Dalam rangka hari museum internasional, Museum Nasional Indonesia membuka ruang untuk mewacanakan beberapa isu berkaitan dengan sejarah. Tahun ini, perayaan Hari Museum Internasional mengusung tema ‘Museums and Contested Histories: Saying the Unspeakable in Museums‘ (Museum dan Sejarah yang Dapat Dipertanyakan: Mengucapkan yang Tak Terucap oleh Museum). Internasional Museum Day yang diadakan Museum Nasional ini ditanggapi oleh Ruang Rupa melalui gelaran mereka RRREC Fest dengan memfasilitasi beberapa wacana narasi-narasi dalam musik.

Dalam sebuah diskusi publik ‘Narasi-Narasi Musik yang Tersembunyi’, RRREC Fest at the Museum tanggal 24 Mei 2017 mengundang dua pembicara Rizky Sasono dan Teraya Paramehta. Kedua musisi ini juga tergabung dalam Forum Peneliti yang diinisiasi LARAS – Studies of Music in Society.

Dalam sejarah musik Indonesia, narasi besar yang merujuk pada Indonesia era orde lama adalah larangan musik barat dalam rangka Manifesto Budaya 1959 yang dilakukan Presiden Soekarno. Seperti dikemukakan Teraya bahwa generasi muda di era orde baru dilarang mengkoleksi, memainkan musik barat seperti Elvis Presley, The Beatles dan kelompok populer barat lainnya. Namun dalam kajian sejarah oral yang dilakukannya dalam kerangka Forum Peneliti LARAS, menurut Tera (Teraya) ada upaya-upaya bagaimana generasi muda mencari dan mengupayakan musik-musik barat itu dapat diakses.Dengan menjelaskan beberapa cara bagaimana generasi muda memperoleh akses terhadap musik barat, Tera juga mengacu pada bacaan Foucault tentang relasi kuasa di mana pihak yang terjajah (dalam hal ini generasi muda pecinta musik Barat) tetap memiliki power untuk bergerak dan menentang kuasa yang mengungkungnya. Upaya mengakses musik barat di era orde baru inilah yang ditunjuk sebagai narasi yang jarang dibicarakan dalam konteks sejarah arus utama.

Beririsan dengan narasi ‘kecil’ yang dimunculkan Tera, Rizky memaparkan bagaimana media mengkonstruksi narasi besar dalam musik indie yang berkembang di Indonesia sejak era 1990’an. Media nasional dengan sistem kerjanya membangun opini publik atas sejarah musik indie dan meniadakan narasi-narasi skena musik indie di daerah. Media populer seperti Rolling Stone Indonesia atau majalah Hai membangun sentralisasi ibukota dalam penulisan narasi musik. Padahal, menurut Rizky, skena musik di daerah punya kronologi dan hal-hal yang mengkonstruksi keberlangsungannya sampai saat ini. Bagaimana konstruksi atas sejarah skena di berbagai wilayah di Indonesia juga memunculkan pertanyaan bagaimana sejarah musik dibahasakan dan siapa yang membahasakannya.

Diskusi publik ini kemudian dirangkum oleh Indra Ameng sebagai moderator dengan berbagai pihak memberlangsungkan narasi-narasi itu lewat tulisan. Dengan adanya tulisan tentang musik, maka sejarah musik, yang memunculkan beragam narasi, dapat dibaca secara komprehensif.