Sejak kecil saya hidup di daerah Sumatra, khususnya Aceh dan Medan. Pada bulan Juli 2017, saya pindah ke Yogyakarta untuk alasan studi. Suatu hari, kira-kira setelah tiga bulan lamanya menetap di Yogyakarta, saya dan tiga teman kampus—yang mayoritas berasal dari daerah “Jawa”—memutuskan untuk “membunuh” waktu sore kami di toko buku. Pilihan jatuh pada toko buku Gramedia. Malam itu, sesampainya kami di Gramedia kami mendengar alunan lagu-lagu pop yang diputar melalui pengeras suara di sana. Di antaranya ada lagu “Jangan Pernah Berubah” dari ST12 dan lagu “Baik-baik Sayang” dari Wali.

Mendengar lagu yang familier di telinga, sontak saja saya ikut bernyanyi sembari melihat-lihat buku. Tidak disangka apa yang saya lakukan telah mengusik ketiga teman saya hingga mereka menoleh. Salah satu di antaranya berkomentar “ya ampun alay banget sih!”, sedangkan dua lainnya justru mengatakan lagu tersebut sebagai “lagu kampungan”. Namun itu bukanlah permasalahan, karena sedari kecil saya sudah sering mendengar artis-artis di televisi nasional (baca: Jawa) dan orang-orang kota yang menyebut gaya berpakaian, kebiasaan, perilaku dan cara berbicara “orang daerah” sebagai perilaku yang alay dan kampungan. Hanya saja kali ini kata kampungan ditujukan pada musik-musik dari sekumpulan musisi lokal. Hal yang membingungkan justru ketika teman saya menggerutu, katanya  “kenapa sih Gramed malah muter lagu pop Melayu, tumben!”

Komentar tersebut membuat saya sadar bahwa ada perbedaan bagaimana musik dikategorikan. Di wilayah Sumatra, kami menyebut lagu-lagu dari Kangen Band, Wali, ST12 dan sejenisnya sebagai lagu pop Indonesia. Namun orang-orang di Jawa menyebutnya sebagai lagu pop Melayu, belum lagi dengan kata kampungan. Penyematan kata Pop Melayu tersebut menjadi menarik ketika diciptakan oleh orang di luar Sumatera itu sendiri. Logika yang tidak jauh berbeda dengan tidak adanya Mie Aceh di kota Aceh, atau Nasi Padang di Kota Padang. Di Sumatera kami juga mengenal lagu pop Melayu, tetapi bukan lagu Kangen Band atau ST12. Saya memahami lagu melayu itu laiknya jenis lagu, seperti: “Lancang Kuning”, “Laila Canggung”, “Selayang pandang”, dan sejenisnya. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah, “mengapa mereka menyebut lagu tersebut sebagai lagu pop Melayu?” Dan mengapa kata kampungan digunakan dan dijadikan bahan gurauan.

Belakangan saya mendapatkan jawabannya dari salah seorang peneliti musik pop yang bernama Emma Baulch. Ia mengatakan bahwa ternyata musik pop melayu bukan kategori teknis semata melainkan juga menyentuh mitos kelas dan bangsa. Lebih lanjut hasil analsisinya membuktikan bahwa secara teknis hubungan antara musik pop melayu dan musik melayu dinilai lemah. Bagi Blauch kemunculan genre pop melayu dapat dipandang sebagai akibat dikotomi gedongan vs kampungan pada Orde Baru yang masih berjalan. Pada tahun 2005 ketika Musik pop seperti Kangen Band, ST12 dan sejenis masuk wilayah Ibu Kota. Mereka (orang-orang gedongan) menolak musik pop—yang berasal dari orang-orang lokal—disamakan dengan pop Indonesia seperti Peterpan dan Ari Lasso. Alhasil timbulah genre musik baru—yang kita kenal sebagai musik pop Melayu—sebagai hasil dari proses othering (pengasingan) tersebut. Lucunya, banyak masyarakat yang bangga dengan pengasingan itu dan terus mengamini kata kampungan untuk pemusik tertentu.

Adapun konotasi kampungan ditujukan pada musik Melayu bisa dipandang dari dua sisi, tergantung dari kepentingan masing-masing pihak. Kampungan sebagai ejekan dan Kampungan sebagai komodifikasi. Musik pop Melayu diejek kerena sudah menjadi ancaman bagi peradaban metropolis (Jakarta). Sedangkan bagi media cetak dan dunia pertelevisian isu “kampungan”  justru menjadi keuntungan besar. Isu “kampungan” dapat menghasilkan keuntungan, asyik kan! Saat itu film mengenai “Wong Cilik”, “Bangga menjadi orang Kampung” dan buku perjalanan band pop Melayu menjadi sangat laris menjadi kosumsi publik. Hal ini tentu jenaka, di mana pop Melayu menjadi ejekan bagi mereka yang ingin terbedakan, sekaligus menjadi produk tontonan dan pujaan bagi masyarakat. Bagi saya mereka bukan Pop Melayu, mereka adalah Pop Indonesia. Bagi masyarakat di Sumatera mereka adalah Pop Indonesia. Maka dari itu sudah sepantasnya mereka bersanding dengan musisi Pop Indonesia lainnya, tanpa pembedaan dan kata kampungan lagi.

Untuk mengembalikan memori tersebut, saya cantumkan mixtape yang saya yakin membuat Anda mengernyitkan dahi ketika itu. Lantas apa sekarang masih sama? (Untuk mendengarkan, klik link ini)

  1. ST12 – Cari Pacar Lagi
  2. Kangen Band – Tentang Aku Kau dan Dia
  3. Armada – Asal Kau Bahagia
  4. Hijau Daun – Suara
  5. D’Bagindas – C.I.N.T.A
  6. Wali – Cari Jodoh

Bacaan lebih lanjut

Baulch, Emma. 2014. Pop Melayu vs Pop Indonesia: New Interpretations of A Genre Into The 2000s” dalam Sonic Modernities in the Malay World, Bart Barendregt (ed.). Leiden: Brill.