(Desain: @candraniyulis)
Kajian gender dapat dikatakan telah menjadi salah satu pembahasan utama dalam kajian musik metal. Robert Walser (1993) melalui magnum opus-nya berjudul Running with the Devil: Power, Gender and Madness in Heavy Metal Music mengawali eksplorasi mendalam terkait tempaan maskulinitas menjadi bagian di dalam musik metal. Melalui karya pionirnya tersebut, Walser mengatakan musik metal sering kali mementaskan fantasi-fantasi dari keahlian dan kontrol maskulin di dalamnya. Secara musikal, metal mengartikulasikan sebuah dialektika dari kekuasaan pengendalian dan kebebasan yang transenden. Sementara secara visual, musisi metal biasanya terlihat seperti laki-laki angkuh—berjingkrak dan berjalan dengan sombong ketika pentas—sebagai pengumuman secara visual atas pelanggaran yang spektakular. Tampilan visual yang disebutkan oleh Walser ini, kemudian dipertegas oleh Hecker (2012) yang menyebutkan metal digambarkan dan dibangun atas citra-citra hipermaskulinitas.
Deena Weinstein (2000) mengatakan bahwa gaya metal, dari pakaian dan rambut, dengan bentukan dan gerakannya, adalah laki-laki. Gambaran yang terbaca dari gaya metal mengungkap sebuah ancaman laki-laki–dari, oleh, dan untuk laki-laki. Gaya dari metal adalah maskulin, dan perempuan yang ingin menjadi bagian dari kultur metal harus bergaya seperti laki-laki (Weinstein, 2000). Selain itu, Bennet (2001) juga menyebutkan pertunjukan-pertunjukan metal menjadi ruang untuk mempertontonkan seksualitas dan ikatan laki-laki antara band dan para penonton mereka yang sebagian besar adalah-laki-laki.
Perempuan sejak lama tidak memiliki tempat yang baik di dalam pasar musik populer secara umum, ketika laki-laki telah menempati lokasi-lokasi yang lebih sentral, seperti peran dalam posisi produksi dan pembuat keputusan dalam bermusik. Schmutz dan Faupel (2010) menyebutkan bahwa fenomena ini disadari tidak lepas dari nilai-nilai patriarki yang ada berdampingan dengan kehidupan bermasyarakat sejak dahulu. Kemudian, dalam skena musik keras secara khusus, banyak musisi perempuan yang mengalami hambatan dalam mengambil bagian penting, yang sebagian besar didominasi oleh laki-laki sehingga mereka kurang dipandang secara seutuhnya sebagai seorang seniman. Schilt (2003) menyebutkan pada umumnya partisipasi perempuan dalam skena musik keras dibayangkan hanya untuk mendukung penampilan laki-laki atau, bahkan, seperti yang disebutkan oleh Wald (1998), hanya dilihat kontribusinya dalam konteks seksual, seperti sebagai groupies, kekasih, dan penyanyi latar.
Mullaney (2007) mengatakan terdapat semacam ‘pemisahan peran’ yang seksis di dalam musik keras, di mana perempuan selalu hanya menjadi pemeran pendukung dan tidak pernah dianggap menjadi bintangnya. Menanggapi realitas tersebut, sekitar tahun 1991, muncul pergerakan subkultur anak muda feminis bernama Riot Grrrl yang mengombinasikan kesadaran feminis dengan estetika, politik, dan gaya dari punk sebagai bentuk counter-culture atau budaya tandingan untuk “menegur” seksisme yang ada di skena musik keras (Garrison, 2000). Namun, berbagai upaya yang dilakukan oleh pergerakan Riot Grrrl ini pada nyatanya sering kali mendapat penilaian negatif dan penyepelean dari pers-pers musik karena mereka perempuan sebagaimana yang diungkapkan oleh Helen Davies dalam jurnalnya All Rock and Roll Is Homosocial: The Representation of Women in The British Rock Music Press (2001).
Kembali ke dalam konteks musik metal, para peneliti yang mengkaji hubungan yang terjalin antara metal dan gender menyebutkan bahwa metal, dalam tahapan ekstremnya, merupakan sebuah wacana yang dibentuk oleh patriarki. Saya kemudian mencoba melakukan eksplorasi lebih jauh terkait fenomena ini dalam konteks skena metal di Indonesia–dengan mempertimbangkan masih sedikitnya di Indonesia kajian tentang metal dan gender. Saya melakukan wawancara dengan sebuah unit metal asal Bogor bernama Psychotic Angels, yang beranggotakan Chumi (vokalis), Chacha (bassis), dan Onenk (gitaris), serta satu eks-personelnya bernama Iniz untuk merekam pengalaman mereka sebagai perempuan dalam skena musik metal, serta mengeksplorasi tentang pemaknaan budaya tanding yang dilakukan oleh perempuan terkait keputusan mereka untuk masuk ke dalam skena metal.
Sistem Patriarki yang Crosscultural dan Praktik ‘Tak Ramah Perempuan’ dalam Skena Metal
Sebagai penikmat dan pengagum kebudayaan metal, saya ingin mengajak para metalhead untuk tidak menutup mata bahwa di dalam lingkungan budaya yang kita cintai ini masih banyak praktik yang tidak “ramah perempuan”, dalam artian masih terdapat praktik-praktik ketidaksetaraan berbasis gender yang merendahkan dan membatasi posisi perempuan dalam kebudayaan metal–setidaknya ini yang dialami oleh para personel Psychotic Angels.
Obrolan santai saya bersama dengan tiga personel dan satu eks-personel Psychotic Angels menunjukkan adanya bentuk-bentuk ketidaksetaraan yang melemahkan dan mendiskreditkan posisi mereka sebagai perempuan yang terjadi di dalam lingkungan metal. Sebagai contoh, Onenk, sang gitaris, menceritakan ketika mereka memulai karier musik mereka di skena metal mereka sering dianggap sebagai band cupu dan kerap diragukan musikalitasnya oleh metalhead, hanya karena band mereka beranggotakan perempuan semua. Keraguan tersebut adalah bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap kredibilitas para personel Psychotic Angels untuk menjadi penampil di dalam skena metal. Melihat fakta ini, saya merujuk pada Davies (2001) yang menyatakan bahwa permasalahan yang sering kali dilekatkan pada penampil perempuan yang ada di dalam musik keras adalah kredibilitas mereka sebagai penampil yang dipertanyakan. Padahal, menurut hemat saya, pengakuan terhadap kredibilitas bermusik adalah hal yang penting untuk seseorang yang berkiprah di dalam dunia musik karena hal ini akan berbanding lurus dengan diakuinya mereka sebagai seniman secara utuh.
Selain itu, Chumi menceritakan pengalamannya tentang bagaimana ia dan personel lainnya pernah benar-benar tidak dianggap dan dipandang ‘tidak cukup metal’ untuk sebuah band metal. Hal ini disebabkan karena ketika mereka menampilkan pertunjukkan musik metal, mereka hanya dianggap sebagai sekumpulan perempuan yang berusaha bergaya seperti laki-laki. Kemudian, mereka juga sudah tidak asing dengan sikap-sikap–baik dari penonton, kru, maupun sesama musisi–yang meremehkan mereka. Sering kali anggapan dan pandangan yang meremehkan yang dialami mereka itu terjadi karena mereka perempuan dan memiliki ukuran fisik yang relatif lebih kecil dibanding dengan musisi laki-laki lainnya.
Sikap para metalhead tersebut—yang mayoritas adalah laki-laki—jelas berlandaskan pada adanya perbedaan jenis kelamin di antara mereka; antara mereka sebagai laki-laki dan para anggota Psychotic Angels yang adalah perempuan. Adapun fenomena ini dapat terjadi sebagai akibat dari sistem patriarki yang dikatakan Eisenstein (1979) bersifat crosscultural atau lintas budaya.
Sebelum masuk lebih jauh pada sifatnya yang crosscultural, mari kita membahas sedikit tentang patriarki. Zillah R. Eisenstein (1979), dalam bukunya yang membedah patriarki melalui kacamata radikal, menyebutkan bahwa patriarki merupakan penataan masyarakat secara hierarkis oleh laki-laki, di mana melalui sistem kekuasaan seksual ini laki-laki ditempatkan pada posisi yang superior. Adanya penstrukturan masyarakat melalui pemisahan seksual, menurut Eisenstein, membatasi aktivitas, pekerjaan, hasrat dan aspirasi dari perempuan (Eisenstein, 1979).
Kate Millet berpendapat bahwa patriarki merupakan bentuk dominasi yang paling fundamental di dalam setiap masyarakat (dalam Vold et al., 1998). Menurutnya, patriarki termantapkan dan terawat melalui sosialisasi peran seks dan penciptaan “identitas gender”, yang melaluinya baik laki-laki dan perempuan menjadi percaya bahwa laki-laki superior di dalam berbagai bidang. Berdasarkan pada identitas gender tersebut, laki-laki cenderung untuk mendominasi perempuan dalam berbagai interaksi personalnya, dan terus meluas hingga ke seluruh lembaga dan organisasi dalam masyarakat yang lebih luas (Vold et al., 1998). Hal ini lah yang sebelumnya juga disampaikan oleh Eisenstein (1979) bahwa patriarki merupakan konsep yang crosscultural; meskipun ia teraktualisasi secara berbeda pada masyarakat yang berbeda, dengan cara melembagakan hierarki seksual. Garis-garis dalam peran sosial mungkin bebeda-beda dalam setiap masyakarat yang berbeda, tetapi kekuasaan tetap terletak pada laki-laki (Eisenstein, 1979).
Berdasarkan pada hal ini, saya kemudian sampai pada analisis bahwa kebudayaan metal itu sendiri merupakan bentuk kebudayaan populer yang juga tumbuh di dalam masyarakat yang patriarkal. Sehingga citra-citra yang ditampilkan dari kebudayaan metal pun, kemudian, adalah citra-citra yang berasal dari cita-cita patriarki. Sebagaimana juga Walser (1993) menyebutkan bahwa musik metal merupakan wacana yang dibentuk oleh patriarki. Lebih jauh, citra pemberontakan, kemarahan, agresivitas, dan transgresi yang ditampilkan di dalam musik metal itu sendiri selalu diasosiasikan dengan nilai-nilai maskulin yang dilekatkan kepada laki-laki; musik metal, kemudian, digambarkan sebagai tempaan maskulinitas dan juga dibangun atas citra-citra hipermaskulinitas (Hecker, 2012).
Musik metal kemudian sering dianggap sebagai domain dari laki-laki (Arnett, 1996). Pandangan seperti ini didasari oleh adanya sosialisasi sistem seks-gender yang berlandaskan pada cita-cita patriarki. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya oleh Volt et al. (1998) bagaimana patriarki termantapakan dan terawat melalui sosialisasi peran seks dan penciptaan identitas gender, di mana terdapat pemisahan ciri-ciri gender yang khas antara laki-laki dan perempuan. Sistem seks-gender itu sendiri dipahami sebagai sebuah satuan susunan yang dengannya masyarakat menjelmakan seksualitas biologis ke dalam produk-produk aktivitas manusia (Tong, 2009).
Dalam konteks tulisan ini, metal dilihat sebagai produk dari aktivitas manusia—aktivitas dari manusia-manusia metal. Akan tetapi, musik metal yang seharusnya menjadi pilihan bebas dari setiap manusia dalam berseni, pada kenyataannya juga menjadi salah satu produk dari aktivitas manusia yang tergenderkan. Penetapan relasi dan identitas gender yang berlandaskan pada cita-cita patriarki ditegaskan oleh Krenske dan McKay (2000) membuat nilai-nilai dari laki-laki dipandang lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga perempuan secara berkelanjutan harus ‘melakukan gendernya’ dengan kondisi yang dirugikan.
Lebih jauh, dalam skena metal, perempuan dirugikan ketika mereka menjadi penampil di dalam musik metal. Sebagai penampil di dalam musik yang dianggap penuh dengan citra kekerasan dan pemberontakan, akan sangat membantu ketika mereka menunjukkan ekspresi kemarahan. Namun demikian, agresivitas seperti itu dianggap sebagai sifat atau ciri maskulin sehingga setiap perempuan yang berani untuk mengekspresikan kemarahan mereka akan dianggap tidak masuk akal dan, bahkan, tidak normal. Sebagaimana Tong (2009) menyatakan bahwa “normalitas” dari seseorang bergantung pada kemampuan mereka untuk menampilkan identitas dan perilaku gender yang secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis mereka.
Meksipun Matthis et al. (2004) menyatakan maskulinitas dan feminitas sulit diberikan batasan karena kedua konsep tersebut bergantung pada interpretasi budaya mengenai kelelakian dan keperempuanan, batasan-batasan gender yang ada di dalam kebudayaan metal, pada akhirnya, tidak berbeda dengan batasan-batasan yang ada di dalam kebudayaan dominan di masyarakat Indonesia–sebagai dampak dari sistem patriarki yang crosscultural. Interpretasi budaya mengenai kelelakian dan keperempuanan yang berada di dalam kebudayaan dominan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap interpretasi-interpretasi yang ada di dalam kebudayaan metal, yakni interpretasi-interpretasi yang berlandaskan pada cita-cita patriarki. Oleh karena itu, interpretasi mengenai kelelakian dan keperempuanan yang ada di dalam kebudayaan metal tetap saja menempatkan kekuasaan pada laki-laki. Penggambaran maskulinitas di dalamnya menunjukkan urgensi dominasi laki-laki terhadap perempuan, yang salah satunya adalah lingkungan yang seksis.
Walser (1993) mengatakan bahwa seksisme merupakan pokok ideologis utama dalam musik metal, dan berbagai macam bentuk wacana yang seksis tersebut dipahami sebagai penunjuk urgensi dan pengaruh dari cita-cita patriarkal. Salah satu bentuknya adalah keberadaan perempuan dalam lingkungan metal yang tetap dilihat sebagai obyek seksual. Hal ini pula yang pernah dialami oleh Chumi ketika dirinya masih merangkap peran sebagai manajer band. Sebagai manajer, Chumi selalu menyediakan nomor kontaknya kepada pihak-pihak yang ingin membicarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bandnya. Namun, banyak pihak yang pada akhirnya menghubungi kontaknya bukan dengan tujuan membicarakan hal-hal terkait band, melainkan untuk ‘mem-booking’ dirinya. Pengalaman tersebut jelas menjadi bentuk diskriminasi yang dialami Chumi karena posisinya sebagai seorang perempuan yang menjadi penampil di dalam skena metal tetap tidak dipandang seutuhnya sebagai seorang seniman metal, melainkan tetap dipandang dari sudut kontribusi secara seksualnya saja.
Perempuan dalam Skena Metal, Sebuah Kontroversi?
Sebagai seorang penampil, eksistensi perempuan di dalam musik metal pada kenyataannya masih menimbulkan kontroversi. Terkait hal ini, saya menemukan adanya hubungan-hubungan yang saling berkelindan antara kebudayaan metal yang dianggap sebagai subkebudayaan menyimpang, yang menimbulkan metal panic, dan harapan gender terhadap perempuan yang berlandaskan pada cita-cita patriarki.
Anggapan kebudayaan metal sebagai subkebudayaan yang menyimpang oleh masyarakat dominan muncul karena adanya beberapa praktik di dalamnya yang dianggap melanggar batas-batas moralitas yang ada sehingga tidak sesuai dan tidak bisa diterima oleh masyarakat dominan. Keberadaan metal pada akhirnya menimbulkan kepanikan moral. Bentuk kepanikan moral yang paling nampak dari metal adalah terkait dengan pembawaannya yang dianggap menggambarkan nilai-nilai satanis (Weinstein, 2000). Selain itu, menurut Hecker (2012) banyak sekali tuduhan yang menyalahkan musik metal karena menggoda anak-anak muda ke dalam satanisme dan juga penghinaan pada Tuhan. Hal ini ternyata terjadi juga di Indonesia, di mana kepanikan moral pernah ditimbulkan oleh pemberitaan-pemberitaan media mainstream nasional terhadap musik black metal yang “satanis” (Wallach, 2005). Kondisi kepanikan moral seperti ini kemudian diadopsi ke dalam konsep metal panic untuk menjelaskan reaksi sosial yang timbul dari munculnya musik metal (Hecker, 2012).
Terkait hal ini, Chacha, sang pembetot bass, menceritakan pengalamannya. Ia menceritakan bahwa keluarga besar ibunya memiliki latar belakang nilai-nilai keislaman yang kental. Suatu waktu ia pernah diceramahi oleh salah seorang saudara dari keluarganya tersebut mengenai keprihatinannya terhadap musik metal yang dilihat sebagai musik pengikut setan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, Chacha sempat beberapa kali dilarang oleh saudaranya tersebut untuk berkarir di musik metal. Sebagai perempuan yang berasal dari keluarga yang menjunjung tinggi nilai keislaman, ia dianggap tidak boleh untuk ikut-ikutan bermain musik metal karena dinilai menyimpang dari citra seorang perempuan Muslim.
Selain itu, metal panic juga muncul karena tampilan di dalamnya yang menunjukkan citra kekerasan, kegaduhan, kenakalan, serta menjerumuskan anak muda ke berbagai perilaku negatif. Hal ini menimbulkan kepanikan terhadap musik metal karena dilihat memiliki potensi pengaruh yang buruk terhadap anak-anak (Weinstein, 2000). Para personel Psychotic Angels ternyata juga pernah mengalami pembatasan dan pelarangan untuk berkarir di dalam musik metal underground dari orang-orang terdekatnya karena beberapa alasan-alasan tersebut, antara lain karena citra kekerasan, kenakalan, penggunaan obat-obatan terlarang, dan penyalahgunaan minuman beralkohol. Pengalaman terekstrem adalah yang dialami oleh Iniz, eks-personel dari Psychotic Angels yang harus keluar dari band karena desakan orang tua. Iniz mengatakan pertimbangan yang membuat orang tuanya tidak menyukainya berkarier di musik metal adalah terkait dengan citra metal yang didominasi oleh laki-laki, penuh kekerasan, gaya yang berantakan, mabuk-mabukan, dan lainnya. Oleh karena itu, Iniz sebagai perempuan dianggap tidak cocok untuk berada di lingkungan yang seperti itu oleh orang tuanya.
Berdasarkan pada pengalaman Chacha dan Iniz, dapat terlihat bahwa terdapat pertimbangan lainnya yang melatarbelakangi pembatasan mereka dalam berkarir di musik metal, yaitu karena mereka perempuan. Orang tua Iniz bisa bersikap keras dan mendorong Iniz untuk keluar dari Psychotic Angels sangat mungkin terjadi karena adanya sosialisasi perilaku gender yang berdasarkan cita-cita patriarki, yakni yang mengharuskan perempuan untuk tetap menjadi individu yang pasif–karena segala arogansi dari perilaku aktif adalah milik laki-laki.
Lebih jauh, Eisnstein (1979) mengatakan bahwa jenis kelamin merupakan kategori status dengan implikasi-implikasi politis di dalamnya. Berdasarkan pernyataan ini, jenis kelamin para personel Psychotic Angels yang adalah perempuan menyebabkan mereka terbatasi dalam membuat pilihan-pilihan. Ketika perempuan menjalani pilihan yang dianggap tidak sesuai dengan identitas dan harapan gendernya, hal tersebut dapat berimplikasi pada stigmatisasi terhadapnya. Kondisi ini membuat mereka terdiskreditkan secara mendalam karena pilihan mereka untuk berkarya di musik metal tidak disikapi secara positif dari orang lain, namun justru membuat mereka mendapatkan penilaian-penilaian yang negatif.
Psychotic Angels: Sebuah Upaya Budaya Tandingan
Gagasan mengenai budaya tandingan memiliki tujuan untuk dapat “menghancurkan sistem” dan memasang sebuah sistem yang baru dan lebih baik, selain itu juga berupaya menggantikan kepercayaan-kepercayaan yang tumbuh di dalam kebudayaan mainstream (Issit, 2011). Jika merujuk pada Roberts (1978), gerakan budaya tandingan dikatakan berkepentingan dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik, tetapi tidak dengan cara pembaharuan legislatif atau dengan perlawanan yang menggunakan kekerasan terhadap kebudayaan dominan. Teori pembaharuan dalam budaya tandingan adalah dengan menyediakan sebuah pandangan alternatif sehingga masyarakat dominan bisa saja berubah dengan secara sukarela (Roberts, 1978).
Sejalan dengan gagasan ini, eksistensi Psychotic Angels dalam skena metal merupakan sebuah pengejawantahan gerakan budaya tandingan perempuan terhadap sistem seks-gender yang menempatkan perempuan di posisi yang tidak setara dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat serta berbudayanya. Bentuk kebudayaan ‘mainstream’ di dalam masyarakat Indonesia adalah kebudayan yang patriarkal. Karenanya, kepercayaan-kepercayaan yang tumbuh mengenai keperempuanan di dalam masyarakat–mengenai peran dan perilaku gender perempuan yang pasif, lemah lembut, penyayang, penurut dan lainnya–adalah kepercayaan-kepercayaan yang merupakan manifestasi dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, perempuan yang memutuskan untuk berkiprah di dalam skena musik metal mengalami tekanan yang berganda dari masyarakat. Pertama, mereka harus menghadapi cap negatif yang diberikan oleh masyarakat terhadap kebudayaan metal–dianggap memiliki nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam kebudayaan dominan–dan juga mereka harus menghadapi ekspektasi masyarakat terkait identitas gendernya sebagai perempuan–karena adanya sosialisasi sistem seks-gender dan identitas gender yang berlandaskan pada cita-cita patriarki. Kondisi ini sangat menghambat dan membatasi perempuan dalam upaya mengembangkan dirinya secara utuh dan maksimal sebagai manusia.
Dalam kondisi seperti ini, Psychotic Angels hadir dengan formasi yang berisikan anggota perempuan seluruhnya–yang saya maknai sebagai bentuk perlawanan. Mereka pun menegaskan bahwa keputusan mereka untuk berkiprah di dalam skena musik metal adalah untuk membuktikan bahwa musik ini bukan hanya milik laki-laki. Selain itu, ini juga menjadi pembuktian diri mereka terhadap khalayak bahwa perempuan juga bisa berbuah lebih dan memiliki peran lebih dalam skena musik metal.
Mereka juga menolak argumen yang mengatakan bahwa musik metal adalah domain dari laki-laki. Chacha mengakui bahwa wajar sebenarnya jika musik metal dianggap oleh masyarakat sebagai musiknya para laki-laki karena sejak dahulu secara sosial laki-laki telah distereotipekan sebagai manusia yang keras. Weinstein (2000) dalam bukunya mengatakan perempuan yang ingin masuk ke dalam lingkungan metal harus bergaya seperti laki-laki sehingga memberi kesan bahwa perempuan yang ingin diterima di dalam lingkungan metal harus melakukan imitasi terhadap apa yang dilakukan oleh laki-laki. Namun, para personel Psychotic Angels menganggap bahwa apa yang mereka lakukan sejauh ini di dalam lingkungan metal bukanlah sesuatu yang dipahami sebagai upaya imitasi terhadap laki-laki, melainkan memang benar-benar sesuatu yang bisa dan mampu mereka lakukan sebagai perempuan.
Lebih jauh, mereka mempercayai bahwa maskulinitas dan feminitas bukanlah sesuatu yang bersifat kaku. Saya melihat ini adalah yang apa disebut oleh Britton (2011) bahwa gender merupakan sesuatu yang bersifat performatif. Dalam argumennya, Britton (2011) menegaskan bahwa gender dicapai melalui pertunjukan dan tampilan dari sifat dan perilaku maskulin dan feminin. Berdasarkan aspek performatif dari gender tersebutlah dimungkinkan adanya perempuan yang bertindak maskulin, dan begitu pun sebaliknya.
Upaya budaya tandingan dari Psychotic Angels terhadap sistem seks-gender yang melemahkan posisi perempuan paling kental tertuang dalam lagu mereka berjudul “Silent”, yang diakui sebagai salah satu lagu yang benar-benar mewakili keresahan mereka selama berkiprah di skena metal. Berikut adalah lirik dari lagu Silent:
Semua mencaci kita
Semua memaki kita
Hanya kata-kata kotor yang ada
Karena kita kaum hawa yang di
Pandang sebelah mata
Biarkan mereka bicara
Biarkan menyatakan
Kita buktikan pada mereka
Buktikan pada mereka
Bahwa kita bukan hanya hiasan
Yang hanya dilihat saja
Tetapi pembuktian yang nyata
Shut up your mouth!
Mari kita buktikan
Bahwa kita bisa lakukan
A lullaby song for the hopeless
Let’s scream to fight the gender
Shut up your mouth!
Silent and hear!
And screaming our song!
Lirik lagu ini ditulis oleh sang vokalis, Chumi, sebagai sarananya untuk meneriakkan bahwa perempuan juga mampu untuk berbuat lebih di dalam skena musik metal, dan juga sebagai perlawanan Psychotic Angels terhadap pandangan sebelah mata yang diterima dari orang lain, yang hanya karena mereka perempuan.
Pada akhirnya, eksistensi Psychotic Angels di dalam skena musik metal ini dapat dimaknai sebagai bentuk upaya menghadirkan budaya tandingan karena dalam upaya mereka “menghancurkan” sistem patriarki tidak dengan jalan legislatif atau pun kekerasan—sebagaimana yang diungkapkan Roberts—melainkan menggunakan musik sebagai media alternatif mereka dalam menyuarakan perubahan. Keputusan mereka untuk terjun ke dalam skena metal adalah statement sekaligus harapan bahwa pandangan masyarakat dominan mengenai peran dan identitas gender yang merugikan perempuan dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu melalui penampilan diri mereka di dalam skena musik metal.
Referensi
Arnett, J. (1996). Metalheads: Heavy Metal Music and Adolescent Alienation. Colorado: Westview Press.
Britton, D. M. (2011). The Gender of Crime. Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers.
Davies, H. (2001). All Rock and Roll Is Homosocial: The Representation of Women in The British Rock Music Press. Popular Music, 20(3), 301-319.
Eisenstein, Z. R. (1979). Capitalist Patriarchy and the Case for Socialist Feminism. New York: Monthly Review Press.
Hecker, P. (2012). Turkish Metal: Music, Meaning, and Morality in a Muslim Society. Farnham: Ashgate Publishing Ltd.
Issit, M. L. (2011). Goths: A Guide to an American Subculture. In M. L. Issit, Guides to Subcultures and Countercultures. California: Greenwood.
Krenske, L., & Mckay, J. (2000). ‘Hard and Heavy’: Gender and Power in a Heavy Metal Music Subculture. Gender, Place and Culture, 7(3), 287-304.
Matthis et al., I. (2004). Dialogues on Sexuality, Gender, and Psychoanalysis. London: Karnac Books Ltd.
Roberts, K. A. (1978). Toward a Generic Concept of Counter-Culture. Sociological Focus, 11(2), 111-126.
Tong, R. P. (2009). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press.
Vord, GB et al. (1998). Theoretical Criminology (4th Edition Ed.). New York: Oxford University Press.
Wallach, Jeremy. (2005). Underground Rock Music and Democratization in Indonesia. World Literature Today; 79, 3/4; ProQuest Research Library.
Walser, R. (1993). Running with the Devil: Power, Gender, and Madness in Heavy Metal Music. London: Wesleyan University Press.
Weinstein, D. (2000). Heavy Metal: The Music and Its Culture (Revised Edition Ed.). Da Capo Press.
Aditia Tjandra saat ini bekerja sebagai peneliti lepas. Lulusan Kriminologi UI yang memiliki ketertarikan pada kajian musik, subkultur, dan gender. Memiliki kebiasaan berbagi daftar putar lagu di Spotify melalui instagram @aditiatjandra13.