(Ilustrasi: @candraniyulis)
Saya punya kebiasaan buruk menyumpal kuping dengan earphone sambil berkendara. Memang sedikit bahaya. Tapi apa boleh buat, jalanan kerap bikin senewen. Meskipun belakangan banyak perempatan terlihat lengang. Sore itu, dalam perjalanan yang lumayan penting, daftar putar Spotify sampai pada lagu—yang walaupun favorit—terasa kurang pas. Di lingkar timur saya menepi. Sebuah gerobak yang ditarik seorang bapak melintas kalem di samping kanan ketika saya sedang cari-cari tembang yang cocok. Dreams Songs: The Essential Joe Hisaishi saya putuskan sebagai album yang mungkin elok untuk mengisi magrib yang mendung dan basah sehabis gerimis.
Tepat ketika intro One Summer’s Day mengambil alih suasana dengar, saya menghadap gerobak yang kini berada di muka. Dekorasi puluhan cakram padat yang menggantung di punggung gerobak memantulkan cahaya tipis. Seorang bocah laki-laki, yang duduk di dalamnya, menatap saya sembari menata posisi pantatnya yang berdesakan dengan kardus-kardus bekas. Saya menatap balik cukup lama. Entah bagaimana, denting intro Fmaj9 pada piano One Summer’s Day yang manis justru menggedor-gedor tenggorokan; membuka ruang untuk duri ikan sebesar sedotan melintang di jalan nafas. Dia memalingkan wajah, kembali ke lamunannya. Saya menyudahi tatapan, melaju melanjutkan perjalanan, mendahului mereka dengan sentimen yang sulit diterka dan duri ikan yang masih melintang. Sore itu, One Summer’s Day tidak lagi sekadar simfoni yang elok untuk Spirited Away yang magis. Setidaknya, bagi saya. Mengapa Demikian?
One Summer’s Day adalah gubahan Joe Hisaishi untuk Spirited Away, salah satu magnum opus Hayao Miyazaki. Pada wawancara di gelaran New York Asian Film Festival, Hisaishi mengaku bahwa dia tidak pernah menaruh dirinya dalam setiap musik yang dia susun untuk film-film Hayao Miyazaki. ‘Saya tidak pernah melibatkan perasaan saya dalam membuat musik film, apa yang saya lakukan adalah menerjemahkan rasa dan semesta Miyazaki-San’, begitulah katanya ketika ditanya soal inspirasi dalam membuat musik film, terutama untuk karya-karyanya bersama Studio Ghibli. Jawaban Mr. Joe si John William dari Asia mungkin wajar saja karena tugasnya sebagai pengarah musik untuk film, bukan untuk perasaannya. Meski begitu, kalau didengar-dengar dengan lebih dramatis, seluruh karya Joe Hisaishi bekerja efektif di dalam sekaligus di luar film dan mengandung elemen identik yang khas akan dirinya. Sependek pengamatan saya, penempatan Fmaj9 dalam progresi yang al dente adalah salah satu signatura Hisaishi selain tema yang ear-catching dan orkestrasi yang aduhai. Pun ketika bekerja bersama di luar Ghibli seperti kolaborasinya dengan Takeshi Kitano dalam beberapa film seperti Hanabi (1997) dan Kikujiro (1999), Hisaishi tak pernah kehilangan sentuhan khasnya. Bagaimana mungkin Hisaishi-san tetap memiliki signatura meski bekerja untuk semesta sutradara? Sampai di sini, saya sedikit menjauh dari pertanyaan utama soal duri ikan, magrib, dan tatapan. Tapi ya sudahlah, saya ikutin saja.
Hisaishi lahir sebagai Mamoru Fujisawa enam puluh lima tahun yang lalu. Nama panggungnya muncul lantaran dia ngefans betul dengan Quincy Jones, produser kawakan kebanggaan Paman Sam. Dalam aksara kanji, Kuinshī (Quincy) dapat ditulis juga menjadi Hisaishi dan Joe adalah hasil olahannya dari Jones. Jadilah, Joe Hisaishi. Dia belajar musik di Kunitachi College of Music, Takhicawa, Tokyo. Tentu, di kampusnya, Beethoven, Bach, dan komposer semacamnya masuk ke dalam daftar silabus wajib. Bagi Hisaishi muda, terusan pakem dari karya gubahan nama-nama tersebut perlu diputus, ‘Di usia 20an, saya berpikir bahwa seni adalah tentang mematahkan pakem Beethoven, Bruckner, bahkan John Cage’, begitu katanya di salah satu wawancara promosi untuk konsernya dengan Philip Glass, salah satu dedengkot minimalism.
Semangat menabrak pakem Hisaishi muncul hampir bersamaan dengan gelombang contemporary classical music, sebuah genre yang mengemuka di era perang dingin sekitar tahun 1970an dan menjadi payung besar bagi musisi modernist, post-modernist, electronist, dan minimalist. Di masa-masa inilah Hisaishi mulai mendengarkan orang-orang minimalist seperti Karlheinz Stockhausen, Terry Riley, Philip Glass, dan nama-nama lain. Dia mengaku terkejut dan menemukan minimalist sebagai musik modern yang dia ingin tuju setelah mendengarkan ‘A Rainbow Cured in Air’ karya Terry Riley, seorang musisi yang disebut-sebut sebagai salah satu peletak batu pertama minimalism. Di tahun-tahun itu pula, Yellow Magic Orchestra besutan Ryuichi Sakamoto menjadi fenomena besar dan ikut mempengaruhi cara Hisaishi melihat harmoni dan komposisi. Semua itu menjadi pengetahuan yang terus mengalir ke dalam karya-karya Hisaishi.
Pasca kuliah, dia mulai membuat musik untuk tayangan lokal dan perlahan menuai sukses saat menggarap score untuk serial anime Gyatoruzu (1974). Pada tahun 1981, dia meluncurkan full album pertamanya berjudul MKWAJU, Bahasa Swahili untuk Pohon Asam. Watak minimalis sangat terasa di MKWAJU melalui kesederhanaan yang rumit, nada yang repetitif, dan rima yang konstan. Gubahan inilah yang mempopulerkan Hisaishi dan membuatnya direkomendasikan oleh salah satu produser musik minimalis kepada Hayao Miyazaki untuk menulis Image Album Nausicaä of the Valley of the Wind (1984). Di sinilah kolaborasi legendaris Miyazaki-Hisaishi bermula. Pasca Nausicaä,orkestrasi menjadi elemen dominan komposisi Hisaishi. Meski begitu, ruh repetitif dan rima ajek tetap hadir menemani rombongan string dan woodwind. Bahkan pada tahun 1986, dia masih tetap meluncurkan album minimalis berjudul Curved Music sembari menggarap film Miyazaki. Di dalamnya, nomor minimalis berjudul Out of Town mengandung dua bar tema yang alamak! identik sekali dengan chorus pada soundtrack untuk film My Neighbor Totoro (1988) garapan Miyazaki-san. Sentuhan minimalis juga muncul tipis di lagu Summer untuk film Kikujiro (1997) di mana komposisi piano yang riang gembira dilapisi oleh melodi perkusif bertekstur kayu yang repetitif. Barangkali, Hisaishi memang tak berdaya betul menolak darah minimalis mengalir di ruas-ruas jarinya ketika sedang menunaikan kewajiban sebagai pengarah musik sampai-sampai dia harus berkata, ‘Sebenarnya, aku ini seorang minimalis, jadi itu [minimalis] selalu menjadi pondasiku.’
Lantas, apa urusan minimalis dengan tatapan sore itu? Dan apa pula hubungannya dengan Gamelan dan World Music? Tiga kata yang nempel di judul mengimpit Tatapan dan Joe Hisaishi.
Sebelum World Music?
Sependek pengetahuan saya, minimalism bermula ketika wartawan, mahasiswa musik, dan komentator menyematkan gelar tersebut pada komposisi berjudul ‘In C’ yang digubah oleh Terry Riley bersama kawan-kawannya—salah satunya adalah Steve Reich—pada tahun 1964. ‘In C’ adalah satu nomor berisi motif-motif melodi dan ritme pendek yang dimainkan oleh beberapa musisi secara bersamaan pada beberapa instrumen dalam skala kunci C. Setiap pemain bebas mencipta motif pendek apapun untuk diulang, dihentikan, dan dilanjutkan pada progresi selanjutnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Singkatnya, repetisi yang disepakati. Musik semacam ini dibangun melalui proses oleh motif minimal yang diulang-ulang (minimal set of repeated motifs). Hasil rekaman awal dari kegiatan semacam ini menghasilkan track berdurasi 42 menit 03 detik yang kemudian dilepas ke pasaran oleh Columbia Record pada 1968.
Elemen repetisi yang kuat, kosakata nada yang berkembang perlahan, dan frasa berdaur(cyclical phrase) membuat beberapa pendengar di dunia barat teringat akan melodi-melodi Asia. Salah satunya adalah Jon Pareles, yang menulis di New York Times edisi 1982, bahwa ‘musiknya secara implisit menunjuk pada Raga dari India dan Gamelan Bali.’ Sedikit penjelas, Raga dan Tala adalah sistem musik India di mana Tala (Ritme) menyediakan siklus tempo (time) untuk diisi oleh kerangka melodis (Raga). Meskipun sepertinya Riley tidak menyebut secara langsung bahwa dia terinspirasi oleh dua tone yang disinggung Pareles, namun dia pernah belajar pada Pandit Pran Nath—seorang maestro dari India—yang memperkenalkan Riley pada sistem Raga dan Tala. Soal Gamelan Bali, saya tidak dapat menemukan petunjuk apakah Riley betul-betul dipengaruhi olehnya. Akan tetapi, pada tahun 2011 dia bersama anaknya Gyan Riley si gitaris klasikmengadakan konser kolaboratif bersama Gamelan Galak Tika di MIT (Massachusetts Institute of Technology). Di salah satu media promosi untuk konser itu, Riley berkata bahwa ‘Gamelan dan “In C” berbagi satu kesamaan.’ Dari sudut pandang Riley, tentu agak sulit untuk lalu berpendapat bahwa ‘In C’ sebagai tonggak minimalism dipengaruhi oleh prinsip artikulasi Gamelan Bali. Soal ini, sepak terjang Steve Reich, sebagai salah satu figur penting minimalism, barangkali dapat memberikan petunjuk soal temali antara Gamelan dan gelombang minimalis dari barat.
Jika Riley belajar Raga dan Tala, Reich mendalami perkusi di Universitas Ghana pada tahun 1970. Tiga tahun kemudian, dia mulai menggali seluk-beluk Gamelan di American Society for Eastern Arts di Seattle, California selama setahun. Tentu, petualangannya terjadi setelah pengaruh pendekatan Riley dan paparan melodi klasik, jazz, blues, dan arus barat lainnya selama bertahun-tahun. Hasilnya adalah Music for 18 Musicians (1976) yang lebar, berwarna, dan memperlihatkan pengaruh langsung dari gamelan. Setidaknya, testimoni macam itulah yang tertulis di laman polar music prize yang dedikasikan untuk Steve Reich sebagai penerima penghargaan terkait pada tahun 2007. Sintesis ini terjadi sebelum World Music dikenal sebagai nama untuk satu komposisi yang mengandung elemen ‘dunia’; atau kalau mau lebih absurd, satu gubahan dengan unsur-unsur musik western dan non-western. Dua kata itu mulai populer tahun 80an, meskipun telah ditawarkan oleh Robert E. Brown sejak tahun 60an. Dalangnya adalah perusahaan rekaman di barat yang kebingungan menamai produk-produk dengan gesture-gesture non-western, seperti album Graceland (1986) karya Paul Simon. Jadilah, world music sebagai kategori baru yang sedikit aneh. Sebabnya?
Music for 18 Musicians karya Steve Reich dan ‘In C’ karya Riley yang dipengaruhi oleh Raga dan Tala adalah wujud betapa komunikasi antara satu artikulasi dengan yang lain terjadi sebelum rapat-rapat perusahaan rekaman sepakat menggunakan World Music sebagai kategori untuk memudahkan tata letak produk di toko kaset.[1] Meskipun Reich dan Riley melibatkan ritme ‘dunia’, karyanya sedikit mustahil untuk diterima sebagai bagian dari World Music. Faktanya, Steve Reich memiliki banyak pendahulu yang menubuhkan sintesis antara barat dan timur tanpa label world music, international tone, global beat, dan istilah sejenisnya. Bahkan, di beberapa karya, yang terjadi bukanlah semata sintesis, namun penyerapan secara radikal artikulasi timur ke dalam struktur komposisi yang sampai saat ini di kenal sebagai western. Di titik ini, minimalism membuka pintu bagi saya untuk perlahan mundur ke belakang, mencari tahu interaksi suara dunia yang terjadi sebelum koneksi menjadi suatu kewajaran sekaligus gangguan.
Francis Poulenc, misalnya, telah menulis satu nomor klasik pada tahun 1931 berjudul Concerto Pour Deux Pianos (Concerto for Two Pianos and Orchestra). Schmidt (2001) dalam buku biografinya tentang Poulenc menyampaikan bahwa komposisi itu ditulis setelah si komposer mengalami konser Gamelan Bali di Paris di tahun yang sama. Pembukaan First Movement untuk nomor tersebut memperdengarkan keinginan yang keras untuk memindahkan artikulasi gamelan bali pada piano. Menariknya, wartawan Tempo dalam wawancara dengan Liberty Manik—penggubah Satu Nusa Satu Bangsa—menyebut bahwa Concerto itu membawakan Pelog dengan ‘Cabul’. Entah itu bahasa dari Manik atau proses alam pikir si wartawan. Apa pun itu, ulasan ‘Cabul’ tersebut sangat menggelitik. Kira-kira di tahun yang sama, Colin Mcphee—etnomusikolog dan komposer asal Canada—tiba di Bali dan mendapati dirinya tertarik oleh ritme dan timbre Gamelan Bali. Dia kembali ke kampung halaman dengan oleh-oleh berjudul Tabuh-Tabuhan, sebuah komposisi yang mengadopsi suasana dengar pulau dewata.
Usut punya usut, Erik Satie dan Claude Debussy lebih dulu kesengsem Gamelan lantaran rajin main ke Paris Expo sekitar 1889 yang kebetulan menghadirkan Gamelan Bali sebagai salah satu atraksi. Beberapa sarjana sepakat bahwa Gnossiennes karya Satie terpengaruh betul oleh gamelan. Sedangkan untuk Debussy, Claire de Lune paling sering dibicarakan oleh orang-orang sebagai karya yang ikut dibentuk oleh ‘Asia’. Salah satu figur yang bicara demikian adalah Ryuichi Sakamoto. Sungguh, saya tidak bisa menolak dengar bahwa di potongan Merry Christmas Mr. Lawrence hinggap percikan Claire de Lune. Secara lebih spesifik, Liberty Manik—melalui pengembaraannya di Eropa selama 20 Tahun untuk jalan-jalan dan gelar doctoral—memberikan penjelasan yang lebih komprehensif soal Debussy. Baginya, nomor yang sangat ‘Gamelan’ dari Debussy justru ada pada Cloches a Trevus Le. Di dalam komposisi tersebut, terdengar penggunaan tangga nada penuh atau Debussian Whole Tone, yang menurut Manik muncul sebagai konsekuensi atas pemikiran Mr. Debussy yang ‘Slendoristis’. Tentu, masih banyak lagi komposer yang ‘menatap’ gamelan dengan cara tertentu, misalnya Benjamin Britten, Lou Harrison, John Cage, dan nama-nama lain yang muncul sebelum World Music jadi istilah beken. Tapi kenapa mereka bukan World Music?
Dugaan saya, pertama karena karya-karya mereka belum ‘membutuhkan’ rak tersendiri di dalam toko kaset, CD, Vinyl, atau apa pun itu. Kedua, karya-karya mereka tidak bekerja dengan logika kita dan mereka seperti yang hadir secara implisit di dalam World Music. Di sekujur Concerto for Two Pianos yang ‘didefinisikan’ bukanlah Gamelan dan Piano, namun Concerto for Two Pianos secara formal. Sudah. Di dalam World Music, ada pendefinisian pertemuan antara Perkusi Afrika dan Shamisen Jepang yang dipadu dengan rombongan string kecil-kecil-an serta band. Logikanya adalah perbedaan, ‘Mari kita satukan suara yang beda dalam satu tarikan tempo.’ Begitu kira-kira. Ketiga, dari perbedaan tersebut, persoalan menjadi makin rumit, apalagi ketika memakai rumusan Western dan Non-Western. Jika memang World Music adalah gabungan antara Western dan Non-Western, maka seolah-olah western itu sendiri adalah tunggal, netral dan mengalir jernih; semurni air mineral dari kaki Gunung Slamet. Padahal, Debussy, Poulenc, dan Britten dialiri oleh apa yang mereka sebut non-western. Oleh karena itu, World Music sebagai sebuah kategori cenderung gagal karena terjadi silang-sengketa di dalam tubuh pendefinisiannya yang ahistoris (Brennan, 2001). Dan semua ini terjadi karena Tatapan, baik Sebelum maupun Sesudah World Music.
Tatapan
Tatapan Debussy dan lain-lain terhadap Gamelan, barangkali, adalah juga tatapan terhadap ‘yang-lain’ untuk kemudian ditaruh pada apa yang bagi mereka bukan ‘yang-lain’ yakni Piano, Biola, Cello, dan kawan-kawannya. Hanya saja, pada saat itu, zaman belum berkeinginan untuk menamainya di luar kehendak eksotisisasi. World Music hadir sebagai kategori absurd yang seolah-olah mempertegas kehadiran ‘yang-lain’, bahwa mereka tidak memiliki nama seperti kita, oleh karena itu perlu kita rangkul agar dapat ditandai. Tentu, beberapa memandang optimis penamaan World Music sebagai bahasa ritme dunia dengan pengandaian bahwa kita hidup dalam satu nilai universal. Untuk tujuan itu, ‘yang-lain’ perlu ditaruh pada bukan ‘yang-lain’.
Tatapan, itulah mengapa saya merasa disisipi duri ikan di magrib yang basah. Sore itu, Joe Hisaishi hanya sekadar refleksi di balik korneayang mengantarkan saya pada Terry Riley, Ryuichi Sakamoto, Steve Reich, hingga Debussy sebagai satu paket tatapan yang lebih jauh. Sama seperti mereka—di tepian lingkar timur sore itu—saya juga sedang membangun tatapan terhadap ‘yang-lain’: dia tidak beruntung dari saya; hidup saya lebih baik karena bisa mendengar Joe Hisaishi sembari mendramatisasi perjumpaan dengannya; dia hidup merana, saya tidak; dan lain sebagainya. Jangan-jangan pertanyaannya bukan soal One Summer Day atau Joe Hisaishi, namun Bagaimana saya tiba pada suasana tersebut? Bagaimana bisa saya memiliki Tatapan yang sedemikian rupa pada si bocah laki-laki di atas Gerobak? Mengapa bukan saya yang merevisi posisi pantat di atas kendaraan dan dia yang mendengarkan Joe Hisaishi sambil menatap iba pada saya? Atau, jangan-jangan, dia memang berbuat demikian: menatap saya sembari memutar Once in a Lifetime karya David Byrne di kepala dan bergumam:
‘Am I right? Am I wrong?
And you may say yourself
‘My God! What have I done?’
Oh… dan ini sekaligus menjadi salah satu Tatapan baru saya: Si bocah laki-laki lancar berbahasa inggris.
Rujukan:
- https://gamelan.gs/booklet/returning-minimalism-semara-ratih/
- https://www.wbur.org/hereandnow/2011/12/15/terry-riley-gamelan
- https://www.japantimes.co.jp/culture/2016/06/02/music/composers-joe-hisaishi-philip-glass-team-special-performance/
- https://www.nytimes.com/1982/09/24/arts/terry-riley-moves-from-minimalist-music-to-improvisation.html
- https://archive.nytimes.com/query.nytimes.com/gst/fullpage-9901EED8163EF930A35753C1A96F958260.html
- https://www.theguardian.com/music/2018/feb/08/electronic-composer-ryuichi-sakamoto-my-great-regret-david-bowie
- Brennan, Timothy. 2001. ‘World Music Does Not Exist’ Discourse 23(1):44-62
- Cooke, Mervyn. 2007. ‘Benjamin Britten and the Balinese Gamelan’ Indonesia Circle 18 (52): 22-24
- Schmidt, Carl B. Entrancing Muse: A Documented Biography of Francis Poulenc. Maesteg: Pendragon Press.
- Sorrel, Neil. 1990. A Guide to Gamelan. Portland: Amadeus Press.
[1] Pada tahun 1987 terjadi rapat di salah satu lokasi pertemuan produser di Inggris untuk mendiskusikan bagaimana mereka akan mengategorikan musik-musik baru yang tidak masuk ke dalam kategori yang tersedia.