(Ilustrasi: @candraniyulis)

Tulisan ini diketik pada pukul 8.33 malam, di mana matahari masih sedikit mengintip dari balik bukit di kota Graz dan mulai tenggelam. Perbedaan kondisi alam dan waktu ini cukup mengejutkan dan mengingatkan penulis akan perbedaan bentuk-bentuk musik dari berbagai belahan dunia. Jangan-jangan memang betul bahwa perbedaan kondisi geografis dan kondisi lingkungan mempengaruhi cara hidup dan berpikir manusia, bahkan mempengaruhi bentuk keseniannya?. 

Misalnya di Indonesia dan Kanada. Di Kanada, komponis R. Muray Schafer menginisiai World Soundscape Project yang mana tujuannya adalah memberi edukasi tentang soundscape dan polusi bunyi. Dan dari wilayah Nusantara kita bisa melihat bagaimana Wali membangun konstruksi gamelan yang lebih besar pada Gamelan Sekaten agar bisa terdengar dari kejauhan. Dua contoh tersebut menurut hemat penulis merupakan contoh bagaimana kondisi lingkungan memengaruhi bentuk karya seni. 

Namun, dalam tulisan ini penulis tidak akan fokus membahas pengaruh kondisi lingkungan terhadap bentuk karya seni seperti yang penulis singgung diawal tulisan. Tulisan ini dibuat sebagai respon atas sebuah pernyataan yang beberapa saat lalu penulis temukan di di beranda facebook. Komentar tersebut ditulis oleh salah seorang gitaris kenamaan Indonesia, Jubing Kristianto dan merupakan sebuah reaksi atas status Facebook yang dituliskan oleh Syarif Maulana, seorang pemusik dan juga pemikir. Dalam komentar itu Jubing menuliskan’’Musik itu untuk didengarkan, bukan untuk diulas“. Sepintas saya sangat setuju dengan pernyataan itu karena memang musik itu untuk didengar, namun apakah hanya berhenti sampai kegiatan mendengar di mana cochlea menangkap frekuensi-frekuensi bunyi? Tidak adakah hal lain yang dapat ditangkap di balik fenomena bunyi tersebut dan memancing kita untuk mengulasnya?

Musik memang lebih cenderung memantik diri kita untuk mendengar karena sumber utama dari musik adalah bunyi yang ditangkap oleh telinga. Walaupun musik selalu berkaitan dengan pendengaran, namun tidak sedikit pula orang-orang yang mendefinisikan ulang musik seperti yang dilakukan oleh Robert Ashley dengan kutipannya yang terkenal ‘‘it seems to me that the most radical definition of music that I could think of would be one that defines ‘music’ without reference to sound“. Kutipan tersebut pula lah yang memantik penulis untuk membuat karya musik tanpa bunyi di mana penulis mengaplikasikan beberapa teknik komposisi musik untuk menyusun aspek visual dan tentunya menghilangkan eksistensi bunyi di karya musik ini

Selain pernyataan Robert Ashley yang penulis realisasikan menjadi sebuah karya musik tanpa bunyi, banyak juga fenomena lain seperti Color Organ di mana nada-nada pada organ memiliki asosiasi dengan warna ketika ia dimainkan. Terdapat pula sinestesia di mana seseorang mampu melihat warna ketika mendengar bunyi. Kemudian ada Drawing Sound on Film (Norman McLaren) di mana Norman McLaren menggambar bunyi diatas film, Gesamkunstwerk dan lain sebagainya yang menunjukan bahwa musik bukan hanya tentang bunyi semata, namun ia melebur dan cair dengan yang lain.

Contoh di atas hanyalah contoh bagaimana musik lebur dengan hal lainnya. Namun, kembali pada pertanyaan Jubing, penulis setuju sekali dengan pendapat bahwa musik untuk didengar saja dan bukan untuk diulas. Akan tetapi penulis mulai berpikir, jika begitu maka musik hanya berhenti sebagai sebuah objek yang mati? Ia hanya sebuah fenomena fisika yang merangsang cochlea lalu menghilang tanpa ‘‘makna‘‘?. Menurut penulis, musik sama seperti bentuk-bentuk seni lainnya, ia bisa menjadi media refleksi masyarakat akan kondisinya. Seperti Saut Situmorang katakan bahwa seni tidak sekedar hadir untuk menghibur tapi mengajak kita untuk berpikir dan berdiskusi.

Apa pentingnya untuk mengulas musik? Sepintas memang tidak penting untuk mengulas musik dan lebih menyenangkan untuk mendengarkannya saja, namun mari kita mengembara sebentar. Beberapa waktu lalu, penulis mendengarkan karya dari Dion Nataraja yang berjudul “Pathetan Partiels”. Dion adalah seorang komponis muda Indonesia yang saat ini studi di Bennington College, Amerika Serikat. Saat ini ia tertarik dengan isu pasca kolonial, musik spektral dan gamelan. Sekilas karyanya hanya sebuah karya musik elektronis yang memanfaatkan sumber bunyi gamelan. Namun berawal dari sesi mendengar itu muncul pertanyaan-pertanyaan. Misalnya, mengapa ia mengolah materi musiknya dengan memecah laras gamelan menjadi parsial-parsial frekuensi kecil? Apa alasannya? Ternyata melalui karyanya, Dion ingin berpendapat bahwa tidak ada ruang untuk eksotisisme dalam wilayah psikoakustik. Artinya, ada sebuah pernyataan yang ingin disampaikannya melalui bunyi tertentu.

Ia melanjutkan bahwa dengan mengabstraksi bunyi gamelan, secara metafor, prosedur ini juga mengabstraksi gamelan dari sejarahnya. Persepsi pun menjadi fokus, bukan nasionalisme atau pun eksotisisme. Lalu, bunyi akan terbebaskan dari beban-beban sejarah dan semantik. Bunyi yang diciptakan mengandung sebuah upaya ‘‘melepaskan diri“ atas stigma eksotisisme yang diletakkan pada gamelan. Menarik bukan?

Selain kasus karya Dion, kita bisa mendengar bagaimana Hildegard Westerkamp memantik kita untuk berpikir mengenai kondisi alam sekitar melalui karya ‘‘Kits Beach Soundwalk‘‘. Di dalam karya ini, Hildegard Westerkamp membuat sebuah narasi bunyi di mana ia menggunakan materi soundscape Pantai Kits di Vancouver. Hildegard Westerkamp bermain-main dan mengekspos keadaan lingkungan sekitar seperti polusi bunyi yang mengokupasi bunyi-bunyi lirih di area pantai. Lalu ia melangkah lagi dengan berkata:

“It’s too much effort to filter the city out. Luckily we have band pass filters and equalizers. We can just go into the studio and get rid of the city. Pretend it’s not there. Pretend we are somewhere faraway”

Setelah melakukan filter, lalu bunyi-bunyi lirih di area pantai pun dapat terdengar dengan jelas.

Atau bagaimana I Wayan Sadra dengan kredo terkenalnya ‘‘Lepaskan bunyi dari beban budayanya“, menurut saya ini adalah sebuah cara yang ia lakukan untuk mengembangkan kembali layar dan berkelana ke horizon lain (baca: kebaruan). Upaya ini ia manifestasikan dalam bunyi-bunyi tidak lazim yang ia kreasikan melalui beberapa instrumen gamelan.

Dari contoh di atas, kita bisa mendapati bahwa musik bukan hanya sebuah fenomena fisika (baca: bunyi) yang merangsang cochlea untuk menangkap frekuensi-frekuensi tertentu yang bisa berakhir dengan kita sukai atau tidak. Namun, fenomena bunyi tersebut juga membawa pesan-pesan semantik yang memantik kita untuk berpikir, berdialektika, mendiskusikannya, juga membawa kita untuk mengulas dan menulisnya. Jadi menurut penulis, musik tidak hanya akan berakhir pada kegiatan mendengar saja. Sebab bunyi juga dapat membawa kita untuk berpikir, mendiskusikannya, mengulas hingga menuliskannya dan berakhir menjadi sebuah ilmu pengetahuan.

Graz,
7 Juni 2020