(Foto: Dokumentasi PSBK)
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja menghadirkan pertunjukan karya peraih hibah seni PSBK 2018. Hibah seni ini diraih oleh Indra Arifin, seorang komposer muda asal Sumatera Barat yang cukup dikenal di daerah asalnya. Berpartisipasinya Indra Arifin memberi nafas yang berbeda bagi Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, karena baru kali ini PSBK memilih seorang komposer yang berasal dari Sumatera Barat. Indra Arifin juga dikenal dengan karya-karyanya yang bersumber dari tradisi khas Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dalam Curriculum Vitae dan juga CD yang berisikan video pertunjukan Indra Arifin saat mendaftarkan diri pada program hibah PSBK.
Pertunjukan yang digelar pada hari Sabtu 24 November 2018 di Padepokan Bagong Kussudiardja ini berjudul Sua-suara. Dihadiri oleh puluhan penonton yang berbeda-beda latar belakang, semisal mahasiswa, penduduk setempat, seniman, dosen, dan lain-lain, pertunjukan ini dipentaskan di luar gedung (outdoor). Namun terpilihnya panggung outdoor bukan tanpa alasan, ternyata karya Sua-Suara mengadopsi embrio randai (sejenis teater rakyat Minangkabau) untuk pertunjukannya. Pasalnya dalam pertunjukan randai pada tradisi rakyat Minangkabau umumnya, perhelatannya dilaksanakan pada saat malam hari dan bertempat di hamparan luas. Ditemani dengan suasana malam yang sunyi senyap dihiasi oleh suara jangkrik dan tonggeret. Suara dari hewan ini mengiringi bunyi sayup-sayup khas dari sebuah instrumen bambu.
Di arena, terlihat sosok seorang pria berambut sebahu meniup instrumen bambu dari sisi pojok kanan panggung. Pria itu bertelanjang dada serta memakai sejenis bawahan hitam berbentuk seperti rok panjang sampai ke mata kakinya. Pelan-pelan ia mendekati panggung sembari meniup instrumen bambunya, menuju ke sebuah tempat yang ada di pojok bawah, kiri panggung. Sesampainya di tempat yang dituju, pria itu duduk bersila sambil tetap membunyikan instrumen bambunya. Kemunculan pria ini disusul oleh tiga pelaku pertunjukan lainnya, dengan cara yang sama saat memasuki panggung. Mereka duduk di tempat yang telah disediakan di dalam panggung sambil terus meniup instrumen bambunya. Instrumen bambu ini dikenal dengan nama saluang. Tiap-tiap penampil menggunakan saluang dengan nada yang berbeda satu sama lainnya.
Nada dasar yang berbeda pada tiap-tiap saluang yang dimainkan oleh para penampil, menyatu menjadi satu dengan harmonisasi yang unik. Kekhasan Minangkabau pun terasa pada saat para penampil memakai teknik garenek/garinyiak (getaran dengan jari disertai dengan tiupan oleh mulut) ketika meniup saluangnya. Para pelaku pertunjukan memakai sejenis rok panjang, yang ternyata bisa dipergunakan menjadi sebuah instrumen musik.
Rok ini biasanya dipakai dalam pertunjukan randai dan disebut dengan nama galembong. Para penampil mengeksplorasi galembong dan menepuk-nepuk bagian tubuhnya yang bisa berbunyisecara bergantian, seolah-olah mereka saling berdialog satu sama lainnya hanya dengan menggunakan bunyi. Setelah eksplorasi menggunakan galembong usai, pertunjukan disambung dengan permainan randai dari dua orang pria sementara dua orang pria lainnya memainkan saluang seraya berdendang.
Foto: Dokumentasi PSBK
Pada pertengahan dendang, pepatah-petitih Minangkabau terdengar lantang. Pepatah-petitih itu berisikan wejangan dan merupakan pegangan dalam menjalani kehidupan bagi orang Minangkabau. Reaksi penonton saat mendengar hal ini berbeda-beda satu sama lainnya, ada yang mengerenyitkan dahi, mengangguk-angguk, dan ada pula yang asik merekam dengan gadgetnya. Randai pun dilanjutkan seusai pepatah-petitih, dapat dilihat bahwa gerakan randai pada pertunjukan ini berasal dari gerak silat Minangkabau. Gerakan yang tajam, lugas, dan tegas disertai dengan pandangan yang intens dari dua orang penampil yang saling berhadapan membuat suasana sedikit tegang. Keduanya diam dan saling bertatapan, mereka terlihat seperti memasang kuda-kuda seakan ingin menyerang. Sayangnya hal itu tidak terjadi. Dua orang penampil yang saling berhadapan ini, mulai bergerak dan berjalan ke arah meja yang telah dipersiapkan di atas panggung. Seperangkat laptop dan talempong berada di atas meja tersebut.
Kedua penampil ini memainkan musik elektronik disertai dengan talempong secara bersamaan. Lambat laun suara talempong terdengar lirih, dan bahkan benar-benar berhenti. Musik elektronik lebih mendominasi dan terus mengalun, hingga terdengar suara seperti feedback yang panjang layaknya bunyi alat vital sign saat mendeteksi tidak ada lagi denyut kehidupan pada manusia. Lampu panggung kemudian meredup, dan keempat orang penampil berkumpul di tengah panggung. Mereka lantas berbicara satu sama lainnya, dan mendiskusikan ingin melakukan kegiatan apa. Seorang pria lantas menjawab, bagaimana kalau kita barandai saja? (dengan bahasa Minang) Ajakan itu langsung disetujui oleh teman-temannya, lalu mereka membentuk lingkaran dan mulai berjalan sembari berdendang dan melakukan gerakan randai.
Berbeda dengan randai yang ditampilkan sebelumnya (pada saat awal), kesan randai yang ditampilkan pada momen ini, terkesan lebih playful dan memancarkan kesenangan. Senyum dari masing-masing penampil serta kekonyolan-kekonyolan yang dihadirkan pada bagian ini, membuat penonton ikut tersenyum melihatnya. Senyum atas kegelian yang dihadirkan oleh para penampil, mendadak berubah dengan sebuah kata yang mengungkapkan keterpukauan ‘wow’. Kata ini terlontar pada saat para penampil melakukan atraksi randai dengan apik dan teratur, disertai dengan bebunyian yang dihasilkan oleh galembong. Tidak lama setelah itu pertunjukan berakhir, lampu mulai hidup di segala sisi, disertai dengan tepukan tangan dari penonton.
Penonton dan Kemanusiaan di Era Globalisasi
Pertunjukan Sua-suara dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama menceritakan tentang realitas Minangkabau pada zaman dahulu kala, bagian kedua menceritakan mengenai realitas Minangkabau pada saat ini, dan yang ketiga merupakan ekspektasi Indra Arifin terhadap Minangkabau ke depannya dan nilai-nilai apa saja yang perlu dilestarikan untuk menciptakan Minangkabau yang demikian.
Karya ini mengajak kita untuk menyelami dan memahami nilai kebudayaan dan kebersamaan antar sesama manusia. Zaman yang berubah disertai dengan kemajuan teknologi ikut merubah cara manusia berinteraksi. Memang teknologi mempermudah hidup manusia, namun di sisi lain kemajuan dari teknologi lambat laun merubah watak, karakter, dan sifat manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya sifat manusia di era ini cenderung individualistis dibandingkan dengan masa lampau. Sua-suara mengingatkan dan merefleksikan kembali bahwasannya ada yang hilang dalam proses kemajuan zaman, yakni kebersamaan dan bagaimana cara untuk memanusiakan manusia. Padahal di tiap-tiap budaya etnis Indonesia hal itu dibubuhkan di dalamnya melalui praktik kelisanan. Hal di atas juga dapat ditemui dalam karya Sua-suara, yakni pada bagian pepatah-petitih adat yang berisikan nasehat awal. Inilah yang ditawarkan oleh Indra Arifin di dalam Sua-suara.
Foto: Dokumentasi PSBK
Penawaran yang cukup menarik, ia membuat kita menimbang serta mengingat kembali siapakah kita, apa yang hilang dalam proses perkembangan zaman, meskipun perubahan ialah sesuatu yang kekal apakah memang kita harus meninggalkan hal-hal yang diajarkan dalam tiap-tiap budaya atau tradisi demi menuju kondisi modern.
Walaupun demikian karya ini juga memiliki kekurangan tersendiri. Petuah adat yang berbahasa Minang tentunya sangat susah untuk dimengerti para penonton yang notabene berasal dari daerah-daerah yang berbeda masing-masingnya, ditambah lagi Indra Arifin dan kawan-kawan tampil di tanah Jawa. Introduksi terhadap budaya Minangkabau sangat signifikan dan berperan sentral di sini. Esensi mengenai budaya Minangkabau juga perlu untuk dijelaskan, agar komunikasi yang diharapkan dapat terjalin antara penonton dan penyaji. Sebab pada dasarnya penonton merupakan partisipan aktif dari sebuah pertunjukan. Penonton sebagai partisipan aktif pertunjukan berperan serta bertugas sebagai penerima pesan di dalam sebuah pertunjukan, lantas jika mereka diabaikan komunikasi yang diinginkan di dalam pertunjukan tidak akan terjalin. Bahkan suatu pertunjukan bisa dikatakan gagal jika tidak mengajak penontonnya berinteraksi; contohnya pada pertunjukan humor. Jikalau penontonnya tidak tertawa dengan banyolan sang pelawak, bisa dikatakan bahwa pertunjukannya itu gagal, karena penontonnya tidak merespons maksud dari sang pelawak. Hal ini menandakan betapa pentingnya peran penonton di dalam sebuah pertunjukan.
Di dalam budaya Minangkabau dikenal istilah duduak samo tinggi, tagak samo randah yang artinya memosisikan manusia secara sama. Jika karya Indra Arifin berfokus untuk mengembalikan nilai-nilai yang bisa diaplikasikan pada saat ini; mungkin dimulai dengan cara memosisikan penonton dahulu secara layak. Pasalnya penonton juga merupakan manusia dan subjek pertunjukan yang harus diperlakukan secara adil, layaknya kita berkomunikasi sehari-hari.[]