(Desain: @candraniyulis)
Dalam artikel jurnal dengan judul Underground Rock Music and Democratization in Indonesia (Wallach, 2005) dipaparkan bagaimana skena musik underground telah memberikan pengaruh terhadap lahirnya demokrasi di Indonesia, khususnya pada era 90an awal hingga pasca reformasi 1998.
Indonesia dapat dikatakan benar-benar menerapkan sistem demokrasi secara murni adalah ketika pasca reformasi tahun 1998. Sebelum itu, tepatnya pada era rezim orde baru, demokrasi hanya menjadi istilah umum saja. Karena memang rezim orde baru terkenal dengan sifat otoriternya. Demokrasi tidak berjalan seratus persen pada era tersebut, salah satu contohnya adalah pemilu yang diadakan setiap 5 tahun sekali dan selalu dimenangkan oleh Soeharto. Jurnal Historica Vol.1/2017 menyebutkan bahwa kebijakan-kebijakan politik era orde baru sangat menguntungkan penguasa kala itu, salah duanya adalah kebijakan Fusi Partai Politik (UU No 3 Tahun 1975) tentang partai politik dan Kepres No.82/1971 tentang pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Orde baru juga merombak struktur badan penyelenggara pemilu dan menempatkan kroni-kroni yang setia pada Soeharto untuk menduduki jabatan birokrasi dalam pemerintahan pusat maupun daerah. Bukan hanya itu saja, tidak berjalannya demokrasi dapat dibuktikan dengan beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di era orde baru, sebut saja tragedi Talangsari, Semanggi dan beberapa kasus lainnya.
Hingga pada akhirnya pada tahun 1998 reformasi terjadi, mahasiswa dan hampir seluruh elemen masyarakat turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi, mereka menuntut agar presiden Soeharto selaku pemimpin rezim orde baru agar turun dari jabatannya sebagai presiden. Yang menarik dari peristiwa tersebut adalah, banyak sekali peserta aksi demonstrasi tersebut adalah penikmat hingga pelaku musik underground. Lantas, apakah terdapat hubungan antara skena musik underground dengan perkembangan demokrasi di Indonesia? Bagaimana para pelaku skena yang ada didalam skena musik underground tersebut mempengaruhi perkembangan demokrasi di Indonesia?
Musik underground acap kali diasosiasikan dengan musik keras atau cadas, di mana pada awal hingga pertengahan tahun 70’an, Indonesia memiliki banyak group musik yang mengusung musik cadas tersebut, sebut saja God Bless, SAS Group, AKA, Duo Kribo dan masih banyak lainnya. Pada era 70’an tersebut, musik-musik cadas masih banyak bertemakan tentang pesta dan kenakalan remaja, masih sangat sedikit yang mengusung tema kritik sosial maupun politik. Begitu pula pada tahun 80’an awal hingga 90’an awal, group musik cadas semakin beringas saja, group-group seperti Roxx, Power Metal, Rotor, Suckerhead dan lainnya mengusung musik thrash metal dan mulai bercerita tentang kritik sosial-politik.
Dan tidak lupa generasi awal group musik punk rock pada tahun 90’an di Indonesia yakni, Antiseptic dan juga The Stupid yang juga secara tegas mengusung tema kritis terhadap fenomena sosial maupun politik. Pada dekade 90’an inilah gairah musik underground tersebut merebak ke kota-kota besar di Indonesia seiring berjalannya waktu. Kota-kota seperti Jakarta dan Bandung dapat dikatakan sebagai pusat perkembangan skena musik underground itu sendiri. Bandung dengan komunitas Ujungberung dan beberapa komunitas musik lainnya banyak sekali memunculkan banyak group musik underground, seperti Burgerkill, Purgatory, Puppen hingga Jasad. Sedangkan di Jakarta pada era Poster Cafe di dominasi oleh band band Hardcore Punk seperti The Idiots, Total Destroy, The End, Stepforward, Straight Answer, Dirty Edge, Cryptical Death dan masih banyak lainnya.
Skena musik underground tersebut kebanyakan didominasi oleh anak anak muda yang masih dalam pencarian jati diri dan penentuan sikap sosial maupun politis. Pada perkembangannya, skena musik underground tersebut tidak hanya bermain musik sebagai band, mereka juga memiliki pengaruh besar terhadap proses berkembangnya demokrasi di Indonesia, khususnya pada era 80an hingga 90an akhir, di mana Indonesia sedang dikuasai oleh rezim yang kita kenal dengan rezim orde baru. Musik underground memang hampir selalu diasosiasikan dengan gerakan sosial progresif yang memiliki cita-cita terjadinya perubahan sosial pada tatanan sosial. Mereka membawa semangat perlawanan yang menjadi ciri khas musik underground pada era dimana pemerintahan Indonesia sangat otoriter. Kritik terhadap pemerintahan rezim orde baru sangat banyak di representasikan lewat lirik, performance hingga penampilan mereka, mulai dari band yang mengusung tema satanik pada lirik dan penampilan mereka hingga kritik ala marxis kepada kapitalisme (Pickles, 2000).
Para pelaku skena yang ada dalam skena musik undeground tersebut sangat sering mendapat kecaman dari para kaum “moralis” karena dinilai perilaku mereka melenceng dari apa yang sudah menjadi norma di Indonesia itu sendiri, namun mereka menjelaskan bahwa skena musik undergorund lahir karena mereka ingin menentukan pilihannya sendiri, mereka menolak menelan mentah-mentah warisan-warisan para kaum moralis yang memaksa setiap masyarakat untuk memiliki opini yang sama (Wallach, 2003).
Dalam artikelnya yang berjudul Underground Rock Music and Democratization in Indonesia, yang merupakan hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 1997 hingga 1998 di Indonesia, tepatnya di kota Bandung dan Jakarta, Wallach bercerita tentang bagaimana anak-anak muda yang berada di dalam skena musik underground mempengaruhi pengetahuan demokrasi di Indonesia.
Lewat lirik-lirik lagu dan sikap menentang rezim otoritarian orde baru. Sebut saja lagu-lagu dari band The Idiots yang berjudul Song for Politican, No More Leader, Police Violence dan beberapa lagu lainnya. Dari judul saja, sudah sangat terlihat bahawa mereka bertujuan untuk mengkritik pemerintahan pada saat itu. Belum lagi aksi-aksi panggung yang dilakukan oleh band-band underground di atas panggung, mulai dari mewaranai seluruh tubuhnya dengan cat hitam, atau menggunakan topeng-topeng yang terkesan sangat aneh. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menentang apapun yang khalayak umum katakan sebagai hal yang normal.
Wallach juga bercerita tentang Ideologi Pembebasan yang menjadi prinsip dasar dari banyak para pelaku skena underground di Indonesia. Prinsip-prinsip dasar ideologi tersebut mereka (para pelaku skena) sebarkan melalui media-media sidestream pada saat itu. Salah satunya adalah Zine. Zine adalah sebutan untuk majalah-majalah yang memuat berita-berita sidestream. Dengan modal fotokopi saja, mereka menyebarkan tulisan-tulisan mereka entah itu mengenai musik itu sendiri atau tentang pemikiran-pemikiran mereka tentang kritik terhadap rezim orde baru. Hal ini dapat dikatakan sedikit banyak mempengaruhi para pembaca dari zine tersebut yang kebetulan banyak diantaranya adalah mahasiswa yang juga tergabung dalah gerakan mahasiswa. Jurnal tersebut cukup menjelaskan bahwa musik tidak hanya sekedar media untuk hiburan saja. Musik dapat menjadi sebagai alat propaganda yang cukup berhasil tampaknya jika melihat konteks reformasi 1998. Lirik-lirik yang terkandung didalamnya bukan hanya tulisan belaka, terdapat spirit dan ruh yang terkandung didalamnya hingga dapat mempengaruhi masyarakat. Juga tidak lupa nada-nada dalam musik underground yang kebanyakan bersifat keras dengan tempo tinggi serasa membangkitkan gairah untuk menuju kehidupan yang lebih baik lagi.
Musik dapat menjadi salah satu alat representasi dari ideologi. Karena memang musik adalah salah satu media paling banyak didengar. Terkadang untuk menyampaikan sebuah pemikiran, jika hanya dengan tulisan atau sekedar pidato, tidak dapat mempengaruhi banyak orang. Maka dari itu, dalam Jurnal ini Wallach menceritakan bagaimana musik dan lirik dapat banyak mempengaruhi pikiran banyak orang. Dan hal ini terjadi di Indonesia era pra reformasi hingga pasca reformasi 1998, bagaimana musik musik underground Indonesia sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir para elemen masyaratak untuk melakukan sebuah gerakan yang nantinya akan menjatuhkan rezim otoritatian presiden Soeharto.[]
Referensi
Pickles, Jo. “Punks for Peace : Underground Music Gives Young People Back Their Voice.” Inside Indonesia 64 (2000). https://www.insideindonesia.org/punks-for- peace
Wallach, J., Berger, H. M., & Carroll, M. T. (2003). “’Goodbye my blind majesty’: Music, Language and Politics in Indonesian Underground”. In Global pop, local language, 53-86.
O’Connel, John Morgan, and Salwa El-Shawan Castelo-Branco, editors. Music and Conflict. University of Illinois Press, 2010. JSTOR, www.jstor.org/stable/10.5406/j.ctt1x74rt. Accessed 18 Dec. 2020.
Randall, A. J. (2005). Music, power, and politics. New York: Routledge.
Wallach, Jeremy. “and Democratization in Indonesia.” World Literature Today (2005): 17.
Wallach, Jeremy. “Living the punk lifestyle in Jakarta.” Ethnomusicology 52.1 (2008): 98-116.
Nisa, N., Naim, M., & Umamah, N. 2017 Jul 21. Strategy of Golongan Karya to be Winner in Election Year 1971-1997. JURNAL HISTORICA. [Online] 1:1
Muhammad Mahsa Javier adalah mahasiswa Sosiologi tingkat akhir di UIN Jakarta. Tertarik pada kajian musik dan masyarakat. Pekerja lepas sebagai Audio Engineer. Instagram/Twitter : @nowheremess.
Trackbacks/Pingbacks