(Ilustrasi: @candraniyulis)
Saya ceritakan sedikit tentang Merdu Ruang. Beberapa waktu lalu, Mbak Aisyah Hilal mengetikkan panggilan solidaritas untuk tenaga medis pemberantas Covid-19 kepada musisi-musisi dalam grup WhatsApp “Music for Everyone”. Kemudian, saya bersama beberapa teman lama berlanjut mengulik apa yang bisa dikerjakan atas panggilan tersebut. Singkat cerita, Merdu Ruang adalah keluarannya.
Merdu Ruang merupakan sebuah platform yang menyediakan susunan musik terkurasi, dirancang dengan maksud terapeutik untuk pasien (terkait maupun tidak terkait Covid-19) dan staf medis yang kini sangat repot kesehariannya. Seperti yang kita ketahui dan alami, musik memiliki daya kuat dalam mempengaruhi keadaan mental pendengarnya. Yang menjadi penting untuk dicermati ketika merancang semacam intervensi suara atau musik, adalah aspek-aspek yang membentuk persepsi pendengar atas ruang yang ditempati.
Berdasar penelitiannya atas persepsi pendengar atas soundscape ruang pasien kelas tiga dan ruang ICU di rumah sakit, ahli akustemolog dari Bandung, Anugrah Sabdono Sudarsono, memberi beberapa arahan atas aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan suara dan musik untuk tujuan Merdu Ruang. Untuk pasien, musik diharapkan dapat mengisi ruang rawat inap dengan nuansa cerah dan dinamis. Untuk staf medis yang barangkali hanya memiliki sedikit waktu untuk beristirahat di sela kegiatan di rumah sakit, musik hendaknya dirancang untuk menghadirkan ketenangan, agar waktu istirahat sebentar dapat dimaksimalkan manfaatnya.
Dari situ, muncul beberapa anjuran atas kebutuhan musikal materi yang disusun: instrumental, berada di background, iramanya menengah hingga lambat, melodi dan harmoni bernuansa positif, dan minim frekuensi 1-4 kHz (agar tidak menutup suara instrumen medis). Selanjutnya, Aidin Rezhanoor dan Wahyu Thoyyib Pambayun selaku kurator musik memilah dan menyusun lagu maupun gendhing karawitan Jawa ke dalam sejumlah playlist. Playlist dibedakan menurut waktu putarnya: pagi, siang, sore, atau malam, karena tentu saja, kondisi fisik kita berubah mengikuti kegiatan yang dilakukan sepanjang hari dan selanjutnya kebutuhan pengkondisian psikis pun perlu disesuaikan.
Saat ini, akses atas playlist Merdu Ruang dibatasi hanya bagi pasien dan tenaga medis yang membuat akun di www.meruang.com atau meminta dikirimi flashdisk. Namun, untuk kepentingan publikasi, kami juga memberi ‘icip-icip’ lewat kanal media yang mau mendukung proyek sederhana ini. Berhubung icip-icip playlist musik elektronik sudah disajikan di Whiteboard Journal dan kumpulan MIXTAPE Laras tampak nir-karawitan, saya kepikiran untuk menawarkan icip-icip playlist karawitan Jawa Merdu Ruang di sini.
- Opening – Gamelan Pacifica
- In a Landscape – Gamelan Pacifica
- Colours: Danaraja (Slendro Sanga)
- Duet – Rahayu Supanggah
- Colours: Tukung (Pelog Barang)
- Ladrang Pangkur, Pelog Barang – Nanang Bayuaji & Wahyu Thoyyib Pambayun
- The Meditative Gender: Pathetan (Pelog Wantah)
Baca kelanjutan badan teks ini untuk kesempatan mendapatkan buku gratis dari Laras.
Dalam proses memilah gendhing untuk playlist karawitan Jawa, Wahyu Thoyyib menyampaikan kesulitan yang ia temui. Pertama-tama, kebanyakan rekaman gendhing yang tersedia, ada nyanyiannya. Kalaupun instrumental, biasanya gendhingnya berbentuk soran (dengan susunan gamelan lengkap, keras dan bersemangat) atau sebaliknya bernuansa sedih. Selain itu, beberapa rekaman gendhing juga merangkai beberapa gendhing dengan alur rasa yang sudah dirancang untuk menemui ‘klimaks’ tersendiri. Selanjutnya, dalam penyusunan gendhing ke dalam playlist, pertimbangan progresi pathêt juga cukup merepotkan (utamanya dalam karawitan untuk wayang, gendhing perlu disusun mengikuti urutan pathêt/moda tertentu).
Solusinya, di samping segelintir gendhing klasik yang secara khusus memang mengusung ‘doa baik’ dalam nama dan maksudnya, Wahyu menyertakan sebuah gendhing bonang dari Kraton Surakarta, rekaman materi ajar yang ia susun sendiri (dengan aransemen minim, maksimal menggunakan gendèr, rebab, kendhang, dan gambang), rekaman khusus yang diproduseri pemain gamelan dari luar Indonesia, dan komposisi-komposisi baru yang komposernya memiliki latar belakang pernah mempelajari musik klasik/avant garde Barat.
Proses ini cukup menarik bagi saya yang sedang bergumul dalam penulisan disertasi terkait pembelajaran dan transmisi rasa dalam karawitan Jawa hari ini. Proses ini menunjukkan dua hal. Pertama, terkait industri rekaman karawitan Jawa (1970-an hingga sekarang) dan target pasar yang dituju. Di samping kekhawatiran akademisi atas dampak industri rekaman terhadap keberagaman gaya karawitan, beberapa pengajar karawitan di Surakarta sempat menceritakan bagaimana penyusun gendhing karawitan untuk industri rekaman musti berkompromi dengan kebutuhan pasar. Dari sebagian besar rekaman yang beredar, perusahaan rekaman kelihatannya berfokus menciptakan produk rekaman gendhing yang: (1) menggunakan nyanyian (setidaknya berupa sindhènan, atau gèrong juga), (2) memiliki progresi irama yang dinamis, dan (3) dapat digunakan dalam ritual atau upacara kultural.
Selain itu, proses ini juga menunjukkan gelagat pentingnya pertimbangan aspek kultural dalam penyusunan inisiatif terapi musikal. Kenapa kualitas musikal yang dijadikan arahan untuk proyek ini (dari ahli akustemologi, Anugrah Sabdono, tadi) begitu berjarak dengan karakter musikal dalam suplai rekaman gendhing yang sudah ada? Apakah arahan kualitas musikal tadi berdasar pada musik populer atau musik “barat”? Jika ya, apakah kita sebetulnya perlu mempertimbangkan aspek kultural dalam suatu proyek musik terapeutik?
Repertoar klasik dalam karawitan Jawa sendiri sebetulnya begitu kaya dalam ragam karakternya (senang, sedih, wingit, lugu, gagah, marah, dan seterusnya) dan pemaksudan waktu dimainkan (pagi, siang, sore, malam, dini hari). Dalam narasi-narasi tentang karawitan, karakter serta penggolongan waktu ini seringkali dikaitkan dengan pengkondisian keadaan psikis pengrawit dan pendengar. Seorang guru karawitan pernah mengaku pada saya, kalau gendhing-gendhing karawitan tertentu jika dimainkan pada waktu yang dimaksudkan, dapat membawa ketenangan mendalam baginya. Guru ini pun menyebut bahwa dalam hal ini, gamelan bisa digunakan sebagai “terapi”1, sebagai pengkondisian keadaan psikis pendengar, selama mengikuti ‘resep’ yang ditentukan oleh para empu terdahulu.
Merdu Ruang memahami bagaimana preferensi musik personal bisa berlainan. Tidak semua pendengar terbiasa mendengarkan karawitan Jawa seperti guru yang disebutkan di atas. Karena itulah, pilihan jenis musik merupakan satu fitur penting dalam program ini. Namun, batas-batas pertimbangan personal dan kultural dalam preferensi musik menjadi lebih menarik lagi untuk dikulik, rasanya, ketika kita membicarakan suatu musik “tradisional”. Lebih tepatnya, musik “tradisional” yang berasal dari Jawa. Lebih spesifik lagi, musik “tradisional Jawa” yang memiliki konotasi kuat dengan budaya Kraton dan feodalisme.
Meski begitu, data saya untuk membicarakan hal ini masih sangat minim. Bantu saya untuk menelisiknya lebih jauh dengan menjawab beberapa pertanyaan survei di laman berikut, sebelum dan sesudah Anda mendengarkan mixtape ini. Dua partisipan survei yang beruntung (dan mengirim submisi sebelum tanggal 15 Agustus 2020) masing-masing akan mendapatkan satu buah buku terbitan Laras, Lanskap: Mosaik Musik dalam Masyarakat.
Saya ingin berpartisipasi dalam survei ini.
1 Bicara soal karawitan untuk terapi, di Inggris Raya, karawitan Jawa telah banyak digunakan dalam program-program musik terapi terapan, di mana subyek-subyek (bekas narapidana, difabel fisik dan kognitif) memainkan repertoar Jawa ataupun menciptakan komposisi bersama-sama. Materi yang digunakan dalam program-program ini tidak selalu berasal dari repertoar klasik dari Jawa, dan kebanyakan justru bertumpu pada proses komposisi kolektif oleh kelompok bersangkutan.
Di Jawa sendiri, saya menemui beberapa program karawitan di pusat-pusat rehabilitasi untuk orang-orang dengan disabilitas fisik. Namun dari yang saya temui, tidak ada yang menggunakan metode-metode komposisi kolektif semacam di luar Indonesia tadi. Perangkat-perangkat gamelan digunakan untuk memainkan repertoar pembelajaran dasar, seperti Lancaran Manyar Sewu, Ketawang Subakastawa, dan Ladrang Mugi Rahayu. Saya kira, selain kurangnya referensi akan metode kompositoris dan dampak positifnya terhadap subyek terapi, ada juga pertimbangan kultural (entah disadari maupun tidak) yang mendasari pilihan materi dalam program karawitan di sini.
Di sisi lain, seorang guru karawitan di salah satu pusat rehabilitas tuna netra di Surakarta menyebutkan bahwa kegiatan pembelajaran gamelan di sana utamanya bertujuan membangkitkan rasa percaya diri dalam diri murid-muridnya. Dari sini, kita menyadari bahwa medium terapi (dalam kedua konteks musik terapi terapan ini) bukanlah ‘musik yang didengarkan’, melainkan ‘aktivitas bermusik bersama’.