Posisi biduan lanang—alias laki-laki—dalam skena musik dangdut tanah air bukan hal baru. Jauh sebelum hari ini, the living legend, Rhoma Irama sudah memproklamirkan diri sebagai biduan laki-laki dalam musik dangdut. Bahkan ia telah didapuk sebagai raja dangdut berkat kegemilangannya dalam bermusik. Di eranya, Rhoma Irama tidak sendiri, ada biduan tampan yang bergaya laiknya Elvis Persley, yakni A. Rafiq; biduan laki-laki yang namanya mulai meledak setelah menyanyikan lagu karangan Obbie Mesakh, “Lebih baik Sakit Gigi”, Meggy Zakaria a.k.a. Meggy Z; biduan laki-laki yang juga membawa lagu-lagu kesedihan cinta, Mansyur Subhawannur a.k.a. Mansyur S.; hingga biduan sekaligus presenter yang terkenal dengan frase, “Apaan tuh!”—sambil menutup salah satu matanya, Jaja Mihardja. Tidak hanya mereka, di belantika musik dangdut era 1970 hingga 1990-an, biduan laki-laki tumbuh subur dalam industri musik.

Pada era 2000-an, ketika kemunculan ratu dangdut koplo, Inul Daratista, fokus visual dari pergelaran dangdut—mau bagaimanapun—bergeser. Popularitas biduan laki-laki semakin berkurang, goyang dengan beraneka ragam gaya lebih digemari penonton laki-laki, mulai dari goyang ngebor a la Inul Daratista, goyang patah-patah a la Anisa Bahar, goyang ngecor a la Uut Permatasari, goyang gergaji a la Dewi Persik, hingga goyang yang tenar dalam sepuluh tahun ini, goyang itik a la Zaskia Gotik dan goyang dribble a la Duo Serigala. Singkat kata, masyarakat lebih suka goyang, terlebih dangdut identik dengan goyang. Serrrr!

Dari perkembangan goyang tersebut, kehadiran Inul dan goyangnya—mau tidak mau—membuat dangdut koplo lebih tersorot banyak oleh media dan masyarakat. Hal ini tentu menarik, di mana daerah juga mempunyai kuasa dan pengaruh dalam perkembangan musik dangdut yang sebelumnya hanya terpusat di Jakarta. Hingga pada puncaknya adalah kebangkitan dangdut koplo lima tahun belakangan dengan membawa wajah-wajah baru biduan perempuan milenial yang lebih “kinyis-kinyis”, macam: Via Vallen, Ratna Antika, Nella Kharisma, Tasya Rosmala, Jihan Audy, Deviana Safara, dan kesukaan saya, Imelda Veronica, serta masih banyak lainnya. Kendati demikian, tetap saya tegaskan bahwa biduan laki-laki tetap ada dan tidak kalah tenar, semisal: Brodin di New Pallapa, Sodiq New Monata, ataupun Gery Mahesa. Namun popularitas mereka tetap tidak dapat melebihi para biduan perempuan milenial tersebut.

Alih-alih Via Vallen, Nella Kharisma, dan biduan perempuan lainnya terus menjadi perhatian. Tiga tahun belakangan ini terjadi fenomena menarik, di mana biduan laki-laki—atau saya menyebut mereka dengan biduan lanang—milenial mendapatkan popularitas yang tidak kalah besar. Namun jika ditelisik akan popularitas mereka, beberapa biduan lanang ini sudah hadir dan berjibaku dengan industri musik dangdut sejak tahun 2011/2012. Hanya saja baru terjadi tiga tahun belakangan, popularitas mereka melejit dan musik mereka menjelma menjadi kecenderungan musik dangdut pada era ini. Hal yang menarik, kehadiran mereka tidak hanya menjadi pelengkap biduan perempuan, melainkan menjadi tawaran baru, baik soal musik hingga soal formasi.

Biduan lanang dapat berbentuk solo, duo, trio, ataupun band, yang menyanyikan lagu mereka sendiri. Kebanyakan lagu dari biduan lanang ini menyoal mengenai persoalan anak muda pada umumnya: cinta. Dengan cara ungkapnya masing-masing, ihwal galau, baper, hingga ambyar mereka nyanyikan dengan menggunakan bahasa Jawa. Tidak hanya itu, beberapa biduan lanang saling bahu membahu untuk menjadikan musik mereka menjadi tren dangdut di Jawa. Hal yang menarik, orkes melayu Dangdut Koplo di Jawa Timur turut melirik lagu-lagu dari para anak muda ini. Bahkan mereka turut memainkannya di panggung dengan dinyanyikan oleh biduan perempuan. Kendati soal izin lagu masih menjadi persoalan, pun saya percaya lagu-lagu para biduan lanang ini juga terbantu terdesiminasikan kepada khalayak berkat orkes melayu Jawa Timur. Kini, lagu para biduan lanang, baik solo, duo, trio, ataupun band, menjadi lagu-lagu hits dangdut. Bahkan salah satu dari biduan lanang di skena dangdut milenial tersebut ikut tampil sebagai bintang tamu di grand final Indonesian Idol. Fiuh, boljug!

Oleh sebab itu, saya ingin memproklamirkan kehadiran para biduan lanang dalam skena dangdut milenial yang telah melantunkan patah hati, mewakilkan luka hati, dan yang membuat pendengarnya percaya bahwa mereka tidak sendiri dalam kesedihan cinta. Lebih lanjut, lagu kesedihan yang dibawakan oleh biduan lanang menunjukkan bahwa kesedihan juga milik laki-laki. Lagu-lagu yang memaksakan bahwa laki-laki tidak boleh menangis adalah konstruksi patriarki. Sedih adalah milik saya, milik kamu, milik kita, tidak peduli perempuan ataupun laki-laki. Maka bagi saya lagu mereka tidak hanya sebatas lagu cinta, melainkan lagu yang menunjukkan kesetaraan gender. Jadi tidak masalah jika kita semua bersedih, tidak masalah jika kita menangis. Ketika seorang lainnya menuduh ini lagu cengeng, bagi saya soal hati memang patut diekspresikan. Ihwal ketabahan itu soal negosiasi akan kesadaran dan penerimaan diri atas sebuah permasalahan. Jadi mari kita galau berjamaah! Lepaskan sedihmu, nyanyikan dengan lantang walau tak sadar tangis di pelupuk mata telah mengalir di pipi. Untuk mendengarkan mixtape klik di sini.

OM Wawes – Koe Lungo

NDX A.K.A. – Ditinggal Rabi

Agung Pradanta – Kependem Tresna

Guyon Waton – Korban Janji

Denny Caknan – Kartonyono

Ndarboy Genk – Balungan Kere

Ndarboy Genk – Baik-baik Saja

OM Wawes – A.J.K.S.

Denny Caknan – Sugeng Ndalu

Klenik Genk – Dudu Nggo Aku

Guyon Waton – Perlahan

Ndarboy Genk – Wong Sepele

Pendhoza – Demi Kowe

Guyon Waton – Karma

Klenik Genk – Manut Dalane

Ilux – Mundur Alon-Alon

OM Wawes – Tetep Neng Ati

Denny Caknan – Sampek Tuwek

Ndarboy Genk – Tibo Mburi