(Ilustrasi: @candraniyulis)
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya yang bertajuk “Apakah Kita Benar-Benar Menonton Pertunjukan Langsung?”. Pada tulisan tersebut, saya mengacu telaah Auslander yang mengritisi pendapat bahwa liveness tidak terjalin pada livestreaming. Pada analisisnya, Auslander membalik keadaan tersebut, mulai dengan mengkritisi ihwal immediate (langsung) dan mediated (termediasi); hingga mengkritik glorifikasi pada konsep spasial dan temporal live performance. Sebagai gantinya, di artikel tersebut saya mengamini bahwa live performance dan livestreaming sama-sama memiliki karakteristik ruangnya masing-masing. Terlebih, saya menautkannya pada tiga pengalaman yang mengejawantahkan jika immediate dan mediated, berkelindan dalam sebuah pertunjukan.
Di dalam tulisan itu, saya menggunakan telaah Auslander untuk mengutak-atik liveness pada soal spasial dan temporal dalam sebuah pertunjukan. Auslander mengkritik diagram milik Steve Wurtzler mengenai live performance yang memiliki spatial co-presence dan temporal simultaneity, sementara dalam livestreaming memiliki temporal simultaneity tetapi spatial absence. Menurut Auslander (2016), liveness bukanlah kondisi ontologis yang stabil melainkan konsep yang bergantung secara historis, target yang bergerak dan terus-menerus terbarui sehubungan dengan kemungkinan yang ditawarkan oleh teknologi reproduksi yang muncul. Dari situ, logika spasial dikritik tidak hanya sebagai yang terwujud, tetapi juga mengakomodasi yang nirwujud.
Maka livestreaming mendorong penonton merasa seolah-olah berpartisipasi dalam pertunjukan dan mengalami keadaan yang sama dengan penonton di dalam live peformance (Auslander, 2008a). Sembari mengamini Nick Couldry bahwa proses mediasi pertunjukan dan teknologi livestreaming juga memunculkan dimensi afektif antar manusia (2008b: 111). Dari sini Auslander meyakini bahwa jarak bukan soal, karena temporal dan spasial yang nirwujud juga menjalin perasaan terhubung antara satu dengan lainnya. Baginya, esensi live bukan soal pemain dan penonton, melainkan perasaan terhubung dan berkelanjutan antara keduanya. Dengan begitu, penonton streaming tidak dapat dinihilkan atas upaya menyiapkan dirinya untuk “hadir” dan mencari keintiman dan liveness di dalam sebuah pertunjukan.
Atas telaah Auslander, di artikel tersebut saya mengamini dengan menautkan beberapa bukti empiris dalam menyaksikan sebuah konser. Ketiga pengalaman yang menunjukkan bahwa live performance juga mengandung livestreaming memang kadang teralami, tetapi narasi tersebut bukan narasi final yang membuat kita harus buru-buru bermigrasi ke livestreaming tanpa pertimbangan yang matang, melainkan untuk mengkritisi kegagapan yang berbuah penolakan livestreaming sebagai cara untuk menghadirkan konser musik, khususnya di masa pandemi. Di bawah ini, saya akan menguraikan pengalaman dan telaah untuk menjadi pertimbangan dalam menentukan sikap apa yang perlu kita lakukan segera untuk menghadirkan liveness di dalam musik dan seni pertunjukan.
Pada tulisan sebelumnya, saya menautkan tiga pengalaman menyaksikan pentas dangdut yang mendukung mediated. Di bawah ini, saya menautkan tiga pengalaman saya lainnya yang immediate sebagai upaya untuk mengkritisi livestreaming.
Pengalaman Pertama
Pada tanggal 29 dan 30 Oktober 2015, musisi independen asal Yogyakarta, Leilani Hermiasih a.k.a Frau menggelar konser musik bertajuk “Tentang Rasa”. Konser tersebut ia selenggarakan di Gedung Societet Militair, Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dengan kapasitas 250 kursi (Raditya, 2018). Ia membawakan nomor-nomor andalannya dari album Starlit Carousel, Happy Coda, dan beberapa lagu baru. Konser segera dimulai, band pembuka mengawali konser dengan hangat. Selanjutnya Frau memainkan lagu demi lagunya memanjakan telinga para penonton. Alih-alih hanya suara, ada satu hal yang menarik dari konsernya, di mana ia menciptakan aroma-aroma tertentu di beberapa lagunya. Frau menstimulasi inderawi selain telinga untuk merespons konsernya. Bayangkan saja, ketika lagu “Mesin Penenun Hujan”, bau indomie tersebar ke segala penjuru ruangan. Saya tidak membayangkan berapa kompor dan indomie yang ia rebus ketika konser. Dari sini Frau mengajak penonton merefleksikan bahwa inderawi mendengar musik tidak hanya telinga melainkan inderawi lainnya, salah satunya penciuman. Berangkat dari live performance “Tentang Rasa”, Apakah aroma tersebut dapat terjadi ketika sebuah konser dihelat menggunakan livestreaming?
Pengalaman Kedua
Tidak jauh berbeda dengan tulisan Ferdhi F. Putra, bahwa yang ia rindukan dari live performance musik adalah interaksi, Saya juga mengalami dangdut dengan menonton di bagian depan panggung, yakni live performance dari OM Sonata ketika di Jombang pada tahun 2017; dan ketika menyaksikan OM Wawes setahun silam di Tebing Breksi, Yogyakarta. Kenyataannya, saya berimpitan dengan penonton lainnya dalam menikmati pertunjukan. Di dalam dua konser tersebut, saya memang tidak kenal dengan penonton siapa pun, tetapi entah mengapa saya memilih untuk tetap menikmati bergoyang bersama dengan penonton lain. Sama-sama saling berjoget dalam merespons musik membuat saya percaya bahwa yang saya lakukan tidaklah imajinatif. Persis dengan lima unsur Berry Kempton yang diartikulasikan oleh Ferdhi di dalam tulisannya. Tidak hanya itu, inderawi saya ketika menonton dangdut bekerja sepenuhnya. Alih-alih hanya mata dan telinga, inderawi lainnya pun bekerja, seperti: penciuman di mana inderawi saya bekerja ketika menghirup aroma minuman keras ataupun keringat pemuda setempat; ataupun peraba di mana inderawi saya bekerja ketika saya bersenggolan satu sama lain dengan penonton lainnya. Lebih lanjut ada perasaan waswas yang muncul sekaligus terpuaskan ketika menyaksikan pentas terjalin. Walau kelelahan, saya pulang dengan bahagia. Apakah hal tersebut dapat terasa ketika livestreaming?
Pengalaman ketiga
Saya bermain untuk sebuah orkes melayu bernama Jarang Pulang. Dari segi pertunjukan, saya merasa bahwa kehadiran penonton membawa semangat yang berbeda ketika di atas panggung. Ratusan mata menatap menstimulasi organ tubuh saya untuk bermain lebih lincah. Di saat yang lain, Orkes Melayu Jarang Pulang sempat diundang pada sebuah ulang tahun sebuah institusi. Oleh karena jadwal yang mepet, pihak panitia keliru menempatkan waktu bermain kami, sehingga kami harus bermain ketika acara usai. Sayangnya penonton ketika itu bukanlah pencinta musik dangdut yang militan, penonton di institusi tersebut—yang adalah bapak-bapak dan ibu-ibu pejabat—satu per satu pulang. Sontak saja, semangat saya terjun bebas ketika itu. Dari situ, saya merasa bahwa penonton mempunyai signifikansi pada pertunjukan langsung yang kami sajikan. Peluh keringat yang menetes hingga teriakan penonton menjadi hal yang berarti bagi kami sebagai penampil. Hal yang kiranya tidak hadir dalam livestreaming.
Dari ketiga pengalaman di atas, saya menyengaja membuat pengalaman tandingan dari tulisan sebelumnya. Hal ini saya maksudkan agar kita sama-sama dapat menimbang apa yang bisa kita lakukan segera. Namun, sebelum memutuskan saya akan menautkan perdebatan antara live performance dan livestreaming di bawah ini.
Perdebatan Live Performance vs Livestreaming
Pada dasarnya perdebatan mengenai live performance dan livestreaming sudah terjadi di akhir abad ke-20. Khususnya ketika Peggy Phelan menulis buku yang bertajuk Unmarked: Politics of Performance pada tahun 1993 dan Philip Auslander yang mengkonter buku tersebut dengan beberapa artikel yang memuncak pada sebuah buku dengan tajuk Liveness: Performance in a Mediatized Culture pada tahun 1999. Phelan memercayai bahwa pertunjukan memiliki intensitas yang berbeda dari livestreaming. Hal ini senada dengan argumen dari Martin Barker (2003) yang berpendapat bahwa pertunjukan langsung seolah-olah memiliki unsur keunikan. Lebih lanjut Phelan menyoal sisi ephemeral (kefanaan) dalam performance art yang tidak dapat didokumentasikan (1993: 31). Phelan berpendapat bahwa medium utama seni pertunjukan adalah tubuh yang nyata, tubuh riil. Selain itu dalam pertunjukan langsung terkandung performativitas yang membuat gejala pertunjukan semakin kuat (1993: 168). Baginya terdapat kesenjangan yang terjadi antara diskursif tubuh dan pengalaman afektif yang terwujud ketika tidak dilakukan secara immediate. Analisis Phelan dalam menyikapi pertunjukan mendalam pada performativitas yang tidak lekang juga dengan politik tubuh.
Lantas telaah Phelan ini lah yang dikonter oleh Auslander. Auslander memulai narasinya dengan isu immediate dan mediated. Dari situlah Auslander menyoal liveness yang dapat terjalin tidak hanya pada live performance, tetapi juga dengan livestreaming. Ia mengkritisi rumus baku spasial di dalam live. Sebagai gantinya, Auslander menelusuri bahwa livestreaming juga memiliki keterhubungan dan intimacy (2008b). Keterhubungan ini lah yang membuat, liveness disikapi sebagai sesuatu yang berkembang pada soal spasial. Pasalnya penampil tetap melakukan aktivitas yang sama laiknya menggelar pertunjukan, seperti rehearsal, performance, dan aftermath. Sedangkan penonton juga menyiapkan diri agar hadir pada temporal tertentu. Ia sama-sama terikat dalam syarat temporal.
Di dalam tulisannya yang bertajuk “So Close and So Yet so Far Away! The Proxemics of Liveness”, Auslander mencontohkan bahwa karya Marina Abramovic yang bertajuk The Artist is Present pada tahun 2010 di Museum of Modern Art di New York sebenarnya adalah video streaming (2016: 297). Kita tidak perlu berada di sana untuk mengalaminya secara langsung, tetapi kita harus percaya bahwa itu terjadi pada saat yang sama ketika kita mengalaminya. Dari situ, Auslander (2016: 297) menyatakan bahwa liveness adalah pengalaman memiliki koneksi aktif ke suatu peristiwa yang sedang terjadi sekarang (temporal), tidak terlalu menyoal apakah itu di tempat yang jauhnya bermil-mil atau hanya beberapa inci dari tempat pertunjukan.
Kritik Auslander pada Phelan pun dibalas kembali oleh Phelan pada percakapannya dengan Marquard Smith pada tahun 2003. Bagi Phelan, Auslander tidak tepat sasaran dalam mengkritisinya. Phelan tidak pernah menentang teknologi yang termediasi atau sebaliknya. Namun bagi Phelan, video atau rekaman, hanya seolah-olah memiliki pertunjukan yang akan dilakukan kembali. Video adalah media yang berbeda dan sudah barang tentu mengejar estetika yang berbeda (2003: 295). Kritik Auslander bagi Phelan juga ia rasa tidak signifikan, pasalnya Auslander sudah jelas-jelas tidak memercayai “ketidak-sadaran” ketika menyaksikan sebuah pertunjukan sebagai upaya untuk membebaskan dirinya dari psikoanalisis seperti yang Phelan kerjakan. Pun ketika mengkritisi analisis Phelan atas pertunjukan Angelika Festa, bagi Phelan, Auslander terlalu menghabiskan waktu untuk membicarakan apa yang terjadi di monitor atau layar. Padahal Phelan tidak berusaha mengatakan bahwa video, audio, dan teknologi tidak ada pada pertunjukan tersebut, melainkan ia mencoba menguraikan kekuatan politik pertunjukan yang terjalin (2003:295).
Lebih lanjut, Phelan tidak menampik keberadaan video streaming, web, dan semua jenis media yang mampu merekam dan menyiarkannya secara langsung. Teknologi tersebut dapat memberi kita sesuatu yang sangat mirip dengan acara live tetapi mereka tetap sesuatu yang lain. Namun dalam hal ontologis, itu sama sekali bukan hal yang sama. Bagi Phelan, live performance tetap merupakan bentuk seni yang menarik karena mengandung kemungkinan aktor dan penonton sama-sama “berubah” selama acara berlangsung (2003: 295). Respons penonton tidak dapat mengubah performance yang ditransmisikan dari jarak jauh. Pada live performance, kemungkinan pertunjukan diubah oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya menjadi “semangat” dari live performance itu sendiri. Walau Phelan membuat disclaimer tersendiri bahwa banyak live performance tidak memiliki potensi itu sama sekali. Atau jelasnya, interaksi yang dibayangkan Phelan tidak terjadi pada banyak pertunjukan. Hal ini jugalah yang kiranya dilihat Auslander sebagai angan-angan belaka. Kerangka Auslander lebih baku melihat sesuatu yang nyata.
Ketidakinginan Auslander tenggelam kepada sesuatu yang “tidak jelas” membuat tulisannya juga menjadi kontroversi. Martin Barker (2003) menyebut Auslander sebagai seorang yang pesimis karena meniadakan “keajaiban” yang tercipta dari interaksi pertunjukan. Alhasil mudah saja Auslander mendudukkan liveness dalam live performance dan livestreaming; dan mudah saja mengatakan bahwa live performance memberi gengsi sosial kepada penonton. Gengsi tersebut dapat membanggakan dirinya dan membawa nilai untuk dikenang oleh teman-teman sepermainannya. Hal ini juga lah yang membuat telaahnya menjadi kontroversi. Namun di sisi yang lain, saya menyukai telaah Auslander dalam mengkritisi glorifikasi yang kerap diciptakan di dalam pertunjukan. Dengan kehadiran Auslander, saya justru menjadi berpikir kembali atas live performance, jangan-jangan penonton memang sudah terlena dengan live performance dan menjadikannya sebagai ruang presensi dalam mencapai modal sosial. Menarik! Dari sinilah susunan argumentasi yang jelas Auslander buat untuk menyoal liveness pada live performance dan livestreaming.
Tidak berakhir di situ, Meyer-Dinkgräfe seakan mencoba mengakhiri perdebatan—walau menurut hemat saya Meyer-Dinkgräfe juga mempunyai celah. Auslander, atau beberapa scholar lainnya, seperti: Dolan, atau Bundy, Reason dan Barker, mengidentifikasi “kedekatan, keintiman, dan keberadaan (di dalam) penonton sebagai pengalaman yang subyektif. Bahkan Auslander skeptis tentang pengalaman seperti itu, yang ia anggap sebagai “klise dan mistifikasi” (2015, 73). Bagi Meyer-Dinkgräfe, Auslander terlalu skeptis pada subyektivitas dalam menyaksikan pertunjukan. Padahal bagi Meyer-Dinkgräfe ada kesadaran murni yang terjalin ketika kita menyaksikan pertunjukan. Meyer-Dinkgräfe merujuk filsafat India, Wedanta yang menyoal tentang kesadaran murni, yang arahnya pada spiritual. Ajaran Wedanta berpendapat bahwa proses fisik adalah suatu konkretisasi—atau manifestasi—dari kesadaran, dan memberikan informasi tentang mengapa dan bagaimana kesadaran berkembang menjadi manifestasi. Singkat kata, pendekatan Wedanta bukan konstruksi intelektual, melainkan sisi terdalam manusia (2015: 74).
Meyer-Dinkgräfe menautkan ajaran Wedanta ini pada energi yang muncul dari pertunjukan. Baginya, energi inilah yang tidak tersampaikan ketika live performance tidak dilakukan. Kehadiran fisik bagi Meyer-Dinkgräfe memungkinkan pertukaran energi antara pemain dan penonton. Lebih lanjut, Meyer-Dinkgräfe menawarkan untuk membuat mekanisme yang berbeda dalam menciptakan dampak yang sama pada livestreaming, film, dan televisi pada penonton. Singkat kata, Meyer-Dinkgräfe seakan mengamini Phelan bahwa estetika dari live performance dan livestreaming berbeda. Hal yang baru dari Meyer-Dinkgräfe hanyalah ajakan untuk memikirkan cara agar liveness ketika menyaksikan live performance dan livestreaming terjalin sama persis. Di sini, Meyer-Dinkgräfe seakan mengakomodasi Auslander bahwa live performance dan livestreaming sama-sama memiliki liveness. Hal yang agaknya kembali kabur di mata Auslander. Lantas apa yang bisa kita rumuskan dari perdebatan ini?
Mencari Formulasi Terbaik
Dari perdebatan di atas kita dapat melihat bahwa keduanya memiliki signifikansi yang menarik untuk pertunjukan. Jika saya kembali pada ketiga pengalaman di atas—yang saya sengaja untuk pengalaman tandingan dari tulisan sebelumnya, saya juga memercayai bahwa live performance mempunyai daya yang tidak diakomodasi oleh Auslander di dalam tulisan-tulisannya. Seperti halnya yang dilakukan oleh Frau di mana konsernya menghadirkan aroma di beberapa lagunya. Hal ini menjadi pernyataan yang masih saya ingat hingga sekarang, bahwa inderawi ketika menikmati musik dan karya seni ternyata tidak tunggal, melainkan akumulasi dari respons inderawi yang kita punya. Hal ini mengingatkan saya pada telaah Zachar Laskewicz (2003) yang menyoal olfactory (penciuman) dalam seni pertunjukan. Ia mengajak pembacanya untuk mengkritisi kepercayaan kita pada inderawi penglihatan dan pendengaran tanpa dikritisi. Lebih lanjut, ia juga menautkan kita pada pengalaman tubuh yang menyaksikan pertunjukan—dalam hal ini saya tautkan dengan pengalaman mendengarkan musik—tidak hanya di suasana yang statis, melainkan dinamis dalam spasial dan temporal. Sebenarnya dengan langkah ini, telaah Auslander dalam menempatkan liveness pada live performance dan livestreaming bisa kita kritisi kembali—persis yang dilakukan dengan scholar lainnya.
Selain itu, pengalaman kedua yakni menyaksikan dangdut di dalam kerumunan telah “mengganggu” pengalaman saya di tulisan sebelumnya. Bahkan saya bisa menuduhkan pengalaman sebelumnya sebagai tipe penonton yang pesimis. Di mana ia tidak berjuang lebih keras menerobos dan merasakan ambience dari live performance. Walau saya bisa mengkritisi balik soal pesimis yang saya tuduhkan kepada diri saya sendiri yakni intimacy dalam liveness yang memang subyektif dan tidak dapat dipaksakan seperti pengalaman kedua, tetapi counter pengalaman ini menjadi upaya saya untuk segera menimbang-nimbang kembali dalam meyakini pertunjukan mempunyai hal yang tidak terduga. Hal tidak terduga itu ada di pengalaman ketiga. Maka itu setelah menimbang-nimbang, menurut hemat saya bersetia dengan mode tunggal pertunjukan tidak lagi relevan.
Kerangka yang dibangun Phelan bahwa performativitas menghadirkan gejala yang tidak terakomodasi pada pertunjukan yang direkam dan disiarkan; ataupun Meyer-Dinkgräfe yang mengemukakan adanya energi dari pertunjukan langsung bisa saja benar terjadi. Tiga pengalaman langsung yang saya rasakan ada di dalam logika Phelan ataupun Meyer-Dinkgräfe. Namun kita juga tidak bisa tak acuh bahwa telaah Auslander akan liveness yang juga terjalin pada livestreaming juga terjadi. Pengalaman saya pada artikel sebelumnya bisa menjadi ilustrasi yang jelas bahwa saya menikmati pertunjukan dari pertunjukan yang termediasi. Lantas dari perdebatan ini, saya justru ingin mengajak teman-teman pembaca untuk sama-sama membayangkan skema terburuk. Di mana pandemi ini tidak usai dalam sekejap mata dan harus diperpanjang hingga akhir tahun atau awal tahun depan. Hal ini tentu menyusahkan teman-teman pemusik—praktisi seni pertunjukan lainnya—dan penggemarnya.
Di masa pandemi ini, saya justru memikirkan bagaimana kita menyiasati live performance dan livestreaming untuk membuat konser musik atau pertunjukan apa pun yang menghadirkan liveness. Apakah kita membuat laiknya konser musik di Jerman oleh band Brings—juga dilakukan di Ceko beberapa pekan lalu—dengan drive-in cinema style, di mana penonton duduk di dalam mobil mereka masing-masing dan menyaksikan konser di temporal dan spasial yang sama walau menggunakan bantuan layar besar dan suara melalui sinyal ke mobil masing-masing? Ataukah konser musik atau pertunjukan yang menghadirkan penonton lebih nyata walau tetap secara virtual, seperti halnya audisi kontes bernyanyi Rising Star Indonesia, di mana penyanyi bernyanyi pada layar besar yang isinya adalah wajah voters mereka? Tentu semua butuh pertimbangan lebih lanjut, seperti apakah konser musik dengan penonton di mobil justru menimbulkan kesenjangan sosial, dan seterusnya. Namun dengan pelbagai uji-coba, kita bisa mulai mempertimbangkan perdebatan tokoh performance studies di atas dan meramunya dengan kontekstual kita sebagai langkah yang tepat untuk iklim musik dan seni pertunjukan di Indonesia ke depan.[]
Referensi
- Auslander, Philip. 2008a. Liveness: Performance in Mediatized Culture. London: Routledge.
- _____________. 2008b. “Live and Technlogically Mediated Performance”, dalam The Cambridge Companion to Performance Studies, Tracy C. Davis (ed). Cambridge: Cambridge University Press, 107-119.
- _____________. 2016. “So Close and So Yet so Far Away! The Proxemics of Liveness” dalam Matthew Reason dan Anja Molle Lindelof (ed), Experiencing Liveness in Contemporary Performance: Interdisciplinary Perspectives. New York: Routledge.
- Barker, Martin. 2003. “Crash, Theatre Audiences, and The Idea of ‘Liveness’”, dalam Studies in Theatre and Performance Vol 23(1).
- Laskewicz, Zachar. 2003. “From the Hideous to the Sublime: Olfactory processes, performance texts and the sensory episteme”, dalam Performance Research 8(3): 55–65.
- Meyer-Dinkgräfe, Daniel. 2015. “Phelan, Auslander, and After” dalam Journal of Dramatic Theory and Criticism Vol 29 (2): 69-79.
- Phelan, Peggy dan Marquard Smith, 2003. “Performance, Live Culture, and Things of the Heart” dalam Journal of Visual Culture Vol 2(3): 291-302.
- Phelan, Peggy. 1993. Unmarked: The Politics of Performance. London: Routledge.
- Raditya, Michael HB. 2018. Merangkai Ingatan Mencipta Peristiwa. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama dan Senrepita.
- Wurtzler, Steve. 1992. “She Sang Live, But the Microphone Was Turned Off’: The Live, the Recorded, and the Subject of Representation” dalam Rick Altman (ed), Sound Theory Sound Practice. New York: Routledge.