*Daftar lagu berikut disusun dengan landasan awal artikel https://jurnalruang.com/read/1506681226-sensor-lirik-lagu-cinta-yang-subversif_ftn5 dengan tambahan beberapa lagu yang saya anggap mempunyai sudut pandang yang menarik, bahkan subversif bagi rezim lagu cinta patah hati yang lazim lahir di Indonesia.
Indonesia memiliki sejarah panjang terkait sensor lirik dalam lagu-lagu populernya. Sukarno pernah membredel kelompok Koes Plus karena menganggap musik yang dihadirkan oleh Koes Plus tidak sesuai dengan identitas dan karakter bangsa Indonesia yang baru merdeka. Sedangkan pada masa pemerintahan Soeharto, musik yang mulanya dianggap membawa anasir musik barat dibebaskan untuk berkembang, tetapi dengan kontrol negara begitu ketat. Gestur-gestur protes dan pemberontakan diredam dan didisiplinkan sedemikian rupa.
Namun, sebuah anomali terjadi. Orde Suharto pun tercatat pernah melakukan pelarangan terhadap lagu cinta patah hati; lagu yang secara awam dapat dinilai tidak memiliki muatan protes atau kritik terhadap egara; lagu cengeng.
Di luar dugaan, lirik cengeng dan melodi yang mendayu dari lagu berjudul “Hati yang Luka” membuat gerah pemerintah. Seperti dicatat oleh Kompas, Menteri Penerangan Harmoko saat itu mengirimkan teguran resmi kepada TVRI, karena stasiun televisi negara tersebut dianggap terlalu sering menyiarkan lagu “Hati yang Luka”, terutama melalui acara TV terkenal Aneka Ria Safari.
“Menumbuhkan semangat kerja yang jalin-menjalin dengan disiplin nasional, harus tercermin… dalam setiap mata acara TVRI. Upaya itu tidak akan berhasil… apabila mata-mata acara TVRI banyak diwarnai dengan lagu yang disebutnya sebagai ‘ratapan patah semangat berselera rendah,’ ‘keretakan rumah tangga,’ atau ‘hal-hal cengeng. … Dalam keadaan patah semangat dan cengeng, tentulah sulit mengajak orang bekerja keras. Padahal apa yang digambarkan itu bukanlah kenyataan di tengah masyarakat.” (Kompas, 25 Agustus 1988)
Peristiwa ini menuntun penelusuran lebih lanjut, bagaimana lagu-lagu Indonesia yang bertemakan cinta dan patah hati dapat menimbulkan respon rezim melalui sensor lirik dan dianggap subversif. Berikut adalah daftar lagunya.
1. Hati yang Luka – Betharia Sonata
Diciptakan Obbie Mesakh, dinyanyikan Betharia Sonata pada 1988 dan terjual 1,3 juta kopi1. Kesuksesan besar “Hati yang Luka” mendorong munculnya lagu-lagu hits dengan melodi dan tema lirik yang serupa. Pertama berjudul “Penyesalan”, yang dinyanyikan sendiri oleh Obbie Mesakh, kedua berjudul “Tiada Duka Lagi” yang dinyanyikan Betharia Sonata bersama Robby. Lebih jauh lagi, “Hati yang Luka” diaransemen ulang oleh artis-artis ternama dengan aliran musik beragam – mulai dari versi pop jazz yang dinyanyikan oleh Betharia Sonata, versi keroncong dari Hetty Koes Endang, hingga versi dangdut oleh Reda Kumala.2 Lagu ini dikecam oleh rezim Suharto karena diaggap tidak menggambarkan kondisi kehidupan keluarga Indonesia.
2. Yang Kumau – Krisdayanti
Lagu ini hadir dua tahun selepas gelombang reformasi di Indonesia. Artinya, lagu ini tidak menghadapi rezim orde Suharto, melainkan rezim moral pemerintah Malaysia. Krisdayanti diminta mengganti lirik yang berbunyi “Jika Tuhan mau begini/Ubahlah semua jadi yang ku mau”. Nukilan lirik ini dinilai tidak bersesuai dengan ajaran agama Islam oleh pemerintah Malaysia karena Krisdayanti dianggap hendak menantang kehendak Tuhan.
3. Seberapa Pantas – Sheila on 7
Serupa dengan yang terjadi pada Krisdayanti, Sheila on 7 menghadapi persoalan dengan badan sensor pemerintah Malaysia. Kali ini terkait dengan perbedaan pemaknaan dalam bahasa Indonesia dengan bahasa Malaysia. Dalam lagu ini, kata “celakanya” yang hadir dalam reffrain dapat bermakna sebagai kata yang sangat kurang pantas di Malaysia, dan harus diganti menjadi kata “sayangnya”.
4. Pejantan Tangguh – Sheila on 7
Sensor lirik yang dialami Sheila on 7 bukan hanya terjadi pada lagu “Seberapa Pantas”. “Pejantan Tangguh” pun menjadi salah satu subjek yang harus diubah pemilihan katanya karena faktor perbedaan makna dalam bahasa. “Pejantan Tangguh” kemudian berubah menjadi “Pria Terhebat”. Krisdayanti dan Sheila on 7 merupakan segelintir contoh di mana industri musik Indonesia telah berkembang sangat baik dan dapat diterima oleh negara tetangga.
5. Takdir – Desi Ratnasari
‘Takdir’ (1997) ditulis oleh Chossy Pratama sebagai original soundtrack sebuah sinetron yang dinyanyikan oleh Dessy Ratnasari. Dalam lagu tersebut terdapat bait lirik yang berbunyi “Takdir memang kejam/Tak mengenal perasaan”. Lirik tersebut membentur norma yang diyakini oleh umat Islam. Alie Yafie selaku ketua MUI pada saat itu menuntut agar lirik tersebut segera diluruskan3. Pihak Sinetron dan Chossy Pratama lalu mengganti lirik bagian tersebut dengan kalimat “Kasihku yang hilang/Pedih nian kenyataan”.
6. Emang Dasar – Wali
Dalam lagu yang berjudul ‘Emang Dasar’ yang memuat kalimat lirik yang berbunyi “Emang dasar, emang dasar, dasar kamu bajingan”. Kata “bajingan” ini lalu disensor oleh KPI4. Dalam beberapa versi yang disiarkan ada yang kemudian membiarkan kata itu hilang tanpa pengganti, sehingga hanya terdengar melodi saja tanpa lirik.
Bonus Track
Maaf Cintaku – Iwan Fals
Lagu ini tidak termasuk dalam artikel yang awal yang menjadi acuan untuk menyusun daftar lagu di sini. Tapi, lagu ini memiliki keistimewaan dalam cara tutur penyampaian rasa cinta dan kekaguman yang tidak lazim. Penggalan paragraf awal lagu ini dihadirkan oleh Iwan Fals dengan sangat ekstrim:
“Ingin kuludahi mukamu yang cantik/Agar kau mengerti bahwa kau memang cantik/Ingin kucongkel keluar indah matamu/Agar engkau tahu memang indah matamu”
Ditambah lagi dengan video klip yang dibintangi oleh pelawak Tukul Arwana dan Nunung sebagai sepasang kekasih yang kemudian membuat kesan atas lagu ini yang menjadi absurd belaka.
Egokah Aku – Wali
Wali memang spesial sebagai kelompok musik. Selain tawaran musikalitas yang dihadirkan sangat standar namun mampu menyihir para pendengarnya dalam sekali dengar, Wali pun memiliki kemampuan menulis lirik yang luar biasa; luar biasa ndeso. Salah satunya adalah cara pandang mencintai yang muncul dalam lagu “Egokah Aku” yang menunjukkan frustrasi seorang manusia dalam menghadapi penolakan cinta, sebagaimana tertuang dalam penggalan lirik “Salahkah aku mencintaimu/Walau ku tahu ku tak dihatimu/Egokah aku memilikimu/Walau ku tahu kau tak memilihku/Kuharap tuhan cabut nyawamu/Agar tak ada yang milikimu”.
_____________________
1 Lihat Muhammad Mulyadi, Industri Musik Indonesia; Suatu Sejarah, Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial, Bekasi, 2009, hal. 135.
2 Ibid.
3 Aloeth Pathi, Musik & Penguasa, Sebuah Catatan: Kontroversi dari Indonesia Raya, Genjer-genjer Hingga Takdir, Mata Media Edisi Junio 2007, hal. 39-40.
4 https://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/wali-dapat-berkah-dari-pencekalan.html