(Ilustrasi: @aberiot)

Akhir tahun menjadi awal bahagia untuk insan dangdut di tanah air. Acara penghargaan mulai dibuat untuk menunjukkan siapa biduan atau biduanita yang paling terpopuler tahun ini. Salah satunya adalah Indonesian Dangdut Award 2017 (13/10/17) yang diselenggarakan oleh saluran televisi swasta, Indosiar. Acara tersebut mengajak partisipasi masyarakat untuk menentukan enam kategori yang telah ditentukan, antara lain: lagu dangdut terpopuler; penyanyi laki-laki terpopuler; penyanyi perempuan terpopuler; duo atau grup terpopuler; pendatang baru laki-laki terpopuler; pendatang baru perempuan terpopuler. Sedangkan penghargaan untuk kategori penyanyi sosmed terpopuler, busana terpopuler, dan penghargaan Lifetime Achievement akan ditentukan oleh pihak juri. 

Tidak hanya menjadi penghargaan semata, pemenang pada setiap kategori dapat diartikan sebagai tolok ukur eksistensi mereka di dunia dangdut pada tahun ini serta beberapa tahun ke depan. Via Vallen berhasil mendapatkan penghargaan sebagai penyanyi solo wanita terpopuler. Atas dukungan penggemar di pelbagai kota di Indonesia yang menamakan dirinya Vyanisty, Via didapuk mengalahkan beberapa biduanita lainnya, seperti Ayu Ting-Ting, Cita Citata, Lesti D’Academy, ataupun sang empunya “goyang itik”, Zaskia Gotik. Pola kemenangan yang hampir serupa yang dimenangkan oleh Via Vallen untuk kategori Penyanyi Dangdut Paling Ngetop di SCTV Awards 2016.

Beberapa penghargaan IDA 2017 lainnya didapatkan oleh, Nassar sebagai penyanyi solo pria terpopuler; R Rizki Ridho D’Academy sebagai duo atau grup dangdut terpopuler; Fildan D’Academy sebagai penyanyi dangdut pendatang baru pria terpopuler; Tasya Rosmala—penyanyi belia—yang menyalip dua biduanita yang lebih beken, Nella Kharisma dan Ratna Antika, sebagai penyanyi dangdut pendatang baru wanita terpopuler; dan lagu dangdut Egois ciptaan Hendro Saky yang dipopulerkan oleh Lesti D’Academy sebagai lagu dangdut terpopuler. Sedangkan juri menentukan tiga penghargaan, di antaranya: penampilan kostum dangdut terbaik didapat Zaskia Gotik; Fildan D’Academy sebagai penyanyi dangdut sosmed terpopuler; dan penghargaan Lifetime Achievement 2017 untuk sang raja dangdut, Rhoma Irama.

Implikasi dari penghargaan tersebut kiranya akan memperkuat eksistensi tidak hanya para pemenang, melainkan para nominator dalam industri musik dangdut televisi ke depan. Terlebih beberapa stasiun televisi tidak hanya mengundang para bintang dangdut tersebut tampil on air, namun turut mengajak para bintang dangdut tersebut tampil off air dengan format konser di beberapa tempat, seperti D’ Academy Menggoyang Indonesia yang dihelat di beberapa tempat, seperti Malang, Surabaya, Sukabumi, Yogyakarta, dsbnya. Medium promosi untuk stasiun televisi serta biduan-biduanita yang mereka ‘bentuk’. Menariknya para biduan-biduanita ciptaan televisi disandingkan dengan beberapa nama bintang yang tidak lahir dari acara televisi. Bintang yang lazimnya menuai ketenaran secara organik, dari panggung ke panggung di masyarakat. 

Dalam hal ini, beberapa biduan atau biduanita memang diuntungkan atas penghargaan ini, paling tidak menambah piala yang terjejer pada rak di rumah sang biduan. Namun, penghargaan semacam ini tidak dapat dikatakan mewakili jagad musik dangdut tanah air. Hal paling sederhana adalah ada beberapa nama yang kiranya lebih tenar, serta mendongkrak para biduan yang menjadi pemenang pada beberapa nominasi justru tidak terlacak, atau sengaja tidak dilacak. Padahal musik tanah air pun tidak lagi mengalami fase anonim untuk pencipta lagu. Pun saya turut yakin beberapa nama seperti yang tidak terlacak (seperti NDX aka atau Pendhoza) itu tidak terlalu peduli dengan penghargaan tersebut. Namun, ketidak-terlacakan ini tentu tidak remeh, karena dari hal sederhana inilah konstruksi musik dangdut terus dilanggengkan: konstruksi atas mana musik dangdut dan yang bukan musik dangdut.

Dan apakah jika telah melacak nama-nama tertentu—yang tadinya terlupa—yang telah saya sebut, lantas secara otomatis telah mewakili jagad musik dangdut di Indonesia? Jawabannya tidak, karena mereka telah melupakan satu hal yang hakiki dalam musik dangdut. Hal yang paling mendasar, di mana tanpa kehadiran mereka, biduan dan biduanita yang memenangkan beberapa penghargaan mungkin tidak akan pernah ada. Mereka adalah aktor intelektual dari musik dangdut dari masa ke masa; yang seharusnya menjadi utama namun kerap terlupa, yakni orkes melayu. 

Tanpa OM, Tidak ada Biduan/ita

 Sejak cikal bakal musik dangdut terbentuk, Ellya Khadam, Oma Irama, A. Rafiq, atau Elvy Sukaesih, tidak muncul dengan sendirinya. Mereka menjadi salah satu biduan atau biduanita dari kelompok pemusik yang menamakan dirinya Orkes Melayu. Alih-alih serupa dengan orkes melayu lazimnya yang membawakan lagu-lagu melayu, orkes melayu cikal bakal dangdut tersebut lebih dikenal dengan orkes melayu modern. Terma modern di orkes melayu ini merujuk pada penggunaan peralatan modern. 

Orkes melayu modern muncul untuk membedakan orkes melayu yang sebelumnya berkiblat pada lagu melayu dan Opera Bangsawan. Menurut catatan radio, OM semacam ini diperkirakan muncul sejak akhir tahun 1930-an. Andrew Weintraub (2012:42) mencatat bahwa: “Orkest Melajoe Sinar (pimpinan Abdul Harim), dari Batavia (Jakarta), memainkan lagu Melayu yang diiringi dengan instrumen Eropa. Mereka mempertahankan karakteristik musikal Melayu, termasuk struktur pantun, frase-frase melodik jenis standar serta kata-kata dan frase-frase imbuhan”.

 Tahun 1940, orkes melayu modern berkembang pesat, salah satunya ada pada referensi musikal yang beragam. OM ini memainkan empat jenis irama, yakni Barat, India, Padang Pasir, dan Melayu (Weintraub 2012: 48). Orkes melayu di era awal ini tidak hanya memainkan musik pertunjukan atau rekaman, melainkan turut menjadi pemusik film, khususnya film bernuansa Melayu, dan India. 

Dampak dari film India merangsang orkes melayu sebelumnya untuk mengadaptasi musik bernuansa India, beberapa OM-OM sebelumnya yang telah muncul seperti OM Bukit Siguntang dan OM Sinar Medan, turut memainkan irama India dengan kental. Dalam persaingannya, antara OM satu dengan lainnya dibedakan melalui karakteristik musikalnya, seperti OM Sinar Medan yang memainkan lagu India terjemahan. Salah satu OM yang memainkan lagu India yakni OM Kelana Ria dengan biduanita, Ellya Khadam. Berkat beberapa OM, nama Ellya semakin menjulang.

Oleh karena Orkes Melayu Modern mengakomodasi pelbagai referensi musik, maka banyak orkes dengan basis musik yang spesifik tidak segan untuk mengubah nama serta orientasinya. Dalam hal ini, banyak orkes gambus yang mengubah namanya menjadi orkes melayu, semisal Orkes Melayu Kenangan yang dipimpin oleh Husein Aidid pada tahun 1950. Setelah nama berubah, OM Kenangan memunyai popularitas yang perlahan melonjak. Beberapa biduan seperti Juhana Sattar dan Nurseha semakin mendongkrak popularitas OM Kenangan (Shahab, 2004:27). Selain itu, terdapat OM Dana Seloka yang memainkan lagu asli Melayu dengan instrumen akustik. 

Di Jakarta, orkes Melayu yang cukup terkenal di tahun 1950-an adalah OM Sinar Medan. Selain OM Sinar Medan, adapun OM lainnya yang muncul, seperti OM Chandralela yang berdiri tahun 1957, OM Irama Agung di akhir 1950-an, dan OM lainnya seperti OM Kenangan, OM Bukit Siguntang (yang terkenal dengan irama tari), serta OM Kelana Ria (Simatupang, 1996: 28). Namun OM-OM tersebut turut dipengaruhi oleh bintang-bintang Medan, seperti Lily Suheiry, Rubiah, dan Ema Gangga (Weintraub, 2012: 44). 

Sepuluh tahun setelahnya, OM Purnama tercatat di tahun 1960-an memelopori gendang kapsul menjadi gendang terpisah bermembran dua, yang kini digunakan gendang dangdut. OM Purnama ini turut muncul di era musik India memengaruhi perkembangan musikalitas orkes melayu. Salah satu biduanita terkemukanya adalah Elvy Sukaesih. Di tahun 1960-an, turut tercatat OM Chandraleka, Oma Irama bernyanyi untuk OM tersebut. Di Surabaya. Orkes Melayu yang tercatat mempunyai peran signifikan di Surabaya adalah Orkes Sinar Kemala. Menurut Weintraub, OM Sinar Kemala ini bertempat di kampung Arab, bahkan anggota orkes ini juga berasal dari orkes gambus (2012: 80).

Dari hal ini, baik Ellya Khadam, Elvy Sukaesih, ataupun Oma Irama semakin matang karena bergabung dengan beberapa orkes melayu. Secara lebih lanjut, OM tidak hanya sebagai medium dalam mencapai ketenaran, melainkan turut menjadi ruang pembelajaran. Hal ini turut terbukti di mana di era pembentukan dangdut, Oma Irama membuat Orkes Melayu yang sesuai dengan selaranya, Soneta di tahun 1970. Tidak terbayang jika Oma tidak bergabung dengan beberapa OM sebelumnya. 

Tidak hanya biduan atau biduanita senior, beberapa penyanyi matang seperti Inul pun berhutang pada grup atau orkes melayu. Di antaranya, Nur Ali, pimpinan grup Nabavenas merupakan salah seorang tetangga yang “menyeleksi”, melatih, dan mengajak Inul pentas. Selain itu, Mulyadi pemberi terma Daratista pada nama Inul, sempat mengajaknya pentas di beberapa daerah. Namanya kian melonjak, Bajuri turut membawa Inul pada level bernyanyi yang lebih tinggi. Inul bernyanyi di diskotek Paradise pada tahun 1991. Tidak hanya itu, Inul semakin melejit ketika bermain bersama OM Putra Buana dan Joko Linglung sebagai MC (Faruk dan Aprinus Salam, 2003: 280-281)

Tidak hanya di tiga kota pusat musik dangdut, Medan, Jakarta, Surabaya, orkes melayu turut terbentuk di beberapa daerah. Di Jawa Timur, orkes melayu tumbuh subur. Di Jombang, OM Soneta pimpinan Edy bahkan telah berganti empat kali formasi pemain. Sudah lazimnya pergantian formasi pada OM turut menghasilkan OM-OM baru hasil pecahan dari OM lama. Sebut saja, OM. Lagista yang muncul karena pecahan OM. Sagita, OM. Laso hasil pecahan dari OM. Sonata, OM. Scoprio pecahan dari OM. Nirvana, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan kebutuhan OM yang sangat dominan di pelbagai daerah. Selanjutnya, siklus tersebut menciptakan banyak peluang untuk para biduan-biduanita lahir. 

 Sebut saja Via Vallen yang tenar karena OM. Sera, OM. Monata, OM. New Pallapa, dan sebagainya. Biduanita yang tidak kalah tenar, Nella Kharisma yang bernyanyi untuk OM. Monata, OM. New Pallapa, OM. Sonata, OM. Scorpio, OM. New Kendedes, OM. Lagista, dan sebagainya. Biduanita belia yang memenangkan kategori pendatang baru wanita terpopuler, Tasya Rosmala, yang kerap bernyanyi untuk OM. New Pallapa atau OM. Monata. Atau Ranta Antika yang tenar karena OM. Monata, OM. New Pallapa, OM. Sera, OM. RGS, OM. Nirwana, OM. Sonata, dan sebagainya. Tidak hanya mereka, masih banyak biduan-biduanita lainnya yang tumbuh dan berkembang berkat orkes melayu. 

Jasa-Jasa OM Yang Terlupakan       

Dalam jagad musik dangdut, pekerjaan terberat ada di pundak OM. Mereka tidak hanya mengatur dan mencari jadwal panggung (baca: manajerial), melainkan harus bersaing dengan OM lainnya, baik yang berada di satu daerah ataupun di daerah sekitar. Belum lagi mereka harus bersaing dengan Elektone, dan Elektone Plus yang lebih ramah budget. Ketatnya persaingan tersebut tidak dapat terhindarkan. Namun yang jelas, OM terbaik akan mencapai popularitas tidak hanya di tingkat lokal, melainkan di tingkat nasional. 

Dari beberapa nama OM yang tenar hingga tingkat nasional kini, niscaya mereka memunyai terobosan (baca: kreasi dan inovasi) yang menarik, baik sifatnya musikal, keragaman penggunaan organologi, serta efektivitas pemain. Mereka tidak hanya memainkan musik dangdut ala kadarnya, atau mirip kaset semata. OM harus mempunyai tawaran-tawaran baru untuk membuat penonton menyukainya.

Hal yang paling penting dari terobosan itu adalah aspek musikal. Tanpa adanya keragaman aspek musikal, satu OM dengan OM lain akan terasa sama, tidak ada beda. Hal ini sebenarnya bukan hal baru, sebut saja di awal pembentukan dangdut di mana perbedaan musikal dibawa oleh Ellya Khadam yang keindiaan, A. Rafiq yang keindiaan dan ketimurtengahan (gambus), ataupun Oma Irama yang kebarat-baratan (baca: rock). Perbedaan musikal ini menjadi sebuah tawaran aural yang selanjutnya membuat penonton menentukan kesukaan mereka.

Di Jawa Timur, hal tersebut kembali dilakukan oleh banyak OM. Mereka melakukan persaingan dari segi musikal. Ada beberapa OM yang mencampurkan unsur musik dari genre lainnya yang signifikan, seperti halnya kehadiran Sodiq di OM. Monata. Percampuran genre ini juga bisa dilihat pada duo/grup yang tengah naik daun kini, NDX aka serta Pendhoza yang mendamaikan musik dangdut dengan musik hip-hop juga rap. 

Tidak hanya mencampurkan dengan unsur musik dari genre lain, percampuran terbanyak justru dengan memasukkan unsur-unsur musikal yang sifatnya etnik. Hal ini tentu juga bukan hal baru, Weintraub (2012) turut mencatat ada banyak dangdut daerah yang muncul, seperti Dangdut Saluang di Sumatera Barat, Dangdut Jaipongan di Jawa Barat, Dangdut Koplo di Jawa Timur. Formulasi dari dangdut daerah tersebut adalah unsur etnis setempat diapropriasi dengan musik dangdut.

Pun hal tersebut turut terjadi kini. Sebut saja OM. Sagita dengan Jandhut (Jaranan Dangdut). Pesona Jandhut tersebut dikembangkan oleh OM-OM lain, semisal orkes pecahan Sagita, OM. Lagista, dan beberapa OM lokal Nganjuk. Selain itu, OM. Sonata juga terkenal dengan unsur etnis bambu—laiknya calung. Pesona unsur etnis ini dikembangkan oleh banyak OM di awal 2010-an oleh OM-OM lainnya. 

Tidak hanya di daerah, unsur tersebut juga berkembang di Jakarta. Perkembangan unsur tersebut justru terjadi selepas OM-OM daerah diundang datang ke Jakarta. Pola ini yang paling marak dilakukan untuk mengembangkan—dapat dibaca dengan mengimitasi—musikalitas OM di daerah. Salah satu contoh dapat dilihat dari OM Sonata. Pada tahun 2013, OM Sonata bolak-balik ke stasiun televisi untuk memainkan musik mereka. Salah satunya adalah untuk mengiringi Caisar berjoged. Setelah beberapa lama, unsur musikal yang dimiliki OM Sonata lantas diapropriasi oleh OM yang dibentuk di Jakarta. Hal ini kiranya juga terjadi karena pertimbangan budget mendatangkan OM daerah ke Jakarta setiap ada acara.

Adapun unsur lainnya yang berkembang, seperti kesenian Patrol yang berkembang di Jawa Timur. Tempo hentakan kesenian Patrol selanjutnya dikembangkan oleh beberapa kelompok, salah satunya adalah kelompok New GPS Sip. Unsur musikal patrol ini lantas diapropriasikan ke dalam lagu oleh beberapa OM, di antaranya OM. Sonata, OM. Roneta, dan lain sebagainya. Secara lebih lanjut, unsur musikal atas etnis tertentu menjadi satu terobosan yang lebih ramah ke penonton. Dan dari sinilah popularitas mereka terbentuk.

Terobosan lain yang masih terkait dengan unsur musikal adalah penambahan organologi. Penambahan organologi tidak hanya membuat penonton penasaran secara musikal dan aural, melainkan secara visual. Seperti halnya kendang Jaipong di OM Jawa Barat dan Jawa Timur, atau kenong kempul yang turut dilakukan oleh OM. Gilaz OBB di Yogyakarta pada medio 2011-an (Raditya, 2013:135). 

Terobosan penting lainnya adalah pada efektivitas pemain OM. Secara lebih lanjut, popularitas OM turut dipengaruhi pada hal yang sifatnya nonmusikal, yakni kekuatan berceloteh sang MC (pembawa acara). Hal ini terasa jitu jika melihat kiprah MC kondang, alm. Rambut Jagung yang dulu kerap bermain untuk OM Sonata, dan beberapa OM lokal lainnya. MC bertugas membuat pertunjukan semakin meriah. Dalam hal ini, pesona yang terakumulasi pada popularitas OM turut didapatkan dari hal yang non musikal. 

Setidaknya hal-hal tersebutlah yang dikerjakan OM untuk modal kontestasi dengan OM lainnya. Dengan dasar inilah OM dapat dikenal dan disukai secara lebih oleh penonton dan pencinta dangdut. Namun tidak hanya itu, OM—khususnya pimpinan OM—mempunyai peran penting bagi penyanyi. Pasalnya mereka dapat menyeleksi biduan atau biduanita yang akan bernyanyi. Pimpinan OM lazimnya mempunyai kepekaan telinga yang lebih untuk menentukan lagu dan genre apa yang tepat untuk para biduan. Mereka tahu biduan-biduanita mana yang lebih memberikan dampak meriah jika menyanyikan satu lagu tertentu, dan sebaliknya. Hal ini turut terbukti, di mana kehadiran Inul di dalam jagad dangdut diawali dengan tidak memaksakan Inul langsung ke lagu dangdut yang pure, melainkan menempatkan Inul pada lagu dangdut yang bernuansa rock, dan beberapa contoh lainnya. Tidak hanya itu, pimpinan OM kerap beralih profesi menjadi “pencari bakat” yang tidak segan datang ke daerah terpencil sekalipun. Secara lebih lanjut OM menjadi tempat pencarian bakat pertama para penyanyi, dan niscaya mereka mempunyai cita-cita besar yakni mengorbitkan para biduan atau biduanita yang mereka “olah”—walau tujuan akhir tetap popularitas. Atas dasar itulah, aktor intelektual dari dangdut perlu disematkan pada orkes melayu. 

OM Adalah Kunci

Kiranya tepat jika OM dinobatkan sebagai salah satu aktor utama dari dangdut. Terlebih jika melihat berbagai kerja yang dilakukan oleh OM dalam membangun popularitas, yang secara implisit turut membentuk konstelasi dangdut Indonesia dulu, kini, dan ke depan. Mereka adalah garda depan dari dangdut, baik secara musikal, sosial, hingga kultural. Di mana aransemen musik yang berbeda antara satu orkes dengan orkes lainnya menjadi konsentrasi utama. Tawaran musikal yang sengaja dibuat, berkontestasi dari satu orkes ke orkes lainnya. Hal yang menarik, tawaran musikal selalu bertautan dengan faktor kultural dan sosial, baik dari referensi aural dari musik rural ataupun urban masyarakat setempat. Alhasil orkes melayu adalah garda depan dari evolusi musik dangdut.

Kesadaran akan pentingnya peran orkes melayu perlu dilakukan. Namun, perubahan kesadaran itu tidak sesederhana dan sesimultan membuat kategori orkes melayu terpopuler yang diberikan tiap tahunnya oleh televisi tertentu. Terlebih penghargaan semacam itu tidak selalu objektif dan jelas dalam mengukur kemenangan. Dalam hal ini, penghargaan adalah bonus untuk OM, pasalnya mereka niscaya dicintai oleh masyarakat secara organik—terejawantahkan dengan massa yang semakin banyak. Alhasil yang perlu kita lakukan adalah membangkitkan kesadaran akan pemahaman agen dangdut tidaklah tunggal. Di mana orkes melayu seharusnya ditempatkan sejajar dengan para biduan-biduanita—tidak kurang.[]

Rujukan

  • Faruk dan Aprinus Salam. 2003. Hanya Inul. Yogyakarta: Pustaka Marwa.
  • Frederick, William H. 1982. “Rhoma Irama and Dangdut Style”, dalam Indonesia, no 34, Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University.
    Raditya, Michael HB. 2013. “Esensi Senggakan pada Dangdut Koplo sebagai Identitas Musikal”. Sebagai salah satu syarat kelulusan program magister dari Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada.
  • Shahab, Alwi. 2004. Saudagar Baghdad dari Betawi. Jakarta: Penerbit Republika.
  • Simatupang, G.R. Lono Lastoro. 1996. “The Development of Dangdut and Its Meanings: A Study of Popular Culture in Indonesia”, submitted to the Departmenet of Anthropology and Sociology, Monash University, in partial fulfilment of the rquirements for Master of Arts Degree.
  • Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni dan Budaya. Yogyakarta: Jala Sutra.
  • Weintraub, Andrew. 2012. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. Jakarta: KPG.

Wawancara

  • Edy Sonata dilakukan pada tanggal 5 September 2017 pukul 23.55
  • Yul Roneta dilakukan pada tanggal 6 September 2017 pukul 21.00