Jika kita biasanya mendengarkan Didi Kempot dengan perasaan ambyar dan patah hati, saat ini, kesedihan tatkala mendengarkan lagu-lagu Didi Kempot, mendadak diamplifikasi oleh kepergian sang maestro sendiri.
Sewu Kutho, Layang Kangen, Stasiun Balapan, Cidro, Pamer Bojo, Ambyar, Banyu Langit, Kalung Emas, Suket Teki, Jambu Alas, Perawan Kalimantan, Tanjung Mas Ninggal Janji, Ketaman Asmoro hanyalah sekian karya dari sekitar 700 lagu dan 23 album yang telah ia persembahkan untuk kita semua selama berkarir musik.
Bernama lengkap Dionisius Prasetyo, Didi Kempot memulai karir bermusik sebagai pengamen di Solo. Dari Solo, ia hijrah menuju Jakarta pada tahun 1987, dan mencoba peruntungan nasib. Dari situlah kemudian, nama KEMPOT— akronim dari Kelompok Pengamen Trotoar— lahir. Didi Kempot kemudian melakukan rekaman pertama pada tahun 1989 bersama Musica Studio. Ia mulai melawat ke Suriname dan Belanda pada tahun 1993. Kedatangannya di Suriname dan Belanda mendapatkan sambutan baik, dan karya-karyanya hingga saat ini mendapatkan tempat di hati banyak orang.
Bagi kami, Didi Kempot dan karya-karyanya menjelma simbol inklusifitas yang melintas batas ekonomi, kelas sosial, generasi, hingga gender. Didi Kempot membuat kesedihan, kegalauan hati, dan tangis menjadi suatu hal yang egaliter. Ia membuat kita percaya bahwa ode bagi tangis dan patah hati adalah hak setiap orang, dan bahwasannya, ambyar juga perlu dirayakan. Maka untuk mengenangkan Didi Kempot, LARAS memutuskan untuk membuat mixtape berisi lagu-lagu beliau yang paling ngena dan bikin ambyar-byar versi kami.
Sugeng Tindak, Didi Kempot, karyamu akan selalu mengiringi setiap patah hati yang sudah, sedang, dan akan terlewati.
1. Pamer Bojo – Raudhatul Jannah
Semua orang punya lagu favoritnya masing-masing, namun rasanya keterlaluan jika sampai tidak mengenal lagu “Pamer Bojo” milik Didi Kempot. Gemanya hampir tidak dapat dihindari, persis seperti kejadian yang saya alami. Jujur saja, saya tidak berasal dari suku Jawa. Jadi, berbicara dengan berbahasa Jawa sangat sulit rasanya. Perkenalan saya dengan lagu “Pamer Bojo” yang “Jawa banget” itu dimulai pada bulan Maret 2019. Pada waktu itu banyak sekali postingan di Instagram yang merekam bagaimana pecahnya konser Abah Lala—Seorang penyanyi dangdut dari MG 86—yang memadukan lagu “Pamer Bojo” dengan senggakan Cendol Dawet di Gedung PKKH UGM. Tidak butuh waktu lama nama Didi Kempot, sang pemilik lagu tersebut, melejit kembali. Hal ini membuat lagu-lagu Didi Kempot terutama “Pamer Bojo” diputar hampir di setiap tempat di Yogyakarta. Ya, kejadiannya serupa dengan demam lagu “Sayang” yang dipopulerkan oleh Via Vallen beberapa waktu lalu. Namun ada hal yang menarik, mengapa seorang yang tidak bisa berbahasa Jawa seperti saya bisa menghafal lirik lagu tersebut. Lagu ini tidak hanya menuntut untuk sekadar didengarkan tetapi juga menuntun orang yang mendengarkan untuk ikut menyanyikannya. Semisal ketika saya berada di kampus dan memutuskan bernyanyi bersama, pilihan pertama akan jatuh pada lagu “Pamer Bojo”. Kejadian yang sama juga saya alami ketika merayakan ulang tahun salah seorang teman di sebuah tempat karaoke. Kami bahkan menyanyikan lagu tersebut dua kali berturut-turut. Mendengarkannya secara berkala membuat melodi lagu ‘Pamer Bojo” terngiang-ngiang di kepala saya. Bagi saya lagu Didi Kempot bukanlah termasuk kategori lagu yang saya gunakan untuk mengungkapkan curahan hati—sebab kultur saya yang berbeda—, tetapi lagu “Pamer Bojo” mampu membuat saya ngelindur dalam keadaan tak tidur. Seringkali saya tiba-tiba saja menyanyikan lagu “Pamer Bojo” tanpa sadar karena terlalu sering mendengarkannya. Agustus 2019, saya memutuskan untuk datang ke konser Didi Kempot di FIB UGM dengan bermodalkan lagu “Pamer Bojo” saja. Saya menunggu satu persatu hingga lagu tersebut dinyanyikan. Setelah 8 lagu berlalu, tiba-tiba pria yang dijuluki sebagai Lord of Broken Heart tersebut menyanyikan lirik yang familier di telinga “Dudu klambi anyar sing neng jero lemariku”. Seketika itu pula semua penonton berteriak dengan kencang. Saya yang berada di tengah kerumunan Sobat Ambyar pun ikut bernyanyi lantang. Tidak bisa dipungkiri, pengalaman tersebut terasa sungguh menyenangkan!
2. Cidro – Irfan R. Darajat
Sebagai lelaki kelahiran dusun di Jawa Tengah, tentu telinga saya sudah terbiasa dengan paparan musik campursari model Didi Kempot. Saya tidak pernah punya kesan yang begitu mendalam dengan musik beliau sejak tahun 2000an. Hingga pada 2014, pandangan saya terhadap lagu Didi Kempot berubah drastis. Pada sebuah acara penutupan festival Film di Yogyakarta yang dirayakan dengan menanggap orjen tunggal dan memainkan lagu-lagu dangdut, seorang lelaki tampak tidak puas karena pemain orjen dan biduan kukut sementara pening masih mengombang-ambingkan kepalanya. Ia meminta sang biduan untuk menyanyikan satu tembang lagi. Sang biduan menolak, pemain orjen sudah memasukkan instrumennya ke tas. Tanpa pikir panjang, sang pria mengambil kursi yang ada di pinggir panggung, lalu menggengam mic di tangan kanannya. Tanpa iringan musik, tanpa aba-aba, dengan lantang ia menyuarakan satu persatu bait lagu Cidro. Matanya setengah tertutup, keringat mengucur deras di sekujur tubuh dan wajahnya. Saya sudah tidak tahu lagi, itu keringat atau air matanya yang membanjiri daerah sekitar pipinya. Penonton yang lain kemudian merapat, beberapa yang apal lirik turut menyanyikannya. Meskipun beberapa orang menertawakannya, tapi peristiwa itu cukup keramat bagi saya. Sejak saat itu, Cidro telah menjadi mars patah hati yang paling menggetarkan, sampai saat ini.
3. Banyu Langit – Irfan R. Darajat
Pernah saya dengar orang menasihati saya saat ingin menulis lagu patah hati, “buatlah pernyataan cinta tanpa menggunakan kata cinta, buatlah pernyataan yang menyatakan kau ingin menangis tanpa menulis aku ingin menangis. Jika kau berhasil maka kau telah piawai dalam menulis.”
Didi Kempot tidak perlu membuktikan apapun kepada kita tentang kemahirannya menulis syair dan aransemen lagu. Dia piawai, sangat piawai. Banyu Langit menjadi spesial karena ia menghadirkan metafora-metafora picisan namun sangat tepat guna. Ia menerabas tabu dalam mengekspresikan kesedihan. Pengen nangis/Ngetokke eluh neng pipi adalah sebuah pemberontakan atas pernyataan yang saya cantumkan di awal kalimat. Kalimat itu, dan kalimat-kalimat lainya di sekujur lagu, datang dengan kerapuhan, dengan kejujuran yang sangat bening, dan menghantarkan kita pada suatu isme, yaitu ambyar.
4. Stasiun Balapan – Rugun Sirait
Didi Kempot adalah sosok asing yang tidak sering saya dengar sampai akhirnya kuliah di Yogyakarta. Mungkin lagu ini sering saya dengar ketika diputar penjaga saya sewaktu kecil di rumah. Kesempatan mendengar lagu ini kembali ketika Etnikafest yang diadakan di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada pada 2017, sungguh luar biasa rasanya. Bukan hanya mendengar, saya dapat menonton penampilan Didi Kempot secara langsung di acara kampus sendiri. Pilihan menampilkan Didi Kempot pada saat itu menurut saya cukup nyeleneh namun tidak ngasal, sekitar 3000an orang hadir. Ketika lagu ini dimainkan, saya bisa ikut menikmati dan melompat bersama para penonton lainnya. Pada kesempatan itu saya percaya dengan kemahiran Didi Kempot berinteraksi dengan penontonnya. Karena sampai 2017 itu, saya tidak banyak mengerti lagu dan belum begitu mengerti bahasa Jawa. Setelah lebih paham dengan bahasa Jawa, apalagi bahasa Ngoko yang dipakai Pakdhe Didi, saya bisa menikmati lagu-lagunya.
Stasiun Balapan adalah salah satu lagu Pakdhe Didi mengenai sebuah tempat, selain Malioboro, Pantai Klayar, dan Terminal Tirtonadi. Bagaimana tempat tersebut meninggalkan memori baginya. Sebagai golongan perantau, tentu kita punya memori dengan sebuah stasiun. Betapa sedihnya perpisahan atau bahagianya sebuah pertemuan kembali. Ternyata Stasiun Balapan adalah lagu yang dirilis tahun 1998, pada awal era reformasi. Tidak ada kepastian mengenai keberadaan dan kepulangan seseorang pada masa itu, tentu perasaan yang begitu menyeramkan. Lagu ini saya bayangkan dapat dinyanyikan oleh laki-laki atau perempuan, tidak hanya untuk pasangannya tetapi untuk siapapun yang mereka cintai. Untuk mengingat atau melupakan seseorang sepertinya bukan hal sepele, apalagi di tahun-tahun tersebut.
5. Kalung Emas – Michael HB Raditya
Saya tidak dapat menampik, bahwa kembali meledaknya lagu “Pamer Bojo” membuat lagu Didi Kempot lainnya perlu untuk didengarkan. Lagu-lagu hitsnya seraya harus menjadi referensi musisi dangdut setahun belakangan. Pun hal ini juga saya sadari setelah mementaskan lagu Didi Kempot di tanggapan dangdut yang saya terima bersama Orkes Melayu Jarang Pulang, di mana clekopan penonton akan permintaan lagu Lord Didi Kempot tidak bisa tak diacuhkan begitu saja. Bagi pemain orkes dangdut, tidak membawakan lagu permintaan penonton rasanya sungguh tidak mengasyikkan. Hal ini membuat saya dan Orkes Melayu Jarang Pulang memutuskan untuk mempelajari lagu-lagu Didi Kempot, salah satunya “Kalung Emas”. Lagu yang dirilis Didi Kempot pada tahun 2013 ini membuat kembali namanya populer ketika itu. Lagu ini diputar di pelbagai radio Campursari ataupun radio Dangdut. Lantas lagu ini mulai kami latih di studio, dan menyiapkannya ketika permintaan dari penonton pentas dangdut kembali terdengar. Setelah memainkannya dalam sesi latihan, saya mulai terpaku pada lagu ini. Lirik lagunya pada beberapa saat sempat menemani perjalanan saya menyusuri ruas kota Yogyakarta. Semakin kerap menyanyikan saya seakan mulai mengerti mengapa lagu ini menjadi kesukaan dari para penggemar. Saya merasakan adanya energi yang tercurah ketika refrein disenandungkan pada lagu ini. Lirik //Loro atiku, atiku kelaran loro//Rasaning nganti tembus ning dhodho//Nangisku iki//Mergo kowe sing njalari//Kebangeten opo salahku iki//Opo dosaku iki// seraya dapat mewakili perasaan yang tersakiti karena bab cinta. Tentu lagu ini menjadi sulit untuk dinyanyikan, pasalnya menyanyikannya tidak hanya membutuhkan suara, melainkan juga air mata yang tidak terasa membasahi pipi. Terima kasih Didi Kempot, engkau tidak hanya menemani yang tersakiti, tetapi membantu para pendengarmu mengobati luka dengan menyanyikannya bersama.
6. Perawan Kalimantan – Michael HB Raditya
Masih teringat jelas, pada bulan Oktober tahun 2012 di bawah lampu sorot dengan jarak panggung yang tidak lebih dari satu meter, saya mengangkat tangan sambil berdendang lirih menatap biduanita di panggung Purawisata, Yogyakarta. Ketika itu O.M. Lathansa dengan biduanita Rindy Antika menyanyikan lagu “Perawan Kalimantan”. Saya dan penonton lain yang berbagi anggur merah dengan bungkus plastik hitam seakan menikmatinya dengan sangat. Tidak dapat saya pungkiri jika lagu itu merupakan lagu yang banyak diminati oleh penonton di kala itu. Setelah intro terdengar, penonton yang lazimnya malu-malu seraya terpanggil mendekat ke panggung. Terlebih ketika biduan perempuan menyanyikan refrain //Aduh pak’e mak’e aduh//Hati ku rindu//Kang mas tenanan//Kang mas ku pulang//Kang mas ku muleh//Neng tanah sebrang// sambil memejamkan mata dengan kepala menengadah, duh rasanya sungguh magis. Alih-alih hanya terpuaskan di panggung, kebiasaan saya mendatangi pertunjukan dangdut di Purawisata sejak tahun 2011 hingga tutup—pada tahun 2013, membuat musik dangdut mulai tinubuh di pikiran saya. Dampaknya saya mulai mengunduh lagu-lagu yang saya dengar ketika menyaksikan di panggung dan memasukkannya pada list di Winamp yang wajib saya dengar. Selain lagu dangdut bertajuk “Minyak Wangi”, lagu “Perawan Kalimantan” lah repertoar yang wajib saya dengar sambil membakar rokok dan meminum kopi di pagi hari. Ya, dan itu saya lakukan setiap hari. Setelah mendengarnya lebih dari sepuluh kali dan mulai menghafalnya, saya baru menelusuri dan mengetahui bahwa lagu tersebut merupakan lagu yang dipopulerkan oleh Didi Kempot. Dari situlah saya kembali menelusuri Didi Kempot setelah ia beberapa kali booming pada tahun-tahun sebelumnya. “Perawan Kalimantan” ini merupakan lagu adaptasi dari lagu daerah bertajuk “Karindangan”. Nanang Irwan, musisi daerah Banjar ini menciptakan lagu tersebut pada tahun 2006. Lalu Didi Kempot mengadaptasi lagu berbahasa Banjar ini dengan mencampurkan lirik Jawa pada tahun 2012. Di lagu tersebut, Didi tidak sendiri, melainkan ia menyanyikannya bersama penyanyi dangdut Yan Vellia yang membuat lagu semakin “syahdu”. Lagu itulah yang membuat saya dan penonton lain di Purawisata begitu jatuh cinta, untuk membantu kami mengeyampingkan urusan sehari-hari yang memusingkan. Terima kasih Didi Kempot, mau disadari atau tidak, lagumu membuat banyak orang terus bertahan dengan hidup yang tidak begitu menyenangkan.
7. Suket Teki – Eliesta Handitya
Suket Teki adalah salah satu lagu Didi Kempot yang sanggup bikin perasaan saya carut-marut, apalagi ketika sedang menonton beliau manggung. Iramanya begitu menyatu dalam sel, hingga badan tak kuasa bergoyang seiring dengan talu suara gendhang dan dayu suara Didi Kempot dalam setiap konser yang dihelat. Lirik refrain // wong salah ora gelem ngaku salah// pun punya kesan tersendiri bagi saya.
Buat saya, penggal lirik tersebut begitu representatif menggambarkan karakter seseorang dengan moon sign Scorpio, yang kerap dianggap keras kepala. Rasanya, saya sedang menyanyikan ode buat diri sendiri. Saya mungkin terlalu jauh membicarakan Didi Kempot melalui sudut pandang pernujuman, tetapi pokoknya, lagu inilah yang paling bisa membuat saya khidmat dan tersuruk dalam perasaan mendalam sekaligus mak tratap. Jikalau mendengar lagu ini diakhiri, saya yang tadinya berada di awang-awang, dipaksa menjejak bumi dan kembali ke realitas: venue yang selalu penuh sesak dengan atmosfer patah hati, keringat-keringat manusia, dan teriakan penonton (termasuk saya) mengelu-elukan sang maestro yang selalu mampu menjadi “dewa” pada setiap panggung miliknya. Saya patah hati betul, pengalaman menonton konser dan meresapi Didi Kempot secara langsung macam itu, tentu tak akan pernah lagi bisa saya temui.
8. Parangtritis – Heditia Damanik
Sebagai orang Sumatera, saya asing dengan Didi Kempot. Parangtritis adalah perkenalan pertama saya dengannya di medio 2008. Biasanya di malam terakhir pada sebuah acara training organisasi, teman saya (yang orang Melayu) sering sekali menyanyikan lagu ini di dekat api unggun sambil bergoyang. Makin malam liriknya makin ambyar, tapi goyangnya juga makin bergetar.
Kalau mengingat ini rasanya lucu. Bagaimana bisa seseorang menyanyikan pedih hati tapi sambil berjoget dengan dua jempol dan pundak yang mengayun afdol?
Tapi mungkin memang begitulah kita menikmati lagu-lagu patah hati Didi Kempot, yang pada titik tertentu bisa jadi jurus dalam menjalani hari-hari. Kita boleh nangis, ati rasane koyo diiris, tapi tetep kudu kuat, tetep njoget; sungguh sebuah afirmasi diri yang layak diinternalisasi.[]