(Ilustrasi: @candraniyulis)
Sosial media twitter selalu riuh membicarakan banyak hal termasuk soal musik. Satu akun dengan nama @txtbocahindie belum lama turut serta menambah keriuhan yang terjadi di linimasa Twitter. Akun ini memang bisa dikatakan bernada sarkastik dan barangkali jenuh melihat fenomena terkini. Mereka banyak mengritisi kecenderungan anak-anak muda yang mendengarkan musik indie dan menganggap orang lain yang tidak senada memiliki selera musik yang rendah. Musical snob. Menganggap musik yang mereka dengarkan superior dan selera mereka dalam bermusik sangatlah tinggi. Kecenderungan ini tentu sangatlah mengganggu, apalagi jika kemudian muncul asumsi bahwa ‘musisi A,B, dan C adalah musisi Indonesia yang paling paham soal isu-isu yang ada di Indonesia!’. Asumsi ini lantas memunculkan pertanyaan, ‘apakah memang benar demikian?’
Berangkat dari pertanyaan inilah mari kita berkelana kembali ke masa lalu untuk melihat sejenak sepenggal sejarah musik yang ada di Indonesia. Dalam sejarahnya, musik yang ada di Indonesia berbicara mengenai isu yang sangat beragam, mulai dari hal yang berkaitan dengan politik maupun sosial. Masing-masing mempunyai warna dan cara tersendiri dalam berekspresi, namun sama-sama menggunakan musik sebagai mediumnya.
Tentu tulisan ini tidak bermaksud untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu, tetapi memberikan sebuah pandangan yang berbeda melalui penggalan-penggalan sejarah dalam dunia musik yang tentunya bisa dilengkapi lebih dalam lagi. Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai musik yang ada di Indonesia dengan beragam isu yang terjadi di zamannya.
Sepenggal Sejarah Musik di Indonesia pada Era Orde Lama
Kalau menilik sejarah dunia musik di Indonesia, lagu yang menyuarakan isu-isu yang terjadi di masyarakat Indonesia tidaklah sedikit. Mulai dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, masing-masing memiliki warna tersendiri. Mari sekilas kita melihat beberapa musisi dan musik di era Orde Lama yang membahas mengenai hal ini. Ahmad Syech Albar, atau yang lebih dikenal sebagai Bing Slamet, menjadi salah satu legenda yang rasanya tidak boleh dilupakan begitu saja. Seniman multitalenta ini telah menghasilkan beberapa karya masterpieces yang membuatnya dikenang banyak orang. Tiga lagu yang dibawakan oleh Bing Slamet. Payung Fantasi, Genjer-Genjer, dan Nurlela, dinobatkan sebagai 150 lagu Indonesia terbaik oleh majalah Rolling Stone Indonesia.
Bing Slamet membawakan lagu-lagu romantis dengan berbagai nuansa namun ada satu nomor yang layak mendapatkan perhatian khusus. Genjer-Genjer, merupakan lagu yang dibawakan dengan tempo lambat dan cenderung lirih. Liriknya tidak bercerita soal percintaan, tetapi menggambarkan keadaan sosial yang pada waktu itu menerpa Indonesia ketika era pendudukan Jepang. Lagu ini menggambarkan kondisi masyarakat di Banyuwangi yang pada waktu itu terpaksa mengonsumsi tanaman genjer sebagai pengganti beras dan sayur-sayuran yang saat itu dirampas paksa oleh Jepang. Tanaman genjer inilah yang menyelamatkan warga dari kelaparan (Hardjanti, 2016; Ningtyas, 2014).
Lagu yang diciptakan oleh Muhammad Arief ini kemudian menjadi populer dan dianggap lekat dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Semakin populer saat dibawakan ulang oleh Lilis Suryani dan Bing Slamet pada awal 1960-an, dengan sentuhan yang berbeda dari lagu aslinya. Lagu ini juga digunakan untuk kampanye PKI pada era tersebut karena dianggap memiliki ‘warna’ yang sama (Hardjanti, 2016).
Sayangnya, stigma terhadap lagu ini berubah pasca tragedi 1965, dari lagu yang membawakan kritik sosial yang terjadi di Banyuwangi menjadi lagu yang digunakan untuk menyiksa para jenderal di film propaganda G30S/PKI. Lagu ini kemudian mendapatkan stigma yang buruk, dan siapapun yang membawakannya di muka publik dianggap memiliki pandangan kiri, atau dicap sebagai komunis (Hendrawan, 2011).
Kemudian ada juga beberapa musisi yang pada era presiden Soekarno dikritik habis-habisan karena musiknya yang dianggap ’kebarat-baratan’. Musik Ngak Ngik Ngok, istilah ini disebutkan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, pada 17 Agustus 1959 (1961:69). Mengutip Ramdan Febrian Arifin (2018), istilah ini menggambarkan musik barat, yang tidak disukai oleh presiden Soekarno. Musik semacam ini dianggap tidak sesuai dengan ideologi bangsa. Namun hal ini tidak menyurutkan lahirnya musisi-musisi yang terinspirasi dari musisi Barat. Beberapa nama di antaranya Dara Puspita, Los Suita, Eka Djaya Kombo, dan Koes Bersaudara (Koes Plus). Nama terakhir adalah salah satu grup yang kemudian sempat ditahan pada era Orde Lama karena membawakan lagu The Beatles.
Tidak bisa ditampik bahwa Koes Plus sangat terinspirasi musisi Barat di antaranya Everly Brothers, Elvis Presley, dan The Beatles. Mulai dari gaya berpakaian hingga musik yang dibawakan sangat lekat dengan tren yang sedang marak saat itu. Bisa dikatakan bahwa Koes Plus seringkali dianggap sebagai fotokopi dari The Beatles versi Indonesia. Nama mereka pun sempat disebut dalam pidato Soekarno yang mengkritisi soal musik ‘kebarat-baratan’ yang dibawakan oleh grup ini.
Koes Plus berusaha untuk ‘melawan’ kritik yang masuk ke dalam pidato Soekarno dengan menggubah karya ciptaannya yang berbicara mengenai Indonesia. Tengoklah lagu Kolam Susu yang menggambarkan kekayaan alam Nusantara. Lagu ini berbicara bahwa saking kaya kekayaan alam yang dimiliki, kita tidak perlu berusaha terlalu keras karena seakan-akan semua hasil laut menghampiri dan semua yang dibiarkan akan menjadi tanaman. Tentu saja ini bisa dipandang sebagai perumpamaan yang hiperbola tetapi memandang kekayaan alam kala itu rasanya penggambaran itu cukup tepat. Ini adalah upaya Koes Plus untuk menunjukkan bahwa mereka tidak kehilangan identitasnya walau membawakan musik yang besar pengaruhnya datang dari musik barat yang sedang naik daun.
Maju dan Menengok Sejenak ke Era Orde Baru
Menarik maju sedikit ke era 1970-1990-an, belantika musik Indonesia mengalami perubahan drastis dari masa sebelumnya. Lockhart (1996:163) mengungkapkan bahwa pada era ini, kontrol terhadap media dan seni berbeda dibandingkan dengan Orde Lama yang cenderung ketat. Hal ini kemudian membuka ruang untuk musik pop tumbuh berkembang dan menjadi bagian yang lekat dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Era ini menjadi awal bagi lahirnya Pop Indonesia.
Pop Indonesia sendiri memang tidak bisa lepas dari pengaruh musik Barat, namun rata-rata lirik yang dibawakan berbahasa Indonesia. Dalam Pop Indonesia sendiri dibagi menjadi beberapa bagian, di antaranya pop ringan, pop berat, dan juga pop country. Materi yang dibawakan dalam musiknya banyak berbicara mengenai kritik sosial terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat, kesenjangan sosial, kemiskinan, korupsi, hingga kerusakan alam. Lagu yang dianggap cengeng dan masuk ke dalam pop ringan, seperti lagu Hati Yang Terluka yang dibawakan oleh Betharia Sonata, pun mengangkat isu kekerasan dalam rumah tangga.
Guruh Sukarnoputra, putra dari Soekarno, menjadi salah satu musisi yang masuk ke dalam pop berat pada era itu. Guruh, bersama dengan Guruh Gipsy, memainkan aransemen yang lahir dari perpaduan instrumen musik Barat dengan gamelan. Karya-karya kreasinya banyak berbicara mengenai nasionalisme dan kecintaan kepada negara. Sedangkan musik-musik pop country Indonesia boleh dibilang menjadi salah satu yang banyak didengarkan oleh generasi orang tua pembaca barangkali, yang masa mudanya tumbuh di era 70-an hingga awal 90-an. Beberapa nama seperti Ebiet G. Ade, Frankie and Jane, Gombloh, dan Leo Kristi barangkali tak asing bagi mereka. Deretan musisi tersebut membawakan kritik melalui karya-karya mereka yang berbicara mengenai isu regional maupun nasional. Mulai dari kehidupan pinggiran, kemiskinan, kerusakan alam, korupsi hingga peperangan.
Namun ada dua sosok yang bisa dikatakan sangat keras mengkritisi pemerintah Orde Baru yaitu Rhoma Irama dan Iwan Fals. Rhoma Irama, yang dikenal juga sebagai raja dangdut Indonesia, sempat sangat kencang dalam memberikan kritik terhadap pemerintah. Membawakan musik dangdut sebagai senjata, perpaduan musik Barat dan juga India ini dibalut dengan apik oleh Rhoma Irama dengan lirik-lirik yang digubah olehnya. Musiknya dianggap sebagai musik rendah oleh kalangan elit pada masa itu, namun justru diminati oleh orang-orang dari kalangan kelas menengah ke bawah yang sepakat dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh Rhoma Irama dalam lagu-lagunya. Karya-karyanya seperti Hak Asasi Manusia dan Rupiah menjadi kritik keras terhadap pemerintahan Orde Baru. Lagu Judi pun sempat membuat berang Gubernur Jakarta, Ali Sadikin. Karya-karyanya pun sempat tidak boleh diperdengarkan di manapun. Setelah sempat kencang mengkritik, pada akhirnya Rhoma Irama yang tadinya menjadi oposisi pemerintah bergabung dengan pemerintah dan masuk ke dalam partai Golkar pada tahun 1980an.
Iwan Fals memilih untuk mengambil jalur yang berbeda dengan Rhoma Irama. Lagu-lagu Iwan Fals sangat kental dengan nuansa folk dan rock. Dia pun sangat keras dalam mengkritik kondisi di era Orde Baru dengan aransemen ciptaannya. Dalam lirik-liriknya, tak jarang menggunakan perumpamaan atau satir terhadap kondisi yang ada. Hal ini membuatnya sempat dilarang untuk tampil dan mempublikasikan karya-karyanya yang dianggap sebagai alat propaganda untuk menggulingkan pemerintah. Namun hal itu tidak menyurutkan geliat distribusi lagu-lagu Iwan Fals, terutama di kalangan generasi muda. Lagu-lagu andalannya seperti Bento, Pesawat Tempur, dan Bongkar menjadi lagu-lagu yang mengobarkan semangat pergolakan di era Orde Baru kala masyarakat sudah jenggah dengan rezim yang ada.
Melanjutkan Perjalanan ke era Pra-Reformasi (1990-an) hingga Pasca-Reformasi
Memasuki era 1990-an hingga menjelang lahirnya era Reformasi, musik punya peranan besar terhadap gerakan anak-anak muda. Hal ini dipengaruhi dengan adanya globalisasi yang memungkinkan akses untuk informasi dari luar dan diadaptasi di Indonesia. Hal ini juga yang menjadi latar munculnya musik bawah tanah (underground music) dan gerakan independen dengan semangat Do It Yourself (DIY). Gerakan ini lahir dari adanya sensor besar terhadap lagu yang dianggap terlalu kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Wallach (2005) menyebutkan setidaknya ada empat aliran musik yang berkembang di musik bawah tanah yaitu: punk, hardcore, metal dan alternative. Masing-masing aliran memiliki perkembangan yang berbeda, namun semangat untuk mengkritisi fenomena yang terjadi.
Salah satu nama yang disebut oleh Wallach pada masa ini adalah grup Puppen yang salah satunya digawangi oleh Arian13, yang saat ini menjadi vokalis Seringai. Puppen menjadi salah satu grup yang dianggap memiliki andil dalam kelahiran gerakan musik bawah dan tanah serta menjadi pelopor semangat Do It Yourself. Mengutip dari Wallach (2002), lagu Puppen yang berjudul Hijau mengkritisi tindakan tentara pada masa era Orde Baru yang dianggap represif. Dalam lagunya Arian13 mengkomparasi warna hijau, dalam hal ini tentara yang dianggap brutal, dengan daun yang memiliki warna yang sama namun dianggap menenangkan.
Setelah Reformasi, gerakan ini kemudian hal ini berlanjut dan berkembang dari awal tahun 2000 hingga saat ini, tak sedikit dari musisi yang menciptakan karya-karya mereka berdasarkan isu-isu mutakhir yang sedang terjadi. Ada beberapa nama grup yang kemudian aktif dalam menyuarakan isu-isu yang terjadi di Indonesia. Sebut saja Efek Rumah Kaca, yang gencar menyuarakan isu-isu sosial dari masyarakat hari ini. Salah satu lagunya, Di Udara, terinspirasi dari mendiang Munir, aktivis kemanusiaan yang mati dibunuh. Ada juga Navicula dengan lagu Mafia Hukum yang mengkritik hukum yang tumpul untuk pihak-pihak tertentu. Jogja Hiphop Foundation dengan lagunya Jogja Istimewa, yang memadukan musik hip-hop dengan bahasa Jawa, sempat marak dikumandangkan di tahun 2010. Lagu yang digunakan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah ketika isu soal keistimewaan Yogyakarta sempat menjadi polemik. Ini hanyalah sebagian kecil dari musisi yang berbicara dan mengkritisi isu atau fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
Isu mutakhir yang menjadi perbincangan baru-baru ini adalah mengenai kesehatan mental. Tidak sedikit musisi yang saat ini mengangkat isu yang sedang hangat terutama di kalangan anak muda. Beberapa nama seperti Barasuara, Isyana Sarasvati, Kunto Aji, ataupun Hindia menjadi sebagian yang mengusung isu ini di dalam karya-karya yang dibawakan. Hal ini tentu menjadi perbincangan yang kerap menghiasi lini masa sosial media.
Salah satu contoh yang dilakukan oleh musisi di atas, Kunto Aji, merupakan salah satu yang bereksperimen di dalam album teranyar garapannya yang bertajuk Mantra Mantra. Mengutip dari Aris Setyawan (2020), dalam lagu Rehat, Kunto Aji menyelipkan frekuensi 396 Hz untuk mengenyahkan pikiran negatif dan menyehatkan mental. Di lagu Pilu Membiru, Kunto Aji juga melakukan eksperimen dengan mengundang orang-orang yang memiliki pengalaman personal dan memiliki kaitan erat dengan lagu garapannya. Kunto Aji menggandeng praktisi pemulihan batin Adjie Santosoputro dan menyanyikan langsung Pilu Membiru dan memberikan pelukan hangat kepada masing-masing individu yang diundang ketika usai mementaskan lagu tersebut.
Lain Era, Lain Pula Fenomena yang Ada
Menilik dari catatan kecil dari sejarah musik di Indonesia dari era Orde Lama hingga saat ini, bisa dilihat bahwa ada beragam kasus yang menarik. Ada yang serupa, namun ada pula yang berbeda. Era Orde Lama yang sangat ketat menyensor musik yang memiliki pengaruh Barat, era Orde Baru yang membuka akses global namun antikritik, era Reformasi yang semakin kritis terhadap kebijakan pemerintah dan fenomena sosial dalam masyarakat, dan yang terkini gencar tidak hanya menyuarakan soal hal-hal politis tetapi juga mengenai kesehatan mental. Masing-masing dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di masyarakat pada zamannya.
Namun satu hal yang sama dari masing-masing era adalah musik ternyata memiliki peranan yang besar dalam menyuarakan isu-isu yang terjadi di masyarakat. Musik menumbuhkan kesadaran. Namun reaksi yang kemudian terjadi setelah itu berbeda bagi masing-masing individu, boleh jadi hal ini mengembangkan pikiran-pikiran kritis dan ada pula yang tidak berhenti dan mewujudkannya ke dalam aksi nyata dalam pergerakan.
Lockhart (1996:153-15), dalam tulisannya, menjelaskan bahwa musik dan musisi, seperti film dan literasi, menjadi refleksi dan artikulasi terhadap fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dan menyediakan media komunikasi alternatif untuk masyarakat tuna aksara atau hidup dalam media yang dikontrol penuh oleh pemerintah. Dalam hal ini musik menjadi media yang sangat membantu untuk menyuarakan banyak hal, baik yang skalanya besar ataupun kecil, dari kritik sosial hingga kesehatan mental, dan masih banyak lagi. Hal ini membuka kesempatan bagi musisi ataupun aliran musik untuk menyuarakan apapun.
Dari catatan kecil sejarah musik di Indonesia ini, lantas apakah benar bahwa musisi atau aliran musik tertentu bisa dikatakan paling kencang dalam menyuarakan isu-isu tertentu? Rasanya sangat tidak adil jika pikiran tersebut berhenti sampai di situ. Pada kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa musik menyuarakan kejadian-kejadian teranyar pada zamannya masing-masing. Bahkan musisi dan aliran musik tertentu menghadapi tantangan yang berbeda dan tidak bisa disamakan. Bahwa musik menjadi media efektif yang menyuarakan isu yang ada dalam masyarakat bisa disepakati, tetapi tidak ada musisi atau aliran musik tertentu yang kemudian dominan. Hal ini bisa membantah asumsi mengenai musisi atau aliran musik tertentu yang ‘paling paham dan kencang dalam menyuarakan fenomena yang terjadi’. Masing-masing musisi dan aliran musik memiliki caranya masing-masing. Hal ini tentu saja bisa diperdebatkan dan membuat ruang diskusi lebih jauh mengenai hal ini.
Referensi
- Febrian A, Ramdan (2018) Kisah Negeri yang Alergi ‘Ngak Ngik Ngok’. Tersedia di: https://www.era.id/read/ezU13p-kisah-negeri-yang-alergi-ngak-ngik-ngok (Diakses: 11 April 2020)
- Hardjanti, A. (2016) Genjer-genjer, Senandung Hidup Rakyat Banyuwangi yang Mati. Tersedia di: http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/09/genjer-genjer-senandung-hidup-rakyat-banyuwangi-yang-mati (Diakses: 11 January 2017).
- Hendrawan, B. (2011) Protest songs: Genjer-genjer touches Indonesia’s soul. Tersedia di: https://www.rnw.org/archive/protest-songs-genjer-genjer-touches-indonesias-soul (Diakses: 11 January 2017).
- Lockard, C. A. (1996). Popular Musics and Politics in Modern Southeast Asia: A Comparative Analysis. Asian Music, 27(2), 149–199. doi: 10.2307/834493
- Ningtyas, I. (2014) Duka Pewaris Naskah ‘Genjer-genjer’ | seni | tempo.Co. Tersedia di: https://m.tempo.co/read/news/2014/10/01/114611009/duka-pewaris-naskah-genjer-genjer (Diakses: 11 January 2017).
- Setyawan, Aris (2020) Ihwal Kesehatan Mental di Blantikan Musik Nusantara. Tersedia di: http://pophariini.com/ihwal-kesehatan-mental-di-blantika-musik-nusantara (Diakses: 11 April 2020).
- Soekarno (1959) Penemuan Kembali Revolusi Kita. Dalam Printono (1961). Penetapan bahan-bahan Indoktrinasi. Pencetak Penerbit Dua-R. Bandung
- Wallach, J. (2002) ROCK AND REFORMASI: INDONESIAN STUDENT CULTURE AND THE DEMISE OF THE NEW ORDER. Tersedia di: https://www.academia.edu/37554969/ROCK_AND_REFORMASI_INDONESIAN_STUDENT_CULTURE_AND_THE_DEMISE_OF_THE_NEW_ORDER (Diakses: 12 April 2020].
- Wallach, J. (2005). Underground Rock Music: And Democratization in Indonesia. World Literature Today, 79(3/4), 16–20. doi: 10.2307/40158922