Isyana Sarasvati lewat platform streaming seperti Spotify atau YouTube. Butuh waktu yang cukup lama untuk saya bisa sing along tanpa harus didampingi teks di internet.
Saya merasa bahwa semakin hari semakin sulit untuk menghapalkan lirik. Asumsi awal mungkin karena faktor usia. Namun, hal ini bisa juga disebabkan oleh faktor lain seperti cara mengakses musik dan/atau faktor keseriusan dalam mendengar musik.
Beberapa waktu lalu saya membaca buku The Shallows karya Nicholas Carr (2010). Secara umum, buku ini menerangkan tentang apa yang dilakukan oleh internet terhadap otak kita. Carr mengurai tentang sifat plasticity yang dimiliki oleh otak kita. Plasticity artinya otak bisa berubah secara terus menerus merespon pada pengalaman dan kelakuan kita. Menurut Carr, kebiasaan kita berinteraksi dengan internet memengaruhi kemampuan otak karena adanya sifat plasticity tersebut.
Internet memunculkan banyak distraksi karena informasi yang melimpah ruah dalam bentuk hyperlink. Ketika kita membaca tulisan di internet, biasanya ada kata atau kalimat yang memuat hyperlink. Distraksi pun muncul. Ketika kita belum selesai membaca satu artikel, kita pindah lagi ke artikel yang lain lewat hyperlink. Pola ini dalam waktu yang lama membuat otak kita menjadi dangkal (shallow) karena organ tubuh penting tersebut harus berpindah dari satu fokus ke fokus lain dalam waktu yang cepat.
Kebiasaan untuk berpindah fokus dalam waktu yang cepat juga disinyalir akan membuat kita kesulitan untuk menyimpan memori jangka panjang. Carr menjelaskan untuk mengingat sesuatu, ada proses konsolidasi memori di dalam otak kita. Konsolidasi memori adalah kategorisasi proses untuk menstabilkan jejak memori atau perubahan dalam sistem saraf yang disebabkan oleh menghafal sesuatu setelah akuisisi awal. Kunci dari konsolidasi memori adalah perhatian (attentiveness). Menurutnya, untuk menyimpan memori dan juga untuk menghubungkan satu memori dengan yang lain membutuhkan kosentrasi yang tinggi, pengulangan terus menerus, serta keterlibatan intelegensi dan emosional yang intens. Semakin tajam atensi kita, semakin kuat pula ingatan kita.
Kelihatannya sederhana, ya? Kalau mengingat, ya menghapal. Tapi, ternyata saat kita terhubung dengan jaringan, menghapal pun tidak semudah itu. Alasannya adalah distraksi. Gelombang informasi yang berlomba-lomba yang kita dapat saat online, tidak hanya memenuhi memori kita, tapi juga membuat lobus frontal otak kesulitan untuk memberikan atensi pada masing-masing hal. Oleh karena itu, konsolidasi memori menjadi sulit dilakukan.
Karena sifat plasticity yang dijelaskan di atas, semakin kita menggunakan internet, maka semakin kita melatih otak untuk terdistraksi. Proses informasi yang kita dapat sangat cepat dan sangat efisien, namun tanpa perhatian yang sebenar-benarnya dan berkelanjutan. Itulah kenapa sekarang kita merasa lebih sulit untuk menghapal.
Saya kemudian meminjam uraian Carr tersebut untuk menjawab pertanyaan tentang mengapa saat ini menghapal lirik terasa lebih sulit. Seperti yang saya ungkapkan pada awal tulisan, kemampuan saya untuk menghapal lirik pada album “Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan” dan “Lexicon” cukup berbeda. Namun harus digarisbawahi juga kalau cara mengakses dan tingkat keseriusan dalam mendengarkan kedua album tersebut pun berbeda.
Pertama, soal akses musik. Media pemutar (music player) untuk kedua album ini memang berbeda. Untuk album “Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan”, saya mendengarkan lewat pemutar musik manual, dalam hal ini tape. Sementara untuk album “Lexicon”, saya mendengarkannya lewat platform online.
Bila menghubungkan kasus perbedaan akses musik yang saya alami dan apa yang diuraikan oleh Carr, saya mulai bisa mengintip jawabannya. Dua puluh tahun lalu, akses terhadap musik tidak semudah dan semurah saat ini. Untuk bisa mendengarkan sebuah album, kita perlu berusaha. Usaha dalam hal ini adalah finansial dan waktu. Kita butuh finansial karena harus membeli rilisan fisik. Selain itu, kita juga butuh waktu untuk mendengarkan setiap track. Apabila kita suka pada satu track tertentu, maka kita harus menunggu untuk mendengarnya lagi setelah lagu yang lain dimainkan. Atau kita juga bisa forward dan rewind, namun hal itu juga membutuhkan upaya terkait presisi dan juga dampaknya pada kualitas kaset. Selain itu, bila ingin sing along, kita harus buka lirik di cover kaset. Proses sing along dengan membuka cover kaset ini yang membuat atensi dan konsentrasi kita atas lirik menjadi tinggi. Kita berfokus hanya pada suara yang keluar dari loudspeaker dan lirik pada cover kaset di tangan.
Bila mendengar lewat platform digital, kita punya pilihan yang sangat tidak terbatas. Misalnya saat mendengar “Lexicon” milik Isyana, saya bisa saja langsung memainkan track favorit saya, yang juga berjudul “Lexicon”, tanpa usaha yang ribet dan hanya butuh sentuhan telunjuk di layar gawai. Pun, saya tidak perlu repot-repot menyisihkan gaji untuk membeli rilisan fisik karena sudah tersedia gratis di Spotify dan YouTube.
Tidak hanya bisa langsung mendengarkan track yang dimau, lewat platform digital saya pun tergerak untuk mengakses album dan lagu dari musisi lain karena memang tersedia di situ. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Carr, kontak yang intensif dengan internet membuat otak kita terbiasa dengan distraksi akibat gelombang informasi yang luar biasa. Sehingga, saat mendengarkan “Lexicon”, saya bisa saja langsung pindah ke album “Fine Line” milik Harry Styles atau ke album “Rouge” milik Yuna, atau ke album-album lain yang terus bertambah setiap hari di platform digital.
Kedua, soal keseriusan mendengarkan musik. Dengan album “Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan”, saya punya waktu khusus untuk mendengarkan musik. Misalnya sore hari setelah semua kerja domestik selesai. Saya akan duduk di depan tape, sing along sambil membuka cover kaset. Mengapa begitu serius? Bisa jadi karena pada saat itu saya tidak punya pilihan lain untuk mengisi waktu luang.
Namun saat ini, hal itu sangat jarang terjadi. Mungkin karena di masa kini pilihan kegiatan untuk menghabiskan waktu seperti tidak terbatas. Aktivitas mendengar musik dewasa ini hanya sekedar teman untuk berkegiatan yang lain; mendengarkan musik sambil kerja, sambil naik kendaraan umum, sambil membaca, sambil berjalan kaki, sambil masak, dll. Jarang sekali, mendengarkan musik menjadi kegiatan utama. Akibatnya, atensi terhadap lagu juga tidak pernah tinggi karena hanya didengar sambil lalu.
Mungkin hal ini tidak terjadi pada saya saja. Karena kenyataannya, di platform digital banyak sekali playlist yang dibuat untuk menjadi teman berkegiatan. Misalnya playlist belajar, playlist berlari, playlist minggu pagi, dsb.
Jadi asumsi saya, mendengarkan musik secara manual dan tidak menjadikan kegiatan mendengarkan musik sebagai pelengkap bisa membuat kita mengingat lirik dengan lebih mudah karena atensi kita yang tinggi terhadap musik tersebut.
Namun hal yang paling penting menurut saya bukan terkait musik dan lirik saja, melainkan tentang kehidupan sehari-hari, di mana kita sebaiknya bisa memberi atensi pada hal-hal di sekeliling kita dan meminimalisir distraksi-distraksi yang tak berkesudahan di dunia maya.[]