(Ilustrasi: @candraniyulis)
Kala menggeluti praktik musik elektroakustik di beberapa tahun terakhir, saya jadi sering mendengarkan musik akusmatik. Sebagai salah satu pendekatan dalam musik elektroakustik, musik akusmatik menawarkan keunikan tersendiri. Karena itu, saya memilih musik akusmatik sebagai tema daftar putar untuk #MixtapeSobatLaras kali ini.
Kalau lazimnya pertunjukan musik menampilkan seorang atau beberapa penampil dengan instrumen yang dimainkannya, pertunjukan musik akusmatik menampilkan pengeras suara sebagai instrumen utamanya, yang jumlahnya berkisar antara dua hingga ratusan kanal dalam format dua dimensi horizontal (seperti format 4 kanal/quadrafonik, 8 kanal/octofonik, 16 kanal, dan lain sebagainya), maupun tiga dimensi (seperti sistem kanal 56.8 di CCRMA Stanford University dan sistem kanal 134.4.2 di Intitute for Creativity, Arts, & Technology Virginia). Pada pertunjukan musik akusmatik, pendengar umumnya disuguhkan dengan bebunyian tanpa sumber visualnya. Dengan kata lain, “’gak ada yang main di panggung.”
Dari sinilah konsep “akusmatik” muncul. Akusmatik, berasal dari kata dalam bahasa Yunani akousmatikoi (ἀκουσματικοί), mengacu kepada cara mengajar Pythagoras di balik tirai atau layar dan muridnya diminta untuk mendengarkan ceramahnya agar bisa berkonsentrasi penuh. Mendengarkan musik akusmatik seakan-akan terasa seperti mendengarkan sesuatu yang berada di balik tirai.
Mendengarkan sesuatu yang tidak kelihatan visualnya memang rasanya tak lengkap karena kita terbiasa mendengarkan dengan segala indera yang kita punya. Contohnya, ketika seseorang mendengarkan petir, kita mungkin mendengarkan bunyi gelegarnya, melihat kilatnya, dan merasakan getarannya. Di dalam keseharian kita secara kognitif, mendengar itu kegiatan yang melibatkan lebih dari satu indera, sehingga citraan yang terbentuk dalam kepala kita dalam mempersepsikan sebuah objek terasa lengkap karena ada lebih dari satu rangsangan (bunyi, visual, dan getaran).
Bagaimana dengan musik akusmatik? Mendengarkan dengan tak disuguhi aspek visual dari si sumber bunyi terasa kurang. Pierre Schaeffer menyebutnya sebagai reduced listening, dan François Bayle menyebutnya sebagai blind listening, yang artinya mendengarkan untuk fokus kepada bunyi tersebut tanpa acuan visual dari sumbernya.
Di sini muncul sisi menarik dari cara mendengarkan yang demikian. Ketika kita melakukannya, otak kita malah terpicu untuk memahami pola-pola bebunyian tersebut. Dalam mendengarkan musik akusmatik, pendengar digiring untuk mempersepsikan peristiwa energi akustik, sehingga muncullah pola-pola imajiner, yang dalam ranah musik akusmatik umumnya disebut sebagai objek bunyi.
Objek bunyi ini bentuknya bermacam-macam: ada yang perkusif, berbutir-butir seperti suara beras yang ditampi; terpatah-patah namun cepat seperti bunyi kentut; mengalir seperti hujan dan sungai; melengkung-lengkung seperti suara burung Cardinal; menggema seperti suara teriakan di gua; kasar seperti bunyi derit pintu atau gesekan dua benda padat; berpindah-pindah seperti suara nyamuk yang mengelilingi kepalamu; dan masih banyak lagi.
Dalam konteks kreatif, kalau komposer musik dalam tatanan konvensional menggunakan ritme, melodi, harmoni, dan warna sebagai materi utama komposisinya, komposer musik akusmatik menggunakan objek bunyi sebagai materi utamanya. Objek bunyi ini diolah dengan cara mengombinasikannya dengan sedemikian rupa sehingga muncul pola bebunyian yang lain.
Kalau kita menilik sejarahnya, musik akusmatik diawali dengan manipulasi rekaman. Komposer seperti Halim El-Dabh di tahun 1944 dan Pierre Schaeffer di tahun 1948 menggunakan rekaman untuk kemudian diolah menjadi sesuatu yang lain. Pengolahan ini melibatkan teknik seperti pemotongan dan penyisipan pita magnetis dan penggunaan lebih dari satu pemutar rekaman dalam manipulasinya. Seiring perkembangan teknologi, teknik komposisi musik akusmatik mengalami perkembangan dengan pengolahan bunyi yang dihasilkan secara sintetis/buatan dan rekaman yang direkam secara digital.
Walaupun sumber bunyinya bermacam-macam dan bisa menggunakan beberapa pendekatan, inti penyajiannya tetap sama, yaitu melalui pengeras suara. Pendengar disuguhkan dengan peristiwa bunyi tanpa acuan visualnya, sehingga pendengar dirangsang untuk menangkap peristiwa tersebut dan menciptakan citraan dalam berbagai bentuk (yang cenderung bersifat visual) sesuai kapasitasnya masing-masing.
Permainan objek bunyi inilah yang membuat musik akusmatik menjadi menarik, sama seperti interaksi ritme, melodi, harmoni, dan bentuk dalam tatanan musik konvensional. Dalam konteks tertentu, pendengar bisa mengenali objek bunyi yang diperdengarkan sehingga seakan-akan menciptakan efek sinematik tanpa visual. Michel Chion menyebutnya sebagai cinéma pour l’oreille atau sinema untuk telinga.
Daftar putar berikut disusun sebagai perkenalan atas musik akusmatik. Saya pilihkan komposer musik akusmatik dari berbagai generasi untuk menunjukkan perkembangan dari berbagai era dan keberagaman pendekatan, narasi, dan tekniknya.
Oh ya, saya bisa saja keliru, tapi seperti halnya menonton film, mendengarkan musik akusmatik—dan juga mendengarkan musik-musik lainnya—akan lebih nikmat kalau tidak disambi mengerjakan sesuatu yang lain. Nikmat yang menyeluruh berbanding lurus dengan fokus.
Untuk menikmatinya, bisa disimak di sini. Selamat mengapresiasi!
01) Halim El-Dabh – Wire Recorder Piece
02) Pierre Schaeffer – Cinq etudes de bruits (Etude aux chemins de fer)
03) Bernard Parmegiani – De Natura Sonorum (Matières induites)
04) François Bayle – Eros Bleu
05) Denis Smalley – Wind Chimes
06) Jonty Harrison – Klang
07) Elsa Justel – Chi-pa-boo
08) Gilles Gobeil – Nuit Cendre
09) Monique Jean – Lacrimous
10) Natasha Barrett – Little Animals
11) Elizabeth Hoffman – Allamuchy
12) David Berezan – Belgium (The Wall and De Panne)
13) Chantal Dumas – S/T W/T
14) Annie Mahtani – Shadows