Teks:
Michael H. B. Raditya

Foto:
Swandi Ranadila

Bagi para pendengar dan penggemar Sisir Tanah, performativitas Bagus Dwi Danto—atau kerap disapa Danto—dengan alunan gitar di tiap penampilannya sudah lebih dari kata cukup. Bertumpu pada alunan gitar dan kekuataan lirik yang kerap mengangkat isu sosial, politik, dan ekologis dengan gaya khas balada agaknya sudah lekat di telinga pendengar jagad musik indie Yogyakarta pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Namun sabtu malam (6/5), format pertunjukan Sisir Tanah berbeda dari sebelumnya: baik dari variasi alat musik yang digunakan; nomor lagu yang dimainkan; hingga musikalitas lagu yang dipertunjukkan.

Perubahan itu bukan tanpa sebab, inisiatif merekam lagu Sisir Tanah yang lazimnya hanya dipertunjukkan dari panggung ke panggung disambut baik oleh Leilani Hermiasih (Frau)—dan kelompoknya, LARAS – Studies of Music in Society, yayasan yang bergerak pada bidang kajian musik di masyarakat. Alhasil, mempercayakan Doni Kurniawan sebagai pengarah musik, Sisir Tanah berkerja sama dengan beberapa musisi muda Jogja, seperti: Ragipta Utama (Gitar), Nadya Hatta (Keyboard), Faizal Aditya (Bass), Indra Agung (Drum), Asrie Tresnady (Sitar), Yussan Ahmad Fauzi (Tanpura), Erson Padapiran (Trumpet), Jasmine Alvinia (Backing Vokal), dan Justitias Jelita (Cello).

Dengan format baru inilah lantas sejumlah sepuluh lagu dikemas dalam sebuah album bertajuk Woh, antara lain: “Lagu Baik”, “Lagu Romantis”, “Kita Mungkin”, “Lagu Hidup”, “Lagu Pejalan”, “Lagu Lelah”, “Obituari Air Mata”, “Konservasi Konflik”, “Lagu Bahagia”, dan “Lagu Wajib,” diluncurkan di IFI – LIP Yogyakarta. Konser peluncuran album tersebut menutup konser Harus Berani Tur yang dihelat sejak bulan April lalu di beberapa kota, seperti: Jakarta, Cirebon, Bekasi, Pamulang, Sukabumi, Bandung, Purwokerto, Semarang, Salatiga, Solo, Malang, Surabaya, Balikpapan, dan Samarinda. Alhasil di kota terakhir, Yogyakarta telah menjadi saksi akan upaya pengabadian lagu-lagu Sisir Tanah yang tidak hanya menggugah semangat, namun menjadi cermin untuk berfikir dan bersikap bagi para pendengarnya.

 

Konser yang Intim

Akhirnya setelah sekian lama atas penantian yang panjang, sebuah album perdana Sisir Tanah lahir. Dikemas dengan sebuah konser, peluncuran album tersebut didukung oleh banyak pihak, seperti TNGR, Kedai Kebun Forum, Kongsi Jahat Syndicate dan sebagainya. Sebuah bukti bahwa Sisir Tanah memang sudah ditunggu-tunggu oleh banyak penggemarnya. Mempercayakan pada penata artistik, M. Rizki Sasono, panggung konser dibuat lebih luas namun asimetris, dengan kesan mempesona, membuat alunan demi alunan terasa istimewa.

Dalam teram temaram cahaya merah, pertunjukan dibuka dengan penampilan dari Fajar Merah, putra dari Wiji Thukul. Membawakan tiga lagu, termasuk salah satunya adalah “Bunga dan Tembok”, Fajar Merah telah membuka konser dengan teks perlawanan yang dilantunkan dengan gitar akustik, impresif. Pertunjukan dilanjutkan dengan penampilan dari Ananda Badudu dengan dua nomor baru darinya, dan ditutup dengan sebuah lagu bertajuk “Esok Pasti Jumpa”, dari grup terdahulunya, Banda Neira. Sempat dihinggapi rasa grogi, pertunjukan justru menghapus rasa tegang dari dinginnya konser yang menyelimuti.

Sebelum pertunjukan utama dimulai, seorang perwakilan dari tim produksi, Irfan R. Darajat, menyampaikan sepatah dua patah kata yang menjelaskan cikal bakal pembuatan album dan pertunjukan di malam itu. Seusai menyampaikan dan memberi kontekstual atas pergelaran, konser peluncuran album dimulai.

Berjalan perlahan dari gelap cahaya, Danto memasuki panggung dan mulai bernyanyi. Dua buah lagu pembuka dengan format Sisir Tanah lazimnya (baca: alunan gitar) bertajuk “Lagu Baik” dan “Lagu Romantis” dimainkan. Dua lagu tersebut tidak berbeda layaknya lagu yang diunggah Danto di laman soundcloud miliknya. Namun sebuah kejutan terjadi di lagu ketiga, “Kita Mungkin”, di mana pada bagian tengah lagu, seorang demi seorang melangkah ke panggung, baik dari belakang panggung ataupun dari area penonton. Lagu ketiga ini menjadi momentum perubahan yang semula dimainkan dengan alunan gitar menjadi format band.

Kendati tidak terjalin terlalu mulus, lagu ketiga ini menjadi simbol ‘kebaruan’ dari lagu-lagu Sisir Tanah selanjutnya, antara lain: “Lagu Hidup”, “Lagu Pejalan”, “Lagu Lelah”, “Obituari Air Mata”, “Konservasi Konflik”, “Lagu Wajib”, dan “Lagu Bahagia.” Aransemen di masing-masing lagu membuat nuansa baru di pelbagai lagu lama dan menciptakan citra yang senada di beberapa lagu baru.

Di penghujung konser, penonton yang bersesak-desakan belum mau berpisah. Pada akhirnya, encore bertajuk “Lagu Istri” dinyanyikan oleh Danto secara solo. Lagu tersebut menutup konser dengan perasaan takjub atas format baru yang diusung. Tersemat wajah bahagia dari Danto yang kerap meluapkan kesenangannya dengan candaan, bahkan acapkali lupa atas apa yang harus dilakukan. Namun dengan pembawaan yang natural dan bersahabat, suasana konser terasa hangat, cair, serta erat.

Bertolak dari itu semua, Sisir Tanah telah sukses melahirkan album perdananya dengan lancar. Variasi musik yang ditakutkan membuat Sisir Tanah hilang pamor karena aransemen musikal yang berubah justru luluh lantak dengan konser di malam itu. Kekuatan Danto dalam merapal kata, merepetisi terma, gumaman bernada, hingga melantun layaknya musikalisasi puisi tetap terjaga. Danto dengan khasnya tidak meniru gaya balada dari para penyanyi sebelumnya, namun memberikan warna baru yang lebih kekinian. Dan tidak disangka, kekuatan Danto dalam berbalada justru semakin kaya dan variatif atas bantuan aransemen ‘baru-nya’.

Ini tentu sebuah pencapaian yang manis dari upaya Danto dengan Sisir Tanahnya dalam bermusik yang konon ia mulai sejak tahun 1996. Waktu yang tidak sebentar itu meneguhkan Danto dan Sisir Tanah tidak terbawa dengan genre lain, dan tetap setia serta konsisten dengan jalan musik yang ia pilih, balada. Setidaknya ini bukan hanya perayaan atas sebuah album, namun perayaan atas sebuah penantian dan kesetian di dalam musik.[]