(Ilustrasi: @candraniyulis)
Beberapa waktu yang lalu saya sedang membaca sebuah artikel jurnal tentang situs pariwisata kematian di Yerusalem, ketika tiba-tiba ponsel yang sedang saya gunakan untuk menyetel musik keras-keras memutar “Bathroom” dari Grrrl Gang. Lirik yang didendangkan Angee, vokalis Grrrl Gang yang luar biasa keren itu, membawa saya pada hari-hari lucu nan bodoh di akhir 2017.
Waktu itu, singkat cerita, saya sedang menggemaskan seorang “mas-mas” dan lagu ini jadi titik balik saya menyadari kalau rasa gemas yang saya rasakan itu agaknya mulai berubah jadi serius. Saya kemudian hanya duduk di sana dan berpikir: dunia sedang dilanda pandemi dan di sinilah saya, tiba-tiba merasa agak patah hati karena teringat sebuah kisah usang tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Menarik, saya pikir, bahwa lagu berdurasi dua setengah menit tentang seorang kekasih yang sedang buang air besar bisa memantik begitu banyak kenangan dalam kepala saya. Meskipun demikian, setelah dipikir-pikir lagi saya memang agaknya senang mengarsipkan kenangan dalam lagu-lagu yang ada di daftar putar. Saya gemar sekali berpura-pura jadi karakter utama dalam sebuah film coming-of-age dan semua momen yang rasa-rasanya penting akan punya lagu tema mereka sendiri. Lalu suatu hari nanti, waktu lagu itu secara random terputar di Indomaret atau radio di mobil, saya akan dibawa kembali merasakan kejadian dalam ruang dan waktu yang partikular itu.
Saya seringkali melakukan ini kalau sedang jatuh hati. Ada beberapa kriteria yang membantu saya membedakan rasa tertarik lucu-lucuan dari sesuatu yang lebih serius: membaca horoskop orang ini dengan tekun misalnya, tapi selain itu saya akan menyusun daftar putar berisi lagu-lagu yang ia rekomendasikan atau pernah kami dengarkan berdua. Dari “Lagu tentang Tuan” ke “My Jinji Don’t Cry”, dari “An Ode to A Libra” ke “I Wish I knew U Earlier”—masing-masing daftar putar ini bercerita tentang bagaimana saya menyayangi (dan pada akhirnya berhenti menyayangi) orang-orang yang berkelindan dalam lagu-lagu itu. Seperti Lara Jean, yang menulis surat cinta ketika dia begitu menyukai seseorang sampai tidak tahu lagi harus berbuat apa, menyusun daftar putar adalah cara saya mengenang dan merelakan all the boys I’ve loved before.
Kalaupun sedang tidak mengurasi memento romantis semacam itu, saya tetap senang sekali mengingat momen-momen signifikan lain lewat lagu. Saya mengenang mendiang Mamah lewat “I’m Gonna Be Around” dari MLTR, akhir masa SMA lewat “Stole the Show” dari Kygo, awal hari-hari perkuliahan lewat “Worth It” dari Stars and Rabbit, patah hati paling amburadul yang pernah saya rasakan lewat “Musim Ujan” dari SORE, setahun yang hebat bersama himpunan jurusan saya lewat “Montage” dari Elephant Kind dan daftarnya berlanjut terus.
Kadang-kadang lewat lagu saya bahkan bisa mengenang sesuatu yang belum terjadi. Contohnya begini: pada suatu hari, seorang teman pernah bilang kalau setiap mendengarkan “Kenangan Manis” dari Pamungkas ia selalu membayangkan sedang melihat keluar jendela kereta yang akan membawanya kembali ke Jakarta di akhir perkuliahan. Itu membuat saya termangu-mangu karena kemudian waktu mendengar lagu itu diputar di sebuah kafe saat sedang mengerjakan tugas, perut saya tiba-tiba ditonjok sensasi rasa sedih yang muncul setelah memikirkan betapa sedikitnya waktu yang tersisa untuk saya habiskan dengan teman-teman.
Belakangan saya mulai menyadari fakta bahwa daftar putar juga seringkali menjadi medium untuk melestarikan memori kolektif. September 2019 lalu, waktu gerakan “Gejayan Memanggil” untuk pertama kalinya muncul ke permukaan, dua daftar putar berjudul “Awas Negara Vol. 1” dan “Playlist Tuq DPR’ ikut bersirkulasi dalam aksi. Daftar putar pertama yang terdiri dari lagu-lagu semacam “Mosi Tidak Percaya” dari Efek Rumah Kaca dan “Disinformasi” dari Seringai bagi saya adalah bentuk kemarahan yang membuatmu mengepalkan tangan dan mengertakkan gigi. Sedangkan, daftar putar kedua yang berisi lagu-lagu seperti “Buaya Buntung” dari Inul Daratista dan “Suket Teki” dari Didi Kempot mengambil pendekatan yang lebih humoris—meskipun sama getirnya—dalam menggambarkan amarah dan rasa frustasi masyarakat pada pemerintah, semacam adegan-adegan sinematik di mana si protagonis memilih berjoget sejenak sambil menyumpahi para tiran.
Musik rupanya betul-betul berbicara dalam bahasa yang tidak mengenal kelas dan dengan caranya sendiri telah menjadi monumen digital yang menandai dimulainya sebuah gerakan sosial. Dalam tulisannya yang berjudul Music and Social Movements, Danaher (2010) mengatakan bahwa gerakan sosial dapat berjaya ketika identitas kolektif para partisipan tercipta melalui ritual berbentuk musik dan lagu, seringkali menjadi ritual yang amat mumpuni dalam membentuk identitas kolektif tersebut. Untuk mendukung pernyataannya, Danaher lebih lanjut menyisipkan sepenggal kisah dari Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika di Amerika Serikat yang menggunakan lagu We Shall Overcome sebagai salah satu mars untuk memantik bara perjuangan. Siapa yang menyangka bernyanyi bersama rupanya dapat menyatukan orang-orang dalam cara yang tak terbayangkan?
Kemudian, tentu saja Covid-19 datang menghajar setiap lini kehidupan dewasa ini. Entitas yang bahkan tidak dapat kita lihat secara kasat mata itu dengan luwes bertingkah mirip penindas sekolah dasar versi luar biasa makro: ia membuat ekonomi ambruk, sekolah-sekolah ditutup, orang-orang kehilangan pekerjaan, tenaga medis kewalahan dan dunia secara umum jadi porak-poranda. Pandemi membuat kita menyadari bahwa sistem yang menyangga kehidupan kita selama ini keropos hingga ke tulang-tulang; bahwa beberapa kelompok ternyata jauh lebih rentan daripada apa yang selama ini terlihat; bahwa pemerintah ternyata tetap telaten mengakomodasi permintaan pemegang modal meski korban jiwa terus bergelimpangan. Di saat yang bersamaan, masalah-masalah sosial yang sudah lama mengendap di sudut-sudut pun tetap tekun menjejali televisi, surat kabar dan linimasa Twitter—dus membuat kita tetap tidak kebal serangan bahkan walaupun apa yang kita lakukan sehari-hari hanya mematuhi anjuran penjarakan fisik dengan tidur-tiduran di rumah.
Saya pun menemukan diri saya sendiri merasa jauh lebih patah hati dibanding sebelum-sebelumnya. Saya kira begitu juga dengan jutaan orang lainnya di seluruh dunia. Tebak apa yang kita lakukan? Kita bernyanyi. Bukan, maksud saya bukan kumpulan selebriti yang menyanyikan lagu “Imagine” bersama-sama (karena jujur saja, itu insensitif dan menyebalkan), tapi orang-orang di Italia menyanyi bersama-sama dari balkon masing-masing rumah, Didi Kempot menggalang dana lewat konser di rumahnya (terima kasih banyak Pakde, selamat beristirahat), dan kita, kita yang barangkali merasa insignifikan dan tidak punya daya apa-apa ini membagikan lagu-lagu dan daftar putar lewat fitur cerita di Instagram, cuitan di Twitter, dan media-media sosial lainnya sebagai semacam bentuk solidaritas dan pengingat bahwa kita ada di sini bersama-sama.
Musik seringkali dituduh sebagai sebuah bentuk eskapisme yang membuat kita melarikan diri dari realita dan dalam banyak kesempatan barangkali itu memang benar. Tetapi jika kamu sedang dikepung marabahaya terus-terusan, pada akhir hari kamu hanya butuh teman yang sama-sama mengerti penderitaan. Pandemi menghantam kita semua sampai babak belur tapi kita selalu punya satu sama lain untuk saling menanggung. Sampai kita bisa menyerang balik, mari kini kita bernyanyi.
We shall overcome
We shall overcome
We shall overcome, someday
Deep in my heart
I do believe
We shall overcome
Someday
Sarah Wisista adalah mahasiswi S1 Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada.
tulisan yang ringan tapi membawa makna besar! Terus menulis, ya, kak!