Foto: @riandanudhar (Krisis Kolektif)
Hujan deras yang mengguyur Yogyakarta sejak siang hingga menjelang malam pada Sabtu (29/02), tak menghalangi Krisis Kolektif menggelar gig pertama mereka. Kolektif multidisiplin yang dibentuk belum lama ini mengadakan acara bertajuk Tempat Krisis Pakansi: Volume 1 di Songolas Burger, Yogyakarta. Beberapa unit musik dari Yogyakarta, yaitu Deterrent, Nood Kink, The Bunbury, Good Gestalt, New Blood; serta CJ1000 yang datang dari Bandung hadir sebagai sajian utamanya.
Ketika saya datang pada sore hari, sebuah panggung kecil dengan lebar sekitar tiga meter telah berdiri di halaman Songolas Burger. Susunan sound system yang sederhana berdiri di atasnya. Terdiri drum, tiga amplifier untuk bass dan dua pengeras suara untuk vokal yang berdiri di kedua sisi panggung.
Hujan membuat acara yang mestinya dimulai jam 17.00 terpaksa dimulai menjelang jam 19.00 WIB. Hal ini membuat beberapa band terpaksa gagal untuk soundchek. Sebabnya panggung yang terbuka harus ditutup dengan terpal untuk mencegah alat-alat musik kebasahan. Untungnya setelah hujan usai acara bisa langsung dimulai dengan penampilan dari band pertama.
Deterrent membuka gig ini dengan riff-riff yang gelap, distorsi yang meraung-raung, dan ketukan drum yang rapat. Tampil dengan formasi tiga orang, mereka seakan mencoba tancap gas untuk menaikkan tensi acara dengan membawakan komposisi yang agresif. Sayangnya pengaturan alat yang dilakukan tampaknya kurang maksimal karena suara dari masing-masing instrumen sering tidak seimbang dan saling menelan satu sama lain.
Venue yang tadinya lengang mulai cukup ramai ketika Nood Kink naik panggung. Mereka membawakan musik indie pop renyah yang mengingatkan saya pada The Pains of Being Pure At Heart di album self-titled mereka. Mungkin karena ini merupakan penampilan perdana mereka, pada beberapa momen mereka masih terlihat grogi di atas panggung. Meski begitu mereka menyajikan materi-materi yang potensial dan patut ditunggu kelanjutannya.
Pada penampilan berikutnya The Bunbury mengentak para penonton yang mulai memadati bibir panggung. Sekilas mungkin banyak orang akan merasakan pengaruh besar Morissey pada gaya menyanyi vokalis The Bunbury. Namun di samping hal tersebut, mereka mengombinasikan unsur-unsur jangle pop, post-punk, dan sedikit indie rock dalam komposisinya.
Foto: @riandanudhar (Krisis Kolektif)
Malam telah semakin larut dan penonton semakin ramai memadati halaman Songolas Burger. Good Gestalt tampil berikutnya dengan menyajikan sekitar tujuh lagu bernuansa indie rock yang melankolik. Selanjutnya, CJ1000 berhasil membuat adrenalin para penonton naik dengan lagu-lagu mereka yang garang. Sepanjang set band asal Bandung tersebut, para penonton tak ragu untuk moshing dan crowd surfing mengimbangi lagu-lagu dengan nuansa hardcore punk yang kental.
Winona Dryver menutup set band malam itu dengan nomor-nomor indie rock yang pekat diselimuti oleh lapisan-lapisan reverb dan noise. Momen tersebut juga cukup spesial karena tepat pada malam itu pula Extended Play (EP) perdana mereka berjudul First Echo Solution dirilis secara digital. Semua lagu dalam EP tersebut dibawakan pada malam itu ditambah beberapa lagu lain yang dirilis secara terpisah.
Ketika set dari Winona Dryver selesai bukan berarti acara telah berakhir. New Blood dengan format DJ Set membawakan mixtape berisi lagu-lagu hip-hop dan R&B hingga tengah malam, acara berakhir.
Pilihan-Pilihan di Tengah Ketidakpastian
Inisiatif dari Krisis Kolektif untuk membuat acara berkonsep micro gig patut diapresiasi. Karena biasanya untuk menggelar acara seperti ini di Yogyakarta, organisator acara akan berhadapan dengan banyak ketidakpastian. Kondisi tidak jelas itu bisa datang dari sisi finansial, ketersediaan venue, dan juga cuaca.
Dari sisi finansial, micro gig tentu tak bisa diharapkan untuk mendatangkan uang yang banyak. Apalagi jika pemasukan utama berasal dari penjualan tiket. Jangankan untung, bahkan sering kali pendapatan dari tiket tidak cukup untuk menutup semua pengeluaran sehingga sang organizer harus merogoh kantong pribadi untuk menutupnya. Di sisi lain, Krisis Kolektif hanya memasang ketentuan donasi sebesar Rp10.000, itupun hanya untuk penonton yang mau berdonasi.
Dengan angka tersebut salah satu cara yang digunakan Krisis Kolektif untuk mengurangi pengeluaran adalah dengan menyewa drum, amplifer, serta sound system dari kawan sesama kolektif lain di Yogyakarta. Soundman-nya pun berasal dari anggota kolektif sendiri. Hasilnya, pengeluarannya pun jauh lebih murah jika dibanding menggunakan penyewaan sound system komersial.
Kemudian masalah ketersediaan venue dan cuaca menurut saya adalah hal yang saling terkait. Di kala musim penghujan tentu lokasi yang ideal untuk mengadakan acara adalah venue tertutup. Meski begitu tidak mudah untuk menemukan tempat indoor yang murah dengan lokasi yang strategis. Untuk venue terbuka ada beberapa pilihan yang murah dengan lokasi yang bagus, tetapi konsekuensinya mesti berhadapan risiko kehujanan.
Risiko itu juga ditempuh oleh Krisis Kolektif dengan venue di halaman Songolas Burger yang terbuka. Benar saja saat jadwal band untuk soundcheck sebelum acara, hujan turun dengan deras. Akhirnya panggung dan alat-alat ditutup dengan terpal agar tidak kebasahan. Untungnya, ketika acara berlangsung hanya turun sedikit gerimis yang tidak terlalu mengganggu.
Dengan pilihan-pilihan yang mereka ambil, menurut saya acara kemarin dieksekusi dengan cukup baik. Tentu saja masih banyak ruang yang dapat dieksplorasi saat mereka mau mengadakan acara-acara berikutnya. Namun hal yang perlu dipastikan adalah neraca keuangan, di mana ia harus tetap seimbang sehingga tidak kapok untuk membuat acara lainnya.[]